Khazanah
Beranda » Berita » Syair Pendosa: Antara Dosa, Takut, dan Harap

Syair Pendosa: Antara Dosa, Takut, dan Harap

Syair Pendosa: Antara Dosa, Takut, dan Harap
Dekorasi lampu kaligrafi Islami yang elegan dan bercahaya, cocok untuk masjid dan ruang tamu.

 

SURAU.CO – Ada saat dalam hidup, manusia datang kepada Allah bukan dengan dada membusung, tetapi dengan langkah tertatih. Bukan membawa prestasi amal, melainkan beban dosa yang tak sanggup lagi dihitung satu per satu. Di titik itulah seorang hamba mulai jujur pada dirinya sendiri: bahwa ia lemah, rapuh, dan sering kalah oleh hawa nafsunya.

Betapa sering lisan kita basah menyebut nama Allah, namun langkah kaki justru menjauh dari cahaya-Nya. Betapa fasih kita membedakan yang halal dan yang haram, tetapi ketika nafsu memanggil, akal dan iman sering terdiam. Kita tahu apa yang Allah larang, kita paham apa yang Allah cintai, namun ego kerap berdiri paling depan, merasa benar, merasa aman, seolah kemaksiatan tak pernah mengundang murka.

Inilah ironi manusia beriman: ilmu ada, dalil dikenal, tetapi amal tak selalu sejalan. Dan justru di sinilah rahasia ujian hidup. Bukan pada siapa yang paling tahu, melainkan siapa yang paling jujur mengakui kelemahan dirinya di hadapan Allah.

Di sepertiga malam, ketika dunia terlelap dan suara manusia mereda, ada hamba yang menunduk lama. Bukan karena ia suci, melainkan karena ia lelah menanggung dosa yang disembunyikan dari manusia, namun tak pernah tersembunyi dari Rabb-nya. Air mata yang jatuh bukan air mata orang saleh, tetapi air mata orang yang sadar: dosa yang dipelihara perlahan berubah menjadi beban yang menghimpit jiwa.

Takut kepada Allah: Puncak dari Segala Kebaikan

Pintu Taubat Terbuka Sebelum Nyawa Sampai Di Tenggorokan

Lalu lahirlah pertanyaan paling jujur dari seorang pendosa: Jika pintu ampunan Engkau tutup, ke mana lagi aku harus berlindung? Jika Engkau berpaling, siapa lagi yang sudi menatapku dengan kasih?

Pertanyaan ini bukan bentuk putus asa, tetapi jeritan tauhid. Karena sejatinya, seorang hamba berdosa hanya punya satu tempat kembali: Allah. Bukan kepada amalnya, bukan kepada reputasinya, bukan kepada pujian manusia, tetapi kepada Rabb yang membuka pintu taubat sebelum nyawa sampai di tenggorokan.

Seorang pendosa sejati tahu, ia bukan hamba yang layak surga. Namun ia juga tahu, neraka Allah terlalu berat untuk dipikul. Ia sadar dirinya belum istiqamah, tetapi ia juga takut mati dalam keadaan berpaling. Maka ia berdiri di antara dua sayap: takut (khauf) dan harap (raja’). Takut akan keadilan Allah, dan berharap pada rahmat-Nya.

Di sinilah Islam mendidik jiwa: agar kita tidak sombong oleh amal, dan tidak hancur oleh dosa. Sebab yang menghancurkan bukanlah dosa itu sendiri, melainkan putus asa dari ampunan Allah. Dan yang menyelamatkan bukan banyaknya amal, melainkan kejujuran taubat yang lahir dari hati yang tunduk.

“Terimalah aku apa adanya, ya Rabb.” Bukan karena aku baik. Bukan karena aku pantas. Tetapi karena Engkau Maha Pengampun. Karena rahmat-Mu lebih luas dari dosa-dosaku. Dan kasih-Mu tidak pernah habis oleh keburukan hamba-Mu.

Menggali Makna Swargo Nunut Neroko Katut: Refleksi Kritis di Era Modern

Maka jika hari ini kita merasa jauh, pulanglah. Jika hati terasa berat, tunduklah. Jika dosa terasa menumpuk, menangislah. Sebab Allah tidak pernah menutup pintu bagi hamba yang datang dengan taubat dan harap.

Karena dalam Islam, seburuk apa pun masa lalu seorang hamba, masa depannya tetap bisa suci—selama ia kembali kepada Rabb-nya dengan hati yang jujur.

 

 


Ketika Bencana Mengajarkan Empati

Banjir bandang yang melanda kawasan Sumatra tak hanya menyisakan duka dan kerusakan. Di tengah derasnya arus dan keganasan alam, terekam sebuah momen langka yang mengguncang nurani: seekor gajah Sumatra terlihat berusaha menolong seekor harimau yang terseret banjir.

Saat Tidak Ada yang Melihat, Allah Tetap Mengawasi

Dua satwa liar yang dalam kehidupan normal berada pada rantai makanan berbeda, bahkan kerap dianggap bermusuhan, justru dipertemukan oleh bencana dalam satu ikatan yang tak terduga—empati dan kepedulian. Tanpa suara, tanpa kata, alam seolah sedang berbicara kepada manusia.

Peristiwa ini mengingatkan kita bahwa dalam kondisi darurat, insting paling dasar makhluk hidup bukanlah memangsa, melainkan menyelamatkan. Bencana menghapus sekat, menanggalkan naluri dominasi, dan menggantinya dengan dorongan untuk bertahan bersama.

Jika hewan yang tak diberi akal dan syariat mampu menunjukkan kepedulian di saat genting, lalu bagaimana dengan manusia yang dianugerahi hati, akal, dan iman?

Alam tak pernah kejam tanpa sebab. Ia hanya bereaksi atas apa yang manusia lakukan. Ketika hutan dirusak, habitat dirampas, dan keseimbangan dilanggar, maka bencana menjadi bahasa peringatan.

Video ini bukan sekadar viral. Ia adalah cermin. Tentang kemanusiaan, tentang tanggung jawab, dan tentang betapa pentingnya menjaga harmoni dengan sesama makhluk Allah.

Semoga kita tidak hanya terharu, tetapi juga tersadar. Bahwa di hadapan bencana, yang paling menyelamatkan bukan kekuatan, melainkan kepedulian. (Tengku Iskandar, M. Pd – Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat?

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.