SURAU.CO. Masyarakat Jawa memiliki kekayaan filosofi yang luar biasa dalam bentuk pepatah. Salah satu ungkapan yang paling sering terdengar adalah “Swargo Nunut, Neroko Katut”. Orang tua kerap menyampaikan kalimat ini sebagai nasihat pernikahan.
Sekilas, kalimat ini terdengar sederhana. Namun, ungkapan ini sebenarnya menyimpan kompleksitas makna yang mendalam. Kita tidak bisa melihatnya hanya sebagai ungkapan kepasrahan semata. Pepatah ini mencerminkan bagaimana masyarakat memandang takdir, relasi kuasa, dan tanggung jawab moral antarmanusia.
Swargo Nunut, Neroko Katut dan Stigma Perempuan
Secara bahasa, ungkapan ini memiliki arti spesifik. Swargo nunut berarti menumpang ke surga, sedangkan neroko katut bermakna terbawa arus ke neraka. Budaya patriarki masa lalu sering menempelkan frasa ini pada kaum perempuan. Posisi istri dianggap sepenuhnya bergantung pada suami. Kemuliaan suami akan mengangkat derajat istri. Sebaliknya, keburukan suami akan menyeret istri ke dalam penderitaan.
Tafsir semacam ini melahirkan pandangan yang kurang seimbang. Masyarakat kemudian mengenal istilah lain seperti konco wingking. Ada pula ungkapan yang membatasi peran wanita pada wilayah dapur–sumur–kasur. Bahkan, muncul istilah diwedak-nangkarak. Semua istilah tersebut memosisikan perempuan sebagai objek pasif. Mereka seolah tidak memiliki otonomi atas nasib mereka sendiri. Perempuan hanya bertugas mengikuti ke mana pun pemimpin rumah tangga melangkah.
Koreksi Teologis: Tanggung Jawab Itu Personal
Anggapan bahwa istri otomatis menanggung dosa atau pahala suami adalah sebuah kekeliruan jika kita melihat dari kacamata agama. Tafsir lama sering menganggap kepatuhan istri bersifat mutlak. Padahal, ajaran Islam menawarkan perspektif yang jauh lebih adil dan proporsional. Islam menekankan pertanggungjawaban individu di hadapan Tuhan.
Sejarah agama mencatat fakta yang membantah konsep “menumpang nasib” secara mutlak. Kita bisa melihat kisah istri Nabi Nuh dan Nabi Luth. Mereka tidak mendapat keselamatan meskipun bersuami seorang Nabi yang saleh. Pilihan iman mereka menentukan nasib akhir mereka. Sebaliknya, kita mengenal sosok Asiyah. Ia tetap mulia dan Tuhan menjanjikan surga baginya, meskipun ia hidup bersama Firaun yang zalim.
Pesan moral dari kisah-kisah ini sangat tegas. Seseorang tidak bisa mewariskan surga. Seseorang juga tidak bisa menitipkan keselamatan pada orang lain. Surga dan neraka adalah hasil dari iman serta amal perbuatan masing-masing individu. Konsep Swargo Nunut, Neroko Katut tidak berlaku dalam hitungan amal personal di hadapan Tuhan.
Membangun Kemitraan yang Setara
Pemahaman yang benar menempatkan ketaatan dalam koridor kebaikan. Istri wajib taat hanya jika perintah suami selaras dengan nilai kebenaran. Relasi dalam rumah tangga bukanlah dominasi satu pihak atas pihak lain. Hubungan ini adalah sebuah kemitraan etis. Lelaki memang memegang peran sebagai imam. Namun, makmum dalam ibadah memiliki hak bersuara. Makmum wajib mengingatkan imam yang lupa atau salah gerakan.
Konsep ini mengubah posisi istri secara drastis. Istri bukan lagi penumpang bisu yang pasrah menuju jurang. Istri adalah subjek aktif. Ia memiliki peran vital dalam menjaga arah moral keluarga. Istri bisa menjadi penyelamat suami dari kesalahan. Begitu pula suami, ia bisa membimbing istri menuju kebaikan. Keduanya memikul beban yang sama untuk menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Swargo Nunut, Neroko Katut dab Relevansi Sosial Politik
Makna Swargo Nunut, Neroko Katut ternyata melampaui dinding rumah tangga. Kita bisa menarik filosofi ini ke ranah yang lebih luas, yaitu politik dan kepemimpinan. Pepatah ini menjadi cermin hubungan antara rakyat dan pemimpinnya. Pilihan rakyat menentukan nasib bangsa ke depan. Rakyat yang memilih pemimpin akan merasakan dampak langsung dari kebijakan sang penguasa.
Pemimpin yang berintegritas akan membawa rakyat merasakan “surga” duniawi. Rakyat akan hidup tenteram dan sejahtera. Sebaliknya, pemimpin yang korup dan gila kuasa akan menyeret rakyatnya. Rakyatlah yang akhirnya katut neroko atau menanggung penderitaan akibat kesalahan pemimpin. Penderitaan itu bisa berupa kemiskinan, ketidakadilan, hingga kehancuran sosial.
Kritik Terhadap Loyalitas Buta
Pepatah ini bertransformasi menjadi peringatan keras bagi kita semua. Ungkapan ini melarang kita untuk nunut atau mengikuti sesuatu secara buta. Kita memiliki tanggung jawab moral dalam menentukan siapa yang kita ikuti. Kita harus kritis menilai ke arah mana seorang pemimpin membawa gerbongnya.
Selain itu, filosofi ini juga menyindir kaum oportunis. Ada tipe manusia yang hanya mau swargo nunut saat keadaan enak. Namun, mereka buru-buru menghindar saat situasi sulit atau neroko datang. Mentalitas “kutu loncat” atau penjilat kekuasaan inilah yang merusak tatanan sosial. Mereka menjadikan kesetiaan hanya sebatas hitungan untung dan rugi.
Sebuah Panggilan Kesadaran
Bahasa Jawa menyimpan kearifan yang tak lekang oleh waktu. Swargo Nunut, Neroko Katut sejatinya bukan ajaran untuk menjadi lemah. Ia adalah panggilan kesadaran.
Di tengah zaman yang terus berubah, kita perlu merawat nalar kritis. Kita harus memaknai pepatah ini dengan akal sehat. Berhati-hatilah dalam melangkah dan memilih panutan. Pastikan jejak langkah kita membawa orang lain menuju kebaikan, bukan menyeret mereka ke dalam kehancuran.(kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

