SURAU.CO. Sayyid Abu Bakar Syatha ad-Dimyathi memberikan nama yang sangat puitis untuk karya ringkasnya. Beliau memilih judul Ad-Duror al-Bahiyyah fīmā Yalzamu al-Mukallaf min al-‘Ulūm asy-Syar‘iyyah. Secara harfiah, kata duror merupakan bentuk jamak dari durrah yang berarti mutiara. Kata bahiyyah memiliki arti indah atau berkilau.
Penulis ingin menyampaikan pesan mendalam lewat judul ini. Beliau menganggap ilmu syariat bukan sekadar beban kewajiban tetapi sebuah perhiasan yang sangat berharga bagi jiwa seorang muslim. Pengetahuan ini menyelamatkan manusia dari kebodohan. Ia berkilau layaknya mutiara yang memancarkan cahaya petunjuk di tengah kegelapan.
Profil Singkat Sang Penulis
Kita perlu mengenal sosok penulis sebelum menyelami isi kitab ini lebih dalam. Sayyid Abu Bakar Utsman bin Muhammad Syatha ad-Dimyathi al-Bakri adalah ulama besar. Beliau wafat pada tahun 1310 H di kota suci Makkah. Dunia pesantren di Indonesia sangat akrab dengan nama beliau.
Para santri biasanya mengenal beliau lewat karya masterpiece-nya, yakni I‘anatut Thalibin. Kitab tersebut merupakan syarah atau penjelasan luas atas kitab Fathul Mu‘in. Sayyid Abu Bakar berguru langsung kepada Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan, mufti mazhab Syafi’i yang sangat otoritatif di Tanah Suci pada masanya.
Struktur Kitab yang Ringkas dan Padat
Secara fisik, Kitab Ad-Duror al-Bahiyyah tampil sangat sederhana. Ketebalannya hampir setara dengan Matan Abu Syuja’. Mungkin kitab ini tidak sepopuler Safinatun Najah atau Sullam at-Taufiq di kalangan awam. Namun, kitab ini memiliki posisi istimewa di banyak lembaga pendidikan Islam.
Banyak pesantren di Indonesia menjadikan kitab ini sebagai kurikulum dasar. Pengasuh pesantren sering memilihnya karena penyajian materi yang sangat sistematis. Penulis menyusunnya khusus untuk santri pemula. Tujuannya agar mereka memiliki fondasi kuat sebelum melangkah ke kitab yang lebih tebal. Orientasi pedagogis atau pendidikannya terasa sangat kental dalam setiap bab.
Keutamaan Ilmu dalam Pandangan Penulis
Sayyid Abu Bakar membuka kitab dengan mukadimah yang menggugah semangat. Beliau menekankan urgensi menuntut ilmu bagi setiap muslim. Penulis menyebut ilmu sebagai pembeda utama antara jalan hidayah dan kesesatan serta berfungsi mengangkat derajat manusia di sisi Allah Swt.
Penulis mengutip pandangan Imam asy-Syafi’i untuk memperkuat argumennya. Imam asy-Syafi’i berpendapat bahwa menuntut ilmu adalah amalan paling utama setelah kewajiban fardhu. Beliau juga menukil perkataan Sufyan bin ‘Uyainah yang menyatakan bahwa anugerah terbesar setelah kenabian adalah pemahaman mendalam tentang fikih karena menjadi instrumen vital keselamatan hidup seorang hamba.
Fokus pada Akidah Ahlussunnah wal Jamaah
Isi kitab ini memuat ilmu-ilmu yang berstatus fardhu ‘ain. Penulis memulainya dengan pembahasan akidah atau keimanan. Bagian ini mencakup ma‘rifatullah (mengenal Allah) dan ma‘rifatur rasul (mengenal Rasul).
Sayyid Abu Bakar menguraikan arkanuddin atau rukun agama dengan runtut. Beliau menjelaskan iman kepada Allah Swt melalui pendekatan sifat-sifat-Nya. Metode ini menegaskan afiliasi penulis pada akidah Asy‘ariyyah. Ulama besar seperti Imam an-Nawawi juga memegang teguh metode ini. Penulis memaparkan dua puluh sifat wajib, dua puluh sifat mustahil, dan satu sifat jaiz bagi Allah Swt. Penjelasannya singkat namun sangat padat makna.
Fikih Ibadah sebagai Kewajiban Individu
Pembahasan berlanjut ke ranah hukum Islam atau fikih. Penulis menggunakan mazhab Syafi’i sebagai pijakan utama. Beliau membatasi pembahasan fikih hanya pada rukun Islam yang meliputi tata cara shalat, zakat, puasa, dan haji.
Pilihan topik ini sangat logis dan argumentatif. Penulis hanya ingin menyajikan materi yang wajib diketahui oleh setiap mukallaf. Bab muamalah yang rumit seperti jual beli tidak dibahas secara mendetail. Hukum asal mempelajari detail muamalah adalah fardhu kifayah. Oleh karena itu, kitab ini fokus pada ibadah praktis sehari-hari.
Penutup dengan Sentuhan Tasawuf
Sayyid Abu Bakar tidak mengakhiri kitabnya dengan bab hukum semata namun juga dengan dengan sentuhan spiritual atau tasawuf. Penulis mengajak pembaca untuk segera bertaubat kepada Allah Swt. Kita harus menjauhi segala bentuk dosa dan maksiat.
Beliau juga menyeru pembaca untuk menghiasi diri dengan akhlak mulia. Bagian penutup ini memberikan pesan kuat. Fikih sejati tidak boleh berhenti pada perdebatan sah dan batal akan tetapi harus bermuara pada perbaikan batin dan adab.
Kitab ini memang ringkas. Kesederhanaan itu justru menjadi kekuatannya. Kitab Ad-Duror al-Bahiyyah memerlukan bimbingan seorang guru agar pemahamannya sempurna. Kitab ini adalah peta awal bagi para pencari ilmu dan tetap menjadi mutiara kecil yang berkilau di ruang-ruang belajar pesantren hingga hari ini. (kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
