Khazanah
Beranda » Berita » Al-Munqidz min adh-Dhalal: Jejak Pencarian Sang Pembebas

Al-Munqidz min adh-Dhalal: Jejak Pencarian Sang Pembebas

Al-Munqidz min adh-Dhalal: Jejak Pencarian Sang Pembebas
Al-Munqidz min adh-Dhalal: Jejak Pencarian Sang Pembebas

 

SURAU.CO – Di tengah hiruk-pikuk wacana keagamaan yang kerap terjebak dalam formalisme dan simbol, atau justru terperosok dalam relativisme yang lepas dari akar, kita merindukan suara yang jernih. Suara yang lahir bukan dari ruang kosong, melainkan dari perjalanan panjang menembus labirin keraguan, menyelami samudra ilmu, hingga akhirnya menemukan pantai keyakinan yang tenang. Suara itu terdengar lantang dari abad ke-11 Hijriah, dari seorang yang oleh sejarah dijuluki Hujjat al-Islam, “Sang Argumentasi Islam”: Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (1058-1111 M).

Karya besarnya, Al-Munqidz min adh-Dhalal (Pembebas dari Kesesatan), yang kini hadir dalam edisi kritis nan teliti oleh Muhammad Abulaylah dan Nurshif Abdul-Rahim Rif’at, bukan sekadar buku. Ia adalah sebuah peta perjalanan jiwa. Sebuah otobiografi intelektual-spiritual yang mungkin adalah yang pertama dalam khazanah Islam, yang mencatat dengan lugas dan berani pergulatan batin seorang pencari hakikat.

Di sini, Al-Ghazali tidak sedang berkhotbah dari menara gading. Ia justru membuka lembaran-lembaran kerapuhan, kebingungan, dan kegelisahannya sendiri. Inilah yang membuat kitab kecil ini memiliki bobot yang luar biasa. Ia adalah cermin bagi siapa pun yang tidak ingin puas hanya menjadi “pewaris” keyakinan, tetapi ingin menjadi “pemilik” keyakinan itu sendiri.

Latar Sang Pencari: Dari Tus ke Puncak Dunia

Untuk memahami kedalaman Al-Munqidz, kita harus menyelami latar hidup penulisnya. Lahir di Tus, Khurasan, pada 450 H, Al-Ghazali tumbuh dalam lingkungan yang diwarnai pergulatan pemikiran antara Sunni, Syiah, dan bahkan pengaruh non-Muslim. Ayahnya, seorang pemintal wol yang saleh, meninggal dunia ketika Al-Ghazali dan adiknya, Ahmad (yang kelak menjadi ahli khutbah termasyhur), masih belia. Wasiat sang ayah kepada seorang sufi sahabatnya untuk mengasuh kedua anak ini ternyata adalah benih bagi tumbuhnya dua pohon ilmu yang kelak menggetarkan zaman.

Buah dari Kesabaran: Ketika Ujian Menjadi Jalan Menuju Kedewasaan

Dalam pengantarnya yang panjang, edisi kritis ini menggambarkan dengan rinci perjalanan intelektual Al-Ghazali muda. Ia belajar fikih pada Imam Ahmad ar-Radzakani, lalu berpindah ke Jurjan untuk menimba ilmu dari Abu al-Qasim al-Isma’ili. Kisah perampokan yang dialaminya dalam perjalanan pulang dari Jurjan adalah titik penting. Seluruh catatan ilmunya yang berharga dirampas. Keputusasaan yang mendalam membawanya pada sebuah refleksi mendasar: apa gunanya ilmu jika hanya tertulis di kertas, dan belum melekat di hati dan ingatan? Peristiwa ini memicunya untuk menghafal dan menginternalisasi ilmu, bukan sekadar mencatatnya.

Pergulatan Intelektual yang Mendalam

Puncak pendidikannya ditempuh di Naisabur, di bawah bimbingan Imam al-Haramain al-Juwaini, seorang teolog besar Asy’ariyah. Di sinilah bakat Al-Ghazali yang cemerlang, ketajaman analisis, dan kecepatan berpikirnya bersinar. Ia bahkan mengajar dan berfatwa ketika masih menjadi murid, suatu hal yang luar biasa. Al-Juwaini sendiri, seperti dicatat oleh muridnya Abdul Ghafir al-Farisi, merasa “iri” sekaligus bangga pada kecerdasan muridnya ini. Dari al-Juwaini, Al-Ghazali tidak hanya menyerap ilmu kalam, tetapi juga mewarisi benih “keraguan metodis” dalam mencari kebenaran. Ungkapan sang guru, “Aku telah membaca lima puluh ribu karya dalam lima puluh ribu bidang, semua dalam mencari kebenaran,” dan pernyataannya di akhir hidup untuk “kembali pada agama orang-orang tua (al-‘ajāiz),” menunjukkan pergulatan intelektual yang mendalam, yang kelak beresonansi kuat dalam jiwa Al-Ghazali.

Reputasinya melambung hingga menarik perhatian Perdana Menteri kekaisaran Seljuk yang legendaris, Nizam al-Mulk. Di istana yang menjadi tempat berkumpulnya para ilmuwan terkemuka itu, Al-Ghazali berdebat dan bersinar.

Akhirnya, ia diangkat menjadi guru besar di Madrasah Nizamiyah Baghdad, institusi pendidikan paling bergengsi di dunia Islam saat itu, pada tahun 484 H. Di sinilah ia mencapai puncak kemasyhuran duniawi. Namanya berkumandang, muridnya membludak, dan pengaruhnya besar. Ia menjadi “Imam Irak” setelah sebelumnya menjadi “Imam Khurasan”.

Krisis dan Pelarian: Saat Segalanya Runtuh

Namun, justru di puncak kejayaan itulah krisis spiritual menerpanya. Al-Munqidz mencatat dengan sangat jujur dan detail pergolakan batin ini. Al-Ghazali menggambarkan dirinya terjerat dalam “jaring-jaring ikatan dunia”, sibuk dengan ilmu-ilmu yang “tidak penting dan tidak bermanfaat bagi jalan akhirat”. Ia menyadari niatnya mengajar ternyata tidak ikhlas, tetapi didorong oleh keinginan untuk meraih ketenaran dan pengakuan. Ia merasa seperti berdiri di tepi jurang neraka.

Akar Yang Merintih, Daun Yang Merangas: Sebuah Risalah Rindu

Keraguan (as-shukuk) yang bersifat metodis dan epistemologis mulai menggerogotinya. Ini bukan keraguan orang ateis atau orang sakit jiwa, melainkan keraguan seorang ilmuwan yang ingin mencapai kepastian (al-yaqin) tertinggi. Ia mulai mempertanyakan landasan ilmu-ilmu yang dimilikinya, bahkan landasan indera dan akal itu sendiri.

“Aku mulai menguji semua ilmu yang kumiliki,” tulisnya. “Aku dapati diriku kosong dari ilmu yang disifati dengan sifat ini [keyakinan yang tak tergoyahkan] kecuali pada hal-hal yang bersifat indrawi dan dharuriyyat [aksioma].” Namun, keraguan pun menjalar ke sana. Bukankah mata sering menipu? Bayangan tampak diam, padahal bergerak perlahan. Bintang terlihat kecil, padahal lebih besar dari bumi. Jika indera bisa salah, bagaimana dengan akal? Bukankah akal juga bisa keliru? Bahkan dalam mimpi, kita menganggap sesuatu nyata, padahal ia hanyalah ilusi. Bisa jadi seluruh kehidupan ini adalah mimpi panjang yang hanya akan kita sadari ketika “terbangun” di akhirat.

Inilah puncak keraguan filosofisnya, sebuah epoché (penangguhan keyakinan) ala Ghazali yang mendahului filsuf Descartes berabad-abad. Ia menggambarkan dirinya terapung-apung dalam lautan keraguan, tanpa pegangan. Penyakit ini membelenggunya selama hampir enam bulan, hingga membuat lidahnya kelu dan jiwanya terpuruk.

Jalan Keluar: Dari Rasio ke Kalbu, dari Ilmu ke Pengalaman

Dalam keadaan terjepit itulah, jalan keluar muncul. Bukan melalui deduksi logis yang rumit, tetapi melalui sebuah “cahaya” (nur) yang diletakkan Allah ke dalam kalbunya. Cahaya itu adalah kunci untuk menerima kembali kebenaran-kebenaran dasar (dharuriyyat) tanpa perlu melalui argumentasi rumit. Inilah yang dalam istilah sufi disebut sebagai kasyf (penyingkapan) atau ilham (inspirasi).

Melalui cahaya inilah, Al-Ghazali menemukan pijakan baru. Ia menyadari bahwa di luar wilayah indera dan rasio murni, terdapat wilayah lain: wilayah kalbu dan intuisi spiritual. Wilayah inilah yang dijelajahi oleh kaum sufi. Keraguannya tidak berakhir pada skeptisisme, tetapi justru membawanya pada bentuk keyakinan yang lebih tinggi, yang memadukan pembenaran rasional dan pengalaman batin.

Sabar Menanti Pertolongan Allah

Maka, langkah drastis pun diambil. Di puncak ketenarannya, pada 488 H, ia meninggalkan Baghdad. Ia melepaskan jabatan, kemewahan, dan reputasinya. Sebagian hartanya dibagikan, dan dengan bekal minim, ia pergi menyepi. Ia menunaikan haji, lalu tinggal di Syam (Suriah) selama sekitar sepuluh tahun. Di sana ia menjalani hidup zuhud, beribadah, berkontemplasi, dan justru menghasilkan karya-karya monumentalnya, seperti Ihya’ ‘Ulum ad-Din. Masa inilah masa pemurnian jiwa, transformasi dari seorang profesor terkenal menjadi seorang pencinta Tuhan yang tulus.

Ada yang menduga bahwa kepergiannya dilatari ketakutan terhadap teror sekte Batiniah (Isma’iliyah) yang telah membunuh mentornya, Nizam al-Mulk. Namun, analisis dalam edisi kritis ini menolak tafsiran itu. Alasan yang dikemukakan Al-Ghazali sendiri dalam Al-Munqidz bersifat spiritual-psikologis, bukan politis. Selain itu, sikapnya yang tetap keras menentang Batiniah dalam tulisan-tulisannya, bahkan setelah ia meninggalkan Baghdad, menunjukkan bahwa ia tidak lari karena takut, tetapi karena panggilan jiwa yang lebih tinggi.

Kembali ke Dunia: Mengajar dengan Cahaya Baru

Setelah lebih dari satu dekade menyepi, ia dipanggil kembali untuk mengajar di Madrasah Nizamiyah, tetapi kali ini di Naisabur, atas permintaan penguasa setempat, Fahr al-Mulk. Panggilan ini ia jawab karena ia kini memandang mengajar sebagai kewajiban agama (dakwah, amar makruf nahi munkar), bukan lagi sebagai sarana mengejar popularitas. Ia kembali, tetapi sebagai manusia yang telah diubah oleh kesepian dan pendakian spiritual. Ia mengajar dengan cahaya baru yang diperolehnya di gua-gua penyepian.

Edisi kritis ini juga mengupas pengaruh Al-Ghazali yang sangat besar, tidak hanya di dunia Islam tetapi juga di Barat. Konsep “keraguan metodis”-nya sering dibandingkan dengan Discourse on Method Rene Descartes (1596-1650). Meski sulit membuktikan pengaruh langsung, kemiripannya mencolok: mulai dari penolakan terhadap taklid dan otoritas, penyangsian terhadap informasi indera, hingga pencarian suatu kebenaran yang tak terbantahkan (cogito ergo sum pada Descartes, “cahaya dalam kalbu” pada Al-Ghazali). Perbedaannya fundamental: bagi Descartes, titik akhir adalah “aku berpikir”, sementara bagi Al-Ghazali, titik akhir adalah “Tuhan yang menerangi kalbu”. Descartes berhenti pada kesadaran diri (self-consciousness), Al-Ghazali melampauinya menuju Kesadaran Ilahi (God-consciousness).

Pengaruhnya juga terlihat pada filsuf dan teolog Kristen seperti Thomas Aquinas, serta pada pemikir Muslim sesudahnya seperti Abu al-Barakat al-Baghdadi. Kritiknya yang telak terhadap filsafat metafisika Yunani (dalam Tahafut al-Falasifah) telah membentuk dialektika pemikiran Islam dan memicu respons mendalam dari filsuf seperti Ibnu Rusyd.

Signifikansi “Al-Munqidz”: Sebuah Warisan Abadi

Membaca Al-Munqidz min adh-Dhalal dalam edisi yang telah diperiksa keabsahan teksnya oleh tim Al-Azhar ini adalah sebuah pengalaman yang menggetarkan. Kita diajak menyelami jiwa seorang genius yang jujur pada dirinya sendiri. Beberapa pelajaran abadi yang dapat kita petik:

  1. Kejujuran Intelektual sebagai Jalan Suci. Al-Ghazali mengajarkan bahwa jalan menuju Tuhan dimulai dengan kejujuran pada diri sendiri, mengakui keraguan, dan tidak berpura-pura yakin. Agama yang diwarisi (al-mawruts) harus diuji untuk menjadi agama yang diyakini (al-mahshul).
  2. Pendidikan yang Membebaskan. Pendidikan sejati bukanlah penjejalan dogma, tetapi proses membebaskan pikiran dari belenggu taklid, membekali dengan alat-alat verifikasi (manthiq, nazhar), dan mengarahkannya pada pencarian hakikat.

  3. Keseimbangan antara Rasio dan Spiritualitas. Al-Ghazali bukan anti-akal. Ia justru menggunakan akal secara maksimal sampai akal itu sendiri mengakui batasnya. Setelah itu, ia memberikan tempat pada kalbu, intuisi, dan pengalaman spiritual (dzauq) sebagai sumber pengetahuan yang sah. Ini adalah jalan tengah yang brilian antara rasionalisme ekstrem dan fideisme (kepercayaan buta) ekstrem.

  4. Ilmu untuk Amal, Amal untuk Ikhlas. Kritiknya yang pedas terhadap para ulama dan pengajar yang mencari pangkat dan harta adalah tamparan keras sepanjang masa. Ilmu harus mengarah pada amal, dan amal harus dilandasi oleh keikhlasan. Frase terkenalnya, “Al-‘ilmu as-halu min al-‘amal” (Ilmu lebih mudah daripada amal), menjadi pengingat bahwa bahaya terbesar adalah intelektualisme kosong.

  5. Spiritualitas sebagai Jantung Agama. Perjalanannya ke dunia tasawuf bukan pelarian, melainkan pendakian. Ia melihat tasawuf (yang ortodoks, berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah) sebagai penyempurnaan dari syariat dan teologi. Di sana, agama bukan lagi sekadar keyakinan di kepala atau ritual di anggota badan, melainkan pengalaman dan rasa (hal dan dzauq) di dalam kalbu.

Pengaruh Positif sang Hujjat Al-Islam

Di akhir hidupnya, setelah kembali sebentar ke dunia pengajaran, Al-Ghazali memilih untuk menyepi kembali di tempat kelahirannya, Tus. Ia wafat pada 14 Jumadil Akhir 505 H. Dalam edisi kritis ini, diungkapkan pula pandangan para penentangnya, seperti Ibn al-Jauzi yang mengkritik Ihya’ karena memuat hadis-hadis dhaif. Namun, sejarah telah membuktikan bahwa pengaruh positif sang Hujjat al-Islam jauh mengatasi segala kritik.

Al-Munqidz min adh-Dhalal adalah mercusuar. Ia menyinari jalan setiap pencari kebenaran sejati, yang tidak ingin agamanya menjadi baju warisan yang usang, tetapi ingin menjadikannya mata air kehidupan yang selalu memancar dari kedalaman jiwanya sendiri. Di tengah dunia yang semakin kompleks dan penuh dengan “kesesatan” yang lebih halus — kesesatan informasi, kesesatan hasrat, kesesatan identitas suara Al-Ghazali dari abad ke-11 itu tetap relevan:

“Barangsiapa tidak meragukan, maka ia tidak memeriksa. Dan Barangsiapa tidak memeriksa, maka ia tidak melihat. Barangsiapa tidak melihat, maka ia tetap berada dalam kebutaan dan kesesatan.”

Keraguan yang tulus, yang berangkat dari kerinduan pada hakikat, bukanlah dosa. Ia justru bisa menjadi tangga pertama menuju puncak keyakinan yang tak tergoyahkan. Inilah warisan terbesar sang pembebas dari kesesatan. Wallahua’lam bish showwab. (Inayatullah A. Hasyim: Ketua Lembaga Amil Zakat Nasional Islamic Relief Indonesia)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.