SURAU.CO. Bencana banjir bandang kembali melanda Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Dalam sekejap, air bah menyapu pemukiman, merusak infrastruktur, dan memaksa warga kehilangan rumah serta orang-orang tercinta. Suasana duka dan ketidakpastian menyelimuti para penyintas yang kini harus memulai hidup dari awal.
Namun di tengah krisis itu, muncul fenomena sosial yang ramai dibicarakan publik. Para relawan, influencer, hingga selebritas berdatangan membawa bantuan—dan juga kamera. Kehadiran mereka memantik perdebatan tentang batas antara empati dan pencitraan.
Media sosial pun ful dengan hadirnya foto-foto yang memperlihatkan pose ceria di tengah reruntuhan. Swafoto dengan latar rumah rusak atau tumpukan bantuan menjadi sorotan publik. Banyak yang mempertanyakan: pantaskah tindakan itu dilakukan ketika saudara kita sedang berjuang melewati masa paling sulit dalam hidup mereka?
Duka Aceh: Dilema Antara Bantuan dan Panggung Popularitas
Kehadiran selebritas di lokasi bencana memang memiliki dua sisi. Di satu sisi, mereka membawa manfaat nyata: logistik yang dibutuhkan warga, penggalangan dana cepat, serta dorongan publik untuk ikut berdonasi. Popularitas mereka memang dapat menjadi jembatan yang menggerakkan banyak orang.
Namun, sisi lain memunculkan persoalan etika. Dalam beberapa unggahan, terlihat kontras yang menyakitkan—sang artis tersenyum di depan kamera, sementara para penyintas di belakangnya masih berwajah murung dan trauma. Dari sini, muncul pertanyaan penting: benarkah perlu mengambil selfie di tengah penderitaan orang lain? Pantaskah mencari sorotan ketika luka mereka belum mengering? Bencana bukan panggung; ia adalah ruang duka.
Para korban sedang berjuang memulai hidup dari nol. Karena itu, setiap tamu yang datang seharusnya membawa rasa hormat, bukan gestur yang melukai. Bayangkan seorang ibu yang kehilangan rumah, lalu melihat seseorang bergembira di dekat puing-puing kehidupannya. Foto yang bagi tamu hanyalah konten, bisa menjadi irisan luka yang semakin dalam bagi sang ibu.
Membedakan Dokumentasi dan Pencitraan
Di era digital, transparansi memang menjadi tuntutan. Banyak yang berargumen bahwa dokumentasi visual penting sebagai bukti penyaluran bantuan, penguat kepercayaan donatur, dan pemicu respon cepat dari publik. Bahkan, ketiadaan foto sering dianggap mencurigakan. Namun, persoalannya bukan pada dokumentasi itu sendiri, melainkan pada bagaimana cara mengambil gambar itu.
Kita perlu membedakan dengan jelas antara dokumentasi dan pencitraan. Dokumentasi menyoroti kondisi korban dan situasi di lapangan, sementara pencitraan justru menonjolkan sosok pemberi bantuan. Swafoto dengan pose cerah dan gaya layaknya model tentu condong pada pencitraan, berbeda jauh dari foto proses evakuasi, distribusi logistik, atau informasi edukatif mengenai mitigasi bencana.
Konten yang selaras dengan semangat kemanusiaan selalu menempatkan martabat korban di atas popularitas individu. Dokumentasi yang tepat membantu, sementara pencitraan yang berlebihan hanya menambah luka di tengah situasi yang masih rapuh.
Duka Aceh dan Kebutuhan Nyata Para Penyintas
Laporan lapangan di Aceh dan Sumatera menunjukkan bahwa para korban lebih membutuhkan ketenangan batin dan dukungan psikososial untuk memulihkan trauma. Yang jauh lebih krusial adalah koordinasi bantuan yang tertata dan keberpihakan nyata dari Pemerintah maupun relawan, bukan sesi foto atau momen untuk mempercantik media sosial.
Warga sebenarnya menyambut baik kehadiran artis atau figur publik, asalkan mereka datang sebagai sesama manusia yang benar-benar peduli. Para penyintas membutuhkan tangan yang menolong, bukan tangan yang sibuk mencari angle terbaik. Yang mereka butuhkan adalah empati tulus—bukan konten.
Menyalakan Kamera dengan Adab
Pada akhirnya, inti persoalan ini kembali pada niat. Niat yang tulus akan melahirkan tindakan yang penuh empati. Tidak semua kebaikan perlu terabadikan; ada saatnya kamera disimpan dan hati dibuka. Dalam situasi bencana, senyum lebar di depan kamera sering kali tidak tepat. Pelukan hangat, doa tulus, atau sekadar duduk menemani justru memberi dampak psikologis yang lebih berarti.
Bencana adalah ujian bagi semua—pejabat, relawan, hingga selebritas—yang menilai apakah empati mampu mengalahkan ego. Bantuan tanpa kamera adalah bentuk kepedulian paling murni. Namun jika dokumentasi memang perlu untuk menggerakkan solidaritas, lakukan dengan adab dan hormat. Jangan sampai martabat para penyintas, satu-satunya hal yang masih mereka punya, justru direnggut oleh sebuah selfie.(kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
