Ibadah
Beranda » Berita » Berbakti kepada Orang Tua Meski Telah Tiada

Berbakti kepada Orang Tua Meski Telah Tiada

Kesempatan berdoa di taman kuburan muslim, moment keagamaan penuh kedamaian dan spiritual.
Kegiatan beribadah dan mendoakan orang mati di tempat umum yang penuh ketenangan.

 

SURAU.CO – Banyak yang mengira bahwa bakti kepada orang tua berakhir ketika liang lahat ditutup dan doa talqin dibacakan. Padahal, Islam mengajarkan bahwa hubungan seorang anak dengan orang tuanya tidak terputus oleh kematian. Justru setelah wafat, terbukalah ladang amal baru bagi anak untuk terus menghadirkan kebaikan bagi kedua orang tuanya.

Rasulullah ﷺ bersabda bahwa ketika seorang manusia meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya. Hadis ini menjadi pengingat lembut sekaligus tegas: doa anak adalah bentuk bakti paling agung setelah orang tua tiada.

Berbakti kepada orang tua yang telah wafat bukan sekadar ritual doa tahunan, tetapi sikap hidup yang terus dijaga. Mendoakan ampunan dan rahmat untuk mereka, menunaikan wasiat yang belum terlaksana, melunasi hutang-hutang mereka, serta menyambung silaturahmi dengan kerabat dan sahabat yang dahulu mereka muliakan—semua itu adalah wujud bakti yang bernilai ibadah.

Sering kali kita menangis di pusara, namun lupa menghadiahkan doa di sepertiga malam. Kita rindu, tetapi enggan menggerakkan lisan dan hati untuk memohonkan ampunan bagi mereka. Padahal, satu doa tulus dari anak yang ikhlas bisa menjadi cahaya di alam barzakh, menjadi sebab diringankannya hisab, dan menjadi penyejuk bagi orang tua yang telah mendahului kita.

Saat Tidak Ada yang Melihat, Allah Tetap Mengawasi

Berbakti juga berarti menjaga nama baik

Akhlak anak adalah cermin pendidikan orang tua. Ketika anak menjaga shalatnya, lisannya, kejujurannya, dan amanahnya, maka pahala itu terus mengalir kepada orang tua yang dahulu bersusah payah membesarkannya.

Jika hari ini orang tua kita telah tiada, jangan biarkan bakti ikut terkubur bersama jasad mereka. Jadikan setiap doa, setiap sedekah, dan setiap kebaikan sebagai hadiah cinta yang tak pernah putus. Sebab kasih orang tua tak berakhir di dunia, dan bakti anak tak seharusnya berhenti di kuburan.

“Ya Allah, ampunilah kedua orang tua kami, sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangi kami di waktu kecil.”

 

 

Lapangan Penuh Kenangan: Doa yang Pernah Dititipkan

 


Tiga Karakter Orang yang Gemar Istighfar

 

Istighfar bukan sekadar kalimat pendek yang dilafalkan di lisan. Ia adalah pengakuan hamba atas kelemahan dirinya dan pengharapan penuh kepada keluasan ampunan Allah. Orang yang gemar beristighfar sejatinya sedang melatih hati untuk selalu rendah, jujur, dan bergantung hanya kepada Rabb-nya.

Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa siapa saja yang membiasakan diri dengan istighfar, maka Allah akan menghadiahkan kepadanya tiga keutamaan besar dalam hidupnya.

Pertama, dimudahkan rezekinya.
Banyak orang mengejar rezeki dengan tenaga dan strategi, namun lupa membersihkan penghalangnya. Dosa adalah salah satu penghalang terbesar rezeki. Istighfar membersihkan jalan yang tertutup, melapangkan yang sempit, dan menghadirkan keberkahan pada apa yang tampak sedikit. Bukan sekadar bertambah jumlahnya, tetapi tenang dalam menjalaninya.

Membuat Agama Islam Seperti Gado Rasa Nusantara

Kedua, dimudahkan segala urusannya.
Hidup sering terasa berat bukan karena masalah terlalu besar, tetapi karena hati terlalu penuh dengan beban dosa dan kelalaian. Istighfar membuat hati ringan. Dari hati yang ringan itulah lahir keputusan yang jernih, langkah yang mantap, dan kesabaran saat ujian datang. Allah sendiri yang akan mencukupkan urusan hamba-Nya.

Ketiga, dijaga kondisi serta kekuatannya.
Istighfar bukan hanya menyembuhkan jiwa, tetapi juga menjaga keteguhan hidup. Ia menjadi benteng dari futur, putus asa, dan kelelahan batin. Hamba yang gemar beristighfar akan Allah jaga kekuatannya—baik iman, akhlak, maupun istiqamahnya di jalan kebaikan.

Maka, jangan menunggu suci untuk beristighfar. Justru karena kitalah pendosa, istighfar menjadi kebutuhan harian. Di sela aktivitas, dalam sepi malam, di tengah kegagalan dan keberhasilan—biarkan istighfar menjadi napas ruhani yang tak pernah putus.

“Astaghfirullah, bukan karena aku sempurna, tetapi karena aku sadar betapa aku butuh ampunan-Mu, ya Allah.” (Tengku Iskandar, M. Pd – Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat)

 


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.