Pendidikan
Beranda » Berita » Masa Lalu yang Tidak Kunjung Pergi: Warisan Kolonialisme Inggris-Prancis di Timur Tengah dan Afrika Utara

Masa Lalu yang Tidak Kunjung Pergi: Warisan Kolonialisme Inggris-Prancis di Timur Tengah dan Afrika Utara

Masa Lalu yang Tak Kunjung Pergi: Warisan Kolonialisme Inggris-Prancis di Timur Tengah dan Afrika Utara
Surau.co, platform Islami pilihan di Indonesia untuk berita, komunitas, dan pendidikan agama.

 

SURAU.CO – Peta politik kontemporer Timur Tengah dan Afrika Utara dengan garis-garis batasnya yang tegak lurus, negara-negara rentan konflik, dan ketegangan sektarian yang akut — seringkali disajikan seolah-olah merupakan takdir bawaan wilayah tersebut. Padahal, sebagaimana diurai dengan detail dan mendalam oleh Ann Williams dalam karyanya, Britain and France in the Middle East and North Africa, bentang alam politik ini adalah hasil rekayasa besar-besaran yang dilakukan oleh dua kekuatan kolonial Eropa, Inggris dan Prancis, dalam kurun paruh pertama abad ke-20. Memahami narasi ini bukan sekadar urusan sejarah, melainkan kunci untuk membedah akar dari banyak krisis yang kita saksikan hari ini, dari Sungai Yordania hingga Pegunungan Atlas.

Buku Williams menawarkan analisis komprehensif tentang dinamika, persaingan, dan akhirnya kolaborasi kedua negara itu dalam membentuk wilayah strategis ini. Periode 1914-1967 yang dicakupnya adalah era di ketika imperialisme Eropa mencapai puncak sekaligus menemui titik baliknya, digantikan oleh gelombang nasionalisme dan perlawanan lokal. Narasinya dimulai dari ranjang sakit “Masalah Timur” (Eastern Question) — kekosongan kekuasaan akibat kemunduran Kesultanan Utsmaniyah yang memancing nafsu dan intrik kekuatan-kekuatan besar.

Dua Wajah Imperialisme: Metode yang Beda, Dampak yang Sama

Salah satu kontribusi utama Williams adalah ia menguraikan dengan jelas perbedaan pendekatan imperial Inggris dan Prancis, yang pada akhirnya menghasilkan masalah serupa. Prancis, terutama di Afrika Utara (Maghrib), menerapkan model “asimilasi” dan kemudian “protektorat” dengan birokrasi yang ketat dan sentralistis. Di Aljazair, yang dianggap sebagai bagian dari Prancis metropolitan, kebijakan mission civilisatrice justru menciptakan jurang yang dalam antara colons (pemukim Eropa) dan penduduk Muslim, yang diberi status hukum inferior melalui Code de l’Indigénat. Di Suriah dan Lebanon, mandat Prancis dijalankan dengan tangan besi, memecah-belah wilayah berdasarkan komunalisme (misalnya, dengan menciptakan “Lebanon Raya” yang artifisial) untuk mempermudah kontrol, sebuah strategi divide et impera klasik yang meninggalkan luka sektarian yang dalam.

Sementara itu, Inggris — dengan kepentingan utamanya pada jalur komunikasi ke India dan kemudian minyak lebih memilih “pengaruh” daripada administrasi langsung. Di Mesir, mereka mempertahankan bentuk “Protektorat” dan kemudian “kemerdekaan terbatas” setelah 1922, dengan mencadangkan kendali penuh atas Terusan Suez dan Sudan. Di Irak dan Transyordan, mereka membangun negara-negara kerajaan boneka (Hashemite) yang bergantung pada dukungan dan nasihat Inggris. Namun, seperti diungkap Williams, pendekatan “tidak langsung” ini sama sekali tidak mengurangi esensi kontrol. Ambisi Inggris justru terjebak dalam kontradiksi fatal, terutama dalam kasus Palestina. Di sinilah janji-janji yang saling bertabrakan kepada Sharif Hussein (dalam Korespondensi McMahon), kepada Prancis (dalam Perjanjian Sykes-Picot 1916), dan kepada gerakan Zionis (Deklarasi Balfour 1917) dibuat dengan sembrono, mengubur bibit konflik yang tak terselesaikan hingga kini. Williams dengan tegas menyatakan bahwa beban menyediakan “Tanah Air Nasional” bagi Yahudi memberi Inggris “tugas politik yang mustahil dari awal”.

Kecewa dan Makna Sebuah Perjuangan

Perang, Nasionalisme, dan Keruntuhan Legitimasi

Perang Dunia II menjadi katalisator percepatan sejarah. Kekalahan Prancis pada 1940 merontokkan aura ketaklukannya di Suriah-Lebanon dan Afrika Utara. Inggris, meski menang perang, terbukti sangat rentan. Aksi high-handed seperti memaksa Raja Farouk Mesir mengangkat kabinet yang disukai London (1942) justru mengikis sisa-sisa legitimasi mereka. Williams menunjukkan bagaimana perang ini membangkitkan kesadaran politik massal dan menyatukan elite lokal melawan penjajah.

Bab tentang akhir Mandat Palestina adalah narasi tentang kegagalan dan keputusasaan. Kebijakan Inggris yang plin-plan, terjepit antara tekanan Zionis, kemarahan Arab, dan realitas internasional pasca-Holocaust, berakhir dengan kekacauan dan peperangan pada 1948. Keputusan untuk meninggalkan Palestina secara tergesa-gesa, seperti yang dianalisis Williams, lebih didorong oleh kelemahan ekonomi Inggris pasca-perang dan tekanan Amerika Serikat, daripada pertimbangan yang matang untuk perdamaian di tanah tersebut. Hasilnya adalah tragedi kemanusiaan yang berlanjut: berdirinya Israel di tengah permusuhan Arab, dan terciptanya masalah pengungsi Palestina yang akut.

Era Imperialisme Mulai Berakhir

Di Afrika Utara, gelombang dekolonisasi tak terbendung. Williams melacak dengan apik perjalanan masing-masing negara: perjuangan diplomatik Habib Bourguiba dan Neo-Destour di Tunisia; kombinasi tekanan rakyat dan kepemimpinan Sultan Mohammed V di Maroko; serta revolusi berdarah Front de Libération Nationale (FLN) di Aljazair. Perang Aljazair (1954-1962) khususnya, menjadi contoh bagaimana kekerasan kolonial untuk mempertahankan Algérie française justru mengoyak tubuh politik Prancis sendiri dan mengantarkan Jenderal de Gaulle pada kesadaran pahit bahwa era imperialisme telah berakhir.
Puncak Tragedi: Krisis Suez 1956 dan Warisannya

Bab-bab mengenai jalan menuju dan tahun-tahun pasca-Suez adalah klimaks dari analisis Williams. Krisis Suez bukan sekadar soal nasionalisasi sebuah terusan oleh Gamal Abdel Nasser. Ia adalah puncak dari frustrasi, kemarahan, dan ilusi dua kekuatan kolonial lama yang merasa hak sejarah dan kepentingan ekonominya dirampas. Persekonggolan rahasia Inggris, Prancis, dan Israel di Sèvres adalah tindakan putus asa untuk membalikkan waktu, mengembalikan dominasi lama dengan kekuatan militer.

Namun, seperti ditunjukkan Williams, dunia telah berubah. Amerika Serikat dan Uni Soviet, dua adidaya baru, menolak aksi sepihak itu. Tekanan ekonomi AS terhadap pound sterling memaksa Inggris, di bawah Anthony Eden yang sakit-sakitan, untuk mundur. Prancis, yang lebih nekat karena kepentingannya di Aljazair, merasa dikhianati oleh sekutunya. Bagi Nasser, kekalahan militer justru berubah menjadi kemenangan politik besar; ia muncul sebagai pahlawan Arab yang menantang imperialisme. Bagi Inggris dan Prancis, Suez adalah memento mori—peringatan akhir pahit bahwa mereka tidak lagi menjadi penguasa takdir di Timur Tengah.

Kewajiban Negara Melindungi Dari Bencana

Refleksi: Pelajaran bagi Tata Dunia Kontemporer

Apa yang dapat kita pelajari dari narasi sejarah yang dirajut Ann Williams ini?

Pertama, tentang bahayanya rekayasa politik dari luar. Negara-negara seperti Irak, Yordania, Lebanon, dan garis-garis demarkasi di Palestina adalah produk perundingan rahasia di kantor-kantor London dan Paris, dengan sedikit sekali pertimbangan terhadap realitas sosial, etnis, dan religius di lapangan. Bom waktu ini terus meledak hingga abad ke-21.

Kedua, tentang ilusi kekuasaan. Inggris dan Prancis percaya mereka dapat mengontrol nasib bangsa-bangsa lain melalui kombinasi diplomasi, kekuatan militer, dan politik divide-and-rule. Namun, mereka meremehkan kekuatan nasionalisme dan kehendak untuk merdeka. Kehancuran reputasi mereka di mata publik Arab adalah proses yang tak terelakkan.

Ketiga, tentang pentingnya konsistensi dan kejujuran dalam politik internasional. Janji-janji yang saling bertentangan dan kebijakan plin-plan seperti yang dilakukan Inggris di Palestina. Hanya menuai benci dari semua pihak dan menciptakan warisan konflik yang abadi.

Kepentingan Kekuasaan Besar

Sebagai bangsa Indonesia yang juga melalui perjalanan panjang melawan kolonialisme, kita dapat merasakan resonansi dari perjuangan bangsa-bangsa Maghrib dan Mashriq. Perjuangan diplomasi Bourguiba, perlawanan bersenjata FLN, atau keteguhan Mohammed V, memiliki paralelnya dalam sejarah kita. Namun, buku Williams juga mengingatkan bahwa kemerdekaan politik hanyalah awal. Tantangan membangun negara-bangsa (nation-state) dari warisan kolonial yang pecah, mengelola ekonomi. Dan mencari posisi di dunia yang masih didominasi oleh kepentingan kekuatan besar, adalah babak berikutnya yang sama sulitnya.

Tafsir Al-Qur’an Surah At-Taubah Ayat 119

Akhirnya, karya Ann Williams ini mengajak kita untuk melihat Timur Tengah. Dan Afrika Utara bukan sebagai wilayah yang “secara alamiah” kacau. Tetapi sebagai wilayah yang trauma oleh intervensi asing yang masif dan berdurasi panjang. Krisis hari ini tidak bisa dipisahkan dari trauma kemarin. Memahami sejarah kolonialisme Inggris-Prancis di wilayah itu adalah langkah penting untuk mengembangkan empati dan analisis yang lebih adil. Serta untuk menghindari pengulangan kesalahan yang sama—entah dalam bentuk intervensi militer baru. Rekayasa politik dari jauh, atau kebijakan luar negeri yang mengabaikan kompleksitas sejarah lokal. Masa lalu mungkin telah berlalu, tetapi bayang-bayangnya masih sangat panjang, membentang dari Mediterania hingga ke Teluk.

Wallahua’lam bish showwab. (Inayatullah A. Hasyim: Ketua LAZ Islamic Relief Indonesia)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.