Ekonomi Opinion
Beranda » Berita » Mata Uang Kripto Dalam Timbangan Syariah: Belajar Dari Runtuhnya Luna Terra Dan Bitcoin

Mata Uang Kripto Dalam Timbangan Syariah: Belajar Dari Runtuhnya Luna Terra Dan Bitcoin

Al-Munqidz min adh-Dhalal: Jejak Pencarian Sang Pembebas
Al-Munqidz min adh-Dhalal: Jejak Pencarian Sang Pembebas

 

SURAU.CO – Revolusi digital telah melahirkan paradigma moneter baru yang menantang tatanan keuangan konvensional. Bitcoin, si pionir mata uang kripto, dan ribuan aset digital turunannya, menjanjikan desentralisasi, kebebasan transaksi, dan potensi keuntungan spektakuler. Pada puncaknya, pasar mata uang kripto mencatat pencapaian luar biasa dengan nilai kapitalisasi mencapai $3,91 triliun pada bulan Desember 2024 (tahun lalu). Lonjakan ini didorong oleh optimisme seputar regulasi, meningkatnya adopsi institusional, serta rekor harga baru Bitcoin yang mencapai $108.000,- per-keping.

Namun, di balik grafis hijau dan narasi financial freedom, tersembunyi volatilitas ganas yang siap melahap aset investor dalam sekejap. Tak ada contoh yang lebih tragis dari kehancuran Terra Luna (LUNA) dan stablecoin algoritmiknya, UST, pada Mei 2022. Aset yang pernah mencapai kapitalisasi US$ 40 miliar itu runtuh menjadi hampir nol dalam waktu kurang dari seminggu. Ratusan miliar dolar menguap, menghancurkan tabuhan hidup masyarakat kecil yang tergiur iming-iming return fantastis.

Neraca Maqashid Syariah

Peristiwa ini bukan sekadar kecelakaan pasar, tetapi gambaran nyata dari gharar (ketidakpastian ekstrem) dan maysir (spekulasi judistik) yang dikecam syariat. Ia menjadi peringatan keras bagi siapapun yang hendak memasuki dunia aset digital tanpa memahami landasan nilai dan risikonya. Dari kacamata hukum Islam, fenomena kripto harus ditimbang dengan neraca maqashid syariah, khususnya perlindungan harta (hifzh al-mal) dan penolakan terhadap segala bentuk kerusakan (dar’ al-mafasid).

Allah SWT berfirman:

Ilusi yang Menghambat Majunya Pendidikan Indonesia

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُم

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. (QS. An-Nisa’: 29)

Ayat ini menempatkan kerelaan dan keabsahan transaksi sebagai fondasi. Keabsahan itu runtuh jika di dalamnya terdapat unsur penipuan, ketidakjelasan, atau spekulasi yang merusak. Nabi SAW pun mengingatkan:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

Rasulullah SAW melarang jual beli yang mengandung gharar (ketidakpastian/penipuan). (HR. Muslim)

Buah dari Kesabaran: Ketika Ujian Menjadi Jalan Menuju Kedewasaan

Bagaimana kita menguji Bitcoin dan sejenisnya dengan prinsip ini?

Pertama, dari aspek kedaulatan moneter dan perlindungan negara. Dalam kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyah, Imam Al-Mawardi menegaskan bahwa pencetakan dan pengawasan mata uang (thaqth an-naqd) adalah wewenang eksklusif pemerintah (sultan). Ini merupakan bentuk hirasah (penjagaan) agar masyarakat terlindungi dari pemalsuan, inflasi, dan ketidakstabilan. Bitcoin lahir justru sebagai antitesis: mata uang privat tanpa otoritas pusat, dikelola jaringan anonim, dan nilainya ditentukan pasar spekulatif. Ketika terjadi krisis seperti pada Luna Terra, tidak ada lender of last resort, tidak ada mekanisme penyelamatan. Investor terjun bebas dalam lubang kerugian tanpa pelindung. Inilah yang bertentangan dengan prinsip hifzh al-mal dalam Islam.

Kedua, dari aspek kejelasan nilai dan dukungan aset riil. Uang dalam tradisi Islam harus memiliki nilai intrinsik atau dijamin oleh sesuatu yang riil. Dinar dan dirham didukung logam mulia. Uang kertas modern sekalipun, meski tak lagi berbasis emas, dijamin oleh kedaulatan negara dan produktivitas ekonomi nasional. Bitcoin dan kebanyakan kripto tidak memiliki backing asset apa pun. Ia adalah angka digital yang nilainya murni bergantung pada psikologi pasar dan narasi spekulatif.

Kisah runtuhnya Terra Luna (ingat, bukan Luna Maya yah) adalah contoh nyata betapa berbahayanya aset tanpa dukungam riil. Stablecoin UST yang dijanjikan tetap stabil di harga US$ 1 melalui algoritma kompleks, ternyata roboh ketika kepercayaan pasar hilang. Mekanisme algorithmic peg yang diandalkan tidak mampu menahan tekanan penjualan massal. Dalam terminologi fikih, ini adalah jahalah kubra (ketidakjelasan parah) dan gharar fahisy (ketidakpastian yang membahayakan). Nilai yang dianggap stabil ternyata ilusif. Ribuan investor, banyak di antaranya dari kalangan menengah kehilangan hampir seluruh asetnya dalam hitungan hari. Ada laporan seorang investor di Indonesia kehilangan Rp 14 miliar dalam semalam. Ini bukan lagi investasi, melainkan perjudian berkedok teknologi tinggi.

Volatilitas Bitcoin

Ketiga, volatilitas ekstrem dan unsur spekulasi (maysir). Volatilitas Bitcoin memang sudah terkenal. Namun, volatilitas aset seperti Luna Terra lebih parah lagi: jatuh lebih dari 99% dalam waktu singkat. Fluktuasi semacam ini melumpuhkan fungsi uang sebagai penyimpan nilai (store of value) dan satuan hitung (unit of account). Pedagang tidak mungkin menetapkan harga barang dalam Bitcoin atau Luna dengan stabil. Aset seperti ini lebih cocok disebut komoditas spekulatif, bukan alat tukar yang sah. Rasulullah SAW melarang segala bentuk maysir, termasuk transaksi yang mengandalkan spekulasi dan untung-untungan tanpa dasar produktif.

Keempat, potensi kejahatan dan prinsip saddu adz-dzari’ah. Blockchain memang transparan, tetapi alamat wallet seringkali pseudonim. Laporan Chainalysis 2023 menunjukkan aliran dana ilegal ke kripto mencapai US$ 24,2 miliar pada 2022, terkait perdagangan narkotika, pencucian uang, dan finansial terorisme. Banyak platform kripto yang juga menawarkan leverage tinggi (hingga 100x) yang mendorong budaya judi. Prinsip saddu adz-dzari’ah (menutup jalan maksiat) mengajarkan kita untuk menghindari instrumen yang membuka pintu kezaliman, meski ada sisi teknis yang mungkin halal.

Akar Yang Merintih, Daun Yang Merangas: Sebuah Risalah Rindu

Namun, bukan berarti teknologi blockchain harus ditolak mentah-mentah. Di sinilah diperlukan wisayah fiqhiyyah (kearifan fikih). Teknologi ini menawarkan transparansi, efisiensi, dan inklusi keuangan. Beberapa pengembangan cryptocurrency syariah seperti Islamic Coin (HAQQ) yang mengklaim patuh syariah dan mendanai proyek komunitas, atau Gold-backed crypto yang dijamin emas fisik, bisa menjadi alternatif yang lebih selaras dengan maqashid syariah.

Lalu, apa jalan keluar?

Pertama, otoritas syariah dan regulator harus bersikap proaktif, bukan reaktif. Daripada sekadar melarang, lebih baik membuat standar syariah untuk aset digital. Aset kripto harus diklasifikasi: mana yang sebagai alat tukar, komoditas, atau sekuritas digital. Masing-masing memerlukan kriteria berbeda.

Kedua, prinsip dukungan aset riil (real asset backing) harus dihidupkan. Konsep sukuk digital atau token aset riil (misalnya token yang mewakili kepemilikan properti atau komoditas) lebih sesuai dengan jiwa ekonomi Islam. Ini akan mengurangi volatilitas dan mengaitkannya dengan ekonomi riil.

Ketiga, edukasi masyarakat harus masif dan jujur. Masyarakat harus paham bahwa investasi kripto adalah high-risk high-return, bukan skema cepat kaya. Cerita Luna Terra harus menjadi bahan pembelajaran: bagaimana aset yang dianggap stable pun bisa runtuh seketika.

Kesimpulannya, Bitcoin dan mayoritas mata uang kripto dalam bentuknya saat ini masih terlalu sarat gharar, jahalah, dan maysir untuk dapat dianggap sebagai uang syariah (tsaman mutaqawwim).

Kehancuran Terra Luna, dengan demikian, adalah bukti nyata betapa rapuhnya bangunan aset digital yang tak berdiri di atas nilai riil. Namun, teknologi blockchain itu sendiri adalah netral. Maka, ia bisa menjadi alat untuk kebaikan jika diarahkan dengan prinsip keadilan, transparansi, dan dukungan aset produktif.

Tugas ulama dan praktisi ekonomi Islam bukan menolak zaman, tetapi mengarahkan kemajuan teknologi agar tunduk pada nilai-nilai Ilahi, melindungi harta masyarakat, dan mewujudkan kemaslahatan bersama.

فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً ۖ وَأَمَّا مَا يَنفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الْأَرْضِ

Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; tetapi yang bermanfaat bagi manusia, akan tetap ada di bumi. (QS. Ar-Ra’d: 17) Wallahu a’lam bish-shawab. (Inayatullah A. Hasyim – Ketua Lembaga Amil Zakat Nasional Islamic Relief Indonesia)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.