Opinion
Beranda » Berita » Lapangan Penuh Kenangan: Doa yang Pernah Dititipkan

Lapangan Penuh Kenangan: Doa yang Pernah Dititipkan

Lapangan Penuh Kenangan
Lapangan Penuh Kenangan

 

SURAU.CO – Di tengah kota yang kian berisik oleh ambisi dan waktu, ada sebuah lapangan yang diam-diam menyimpan banyak cerita. Rumputnya mungkin tak lagi hijau sempurna, garis putihnya mulai pudar, dan tribun kecilnya retak dimakan usia. Namun di sanalah kenangan tumbuh—lebih subur daripada rumput yang pernah dirawat dengan penuh cinta.

Lapangan itu bukan sekadar ruang terbuka. Ia adalah saksi bisu tawa yang pecah tanpa beban, peluh yang jatuh bersama doa-doa kecil, dan langkah-langkah muda yang berlari mengejar mimpi. Di sanalah pagi dimulai dengan semangat, sore ditutup dengan canda, dan senja menjadi penanda pulang. Setiap sudutnya mengingatkan kita pada masa ketika hidup terasa sederhana: cukup bola, kawan, dan waktu yang seolah enggan beranjak.

Ada anak-anak yang belajar arti kebersamaan di sana. Mereka mungkin belum paham makna menang dan kalah, tetapi mereka tahu bagaimana berbagi, menunggu giliran, dan saling menyemangati. Ada pula remaja yang menorehkan harapan tentang masa depan, tentang menjadi seseorang—di setiap tendangan dan lari. Lapangan itu menjadi sekolah tanpa papan tulis, tempat karakter ditempa oleh disiplin, sportivitas, dan persahabatan.

Berlari tanpa takut jatuh dan pulang dengan hati yang Penuh

Tidak jarang, lapangan juga menjadi tempat pulang bagi yang lelah. Duduk di tepinya, menatap langit yang memerah, seseorang bisa menemukan ketenangan. Angin yang lewat seakan membawa bisikan masa lalu: suara sorak kecil, panggilan nama, dan janji-janji yang pernah diucapkan dengan polos. Di sana, rindu menemukan alamatnya.

Berbakti kepada Orang Tua Meski Telah Tiada

Waktu berlalu. Banyak yang pergi, sedikit yang kembali. Namun lapangan tetap setia menunggu. Ia menerima langkah siapa pun—yang datang dengan kegembiraan, maupun yang membawa beban. Ia tak menuntut apa-apa, hanya memberi ruang untuk menjadi diri sendiri. Lapangan mengajarkan kita bahwa kenangan tak pernah benar-benar usang; ia hanya menunggu untuk disentuh kembali.

Barangkali kita tak bisa mengulang masa lalu. Tapi kita bisa merawat ingatannya. Menjaga lapangan berarti menjaga cerita. Menjaga cerita berarti menjaga jati diri. Sebab di tempat sederhana itulah, kita pernah belajar arti berlari tanpa takut jatuh, bangkit tanpa malu, dan pulang dengan hati yang penuh.

Lapangan penuh kenangan—ia bukan sekadar tempat. Ia adalah perjalanan. Ia adalah doa yang pernah kita titipkan, dan harapan yang masih ingin kita kejar.

 

 

Membuat Agama Islam Seperti Gado Rasa Nusantara

 


Hari Perhitungan Semakin Dekat, Tetapi Banyak yang Masih Lalai

 

Allah Ta’ala membuka Surah Al-Anbiya’ dengan sebuah peringatan yang menusuk hati:

> “Telah dekat kepada manusia hari untuk menghisab segala amalan mereka, namun mereka berada dalam kelalaian dan berpaling darinya.” — QS. Al-Anbiya’: 1

Ayat ini bukan hanya informasi, tetapi alarm pengingat bagi hati-hati yang mulai lemah. Allah memperingatkan kita bahwa hari hisab bukanlah perkara yang jauh, dan bukan sesuatu yang bisa kita tunda untuk disadari nanti. Ini adalah kalimat aktif yang utuh dan lengkap. Ia dekat, bahkan lebih dekat daripada apa pun yang kita khawatirkan dalam hidup.

Manfaat Memahami Makna Tauhid

Namun ironisnya, manusia justru sibuk dengan hal-hal yang fana. Mereka lalai, tenggelam dalam urusan dunia, kelezatan sesaat, ambisi tak berujung, dan permainan waktu yang tak akan kembali. Mereka membalikkan wajah dari peringatan, seolah-olah kematian tak akan menjemput, dan hisab tidak akan pernah terjadi.

Padahal setiap tarikan napas adalah langkah menuju akhir. Setiap detik yang berlalu adalah bagian dari perjalanan menuju pertemuan dengan Allah.

Ayat ini mengajak kita untuk:

Bangun dari kelalaian,
Kembali menata niat,

Memperbanyak amal,
Mengoreksi sikap,

Dan menyiapkan diri untuk hari di mana tidak ada satu pun amalan yang luput dari catatan.

Menyadari dekatnya hisab bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk membangunkan. Agar manusia hidup dengan hati yang sadar, bukan terseret oleh arus dunia.

Mari bertanya pada diri sendiri:
Sudahkah aku siap menghadap Allah?
Perbaiki apa yang harus kamu perbaiki?
Atau aku termasuk di antara mereka yang lalai dan berpaling?

Semoga kita menjadi hamba yang sadar, yang mendekat kepada Allah sebelum hari itu datang. Karena sungguh, hanya orang yang mempersiapkan diri yang akan tenang saat hari itu tiba. (Tengku Iskandar, M. Pd – Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.