SURAU.CO – Euforia pesta rakyat belum benar-benar usai ketika baliho kemenangan mulai diturunkan dan ruang sidang Mahkamah Konstitusi kembali padat oleh para pengacara politik. Di situlah wajah lain demokrasi Indonesia menampakkan diri: bukan di TPS, melainkan di ruang sidang. Demokrasi yang seharusnya memberi kepastian, kini justru menjadi sumber ketidakpastian baru.
Dari Euforia ke Sengketa: Wajah Gelap Demokrasi Lokal
Setiap kali Pilkada usai, Indonesia seolah merayakan dua peristiwa besar sekaligus: pesta demokrasi dan pesta gugatan. Di satu sisi, euforia rakyat memenuhi ruang publikspanduk kemenangan, arak-arakan, dan ucapan selamat yang menandai selesainya kontestasi. Namun di sisi lain, begitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan hasil resmi, gelombang sengketa hasil Pilkada pun segera mengalir ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Fenomena ini kembali terulang pada Pilkada Serentak 2024. Berdasarkan data Mahkamah Konstitusi, terdapat 158 permohonan sengketa hasil Pilkada yang diajukan oleh pasangan calon di berbagai daerah meningkat dari 136 permohonan pada Pilkada 2020. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cermin dari tingginya ketidakpercayaan terhadap proses elektoral di tingkat lokal.
Sebagian besar gugatan yang masuk ke MK berkisar pada tiga isu klasik: selisih suara tipis, dugaan politik uang, dan manipulasi hasil di tingkat rekapitulasi kecamatan. Ketiga hal ini memperlihatkan bagaimana persoalan integritas elektoral belum benar-benar selesai meski tahapan Pilkada telah dirancang semakin ketat dan digital.
Ironinya, Pilkada yang seharusnya menjadi puncak legitimasi politik justru berujung pada gelombang kecurigaan dan delegitimasi. Kontestasi yang idealnya diselesaikan di bilik suara kini seolah berpindah ke ruang sidang. Demokrasi lokal kehilangan maknanya ketika hasil pemilihan tidak lagi dipercaya sebagai ekspresi murni kehendak rakyat, melainkan produk tarik-menarik kepentingan dan celah prosedural.
Euforia yang semula menjanjikan harapan kini berubah menjadi arena sengketa yang tak kunjung reda memperlihatkan wajah gelap dari demokrasi elektoral kita: demokrasi yang terlalu sibuk membela hasil, hingga lupa membangun kepercayaan.
Celah Regulasi: Keterbatasan Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Meski Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi lembaga paling sibuk setiap kali Pilkada usai, ruang geraknya dalam menyelesaikan sengketa hasil sesungguhnya sangat terbatas. Dasar hukum yang mengatur kewenangan MK dalam perkara Pilkada terdapat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah serta Peraturan MK Nomor 5 Tahun 2020 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Namun, kedua regulasi ini menempatkan MK hanya sebagai pengadil atas hasil suara secara matematis, bukan atas keseluruhan proses yang melatarinya.
Artinya, MK baru dapat memeriksa dan memutus sengketa jika pemohon mampu membuktikan bahwa terdapat perbedaan hasil penghitungan suara yang signifikan dan memenuhi ambang batas selisih suara sebagaimana diatur dalam undang-undang. Sebaliknya, dugaan pelanggaran yang bersifat sistematis, terstruktur, dan masif (TSM) di luar penghitungan angkaseperti politik uang, penyalahgunaan birokrasi, atau manipulasi data pemilihsering kali tidak dapat dijangkau oleh kewenangan MK.
Akibatnya, banyak permohonan sengketa yang kandas di tahap awal. Dari 158 permohonan sengketa hasil Pilkada 2024, lebih dari 70% ditolak karena alasan formalitas ambang batas selisih suara. Dengan demikian, substansi keadilan elektoral sering kali tidak tersentuh; yang diuji bukanlah integritas proses pemilihan, melainkan sekadar perbedaan angka.
Kritik akademik pun menguat: mekanisme hukum yang berlaku saat ini lebih menekankan pada hitungan, bukan keadilan. MK berperan sebagai penjaga kalkulator demokrasi, bukan penjaga integritasnya. Padahal, dalam konteks Pilkada yang penuh dengan praktik politik uang, mobilisasi aparat, dan tekanan sosial-ekonomi, keadilan elektoral tidak bisa diukur semata dari angka-angka rekapitulasi.
Keterbatasan kewenangan ini memperlihatkan paradoks besar dalam demokrasi lokal kita: sengketa Pilkada diselesaikan secara hukum, tetapi hukum itu sendiri tak cukup luas untuk menampung kompleksitas politiknya.
Antara Hukum dan Keadilan: Problem Ambang Batas Sengketa
Salah satu paradoks paling mencolok dalam penyelesaian sengketa Pilkada di Indonesia adalah fenomena yang oleh para akademisi disebut sebagai “justice denied by numbers” keadilan yang gagal diwujudkan karena terhalang oleh hitungan formalitas hukum. Dalam konteks Mahkamah Konstitusi (MK), ini berarti substansi keadilan elektoral sering kali dikalahkan oleh ambang batas selisih suara. Ambang batas (threshold) ini sejatinya dirancang untuk menyaring perkara agar MK tidak dibanjiri sengketa yang tidak relevan.
Namun dalam praktiknya, ketentuan tersebut justru menutup pintu bagi kasus-kasus yang secara substansial mengandung pelanggaran serius, hanya karena selisih suara antara pasangan calon dianggap terlalu besar untuk memengaruhi hasil akhir. Kasus di Kabupaten Tolitoli menjadi contoh nyata. Dalam Pilkada 2024, pasangan calon yang kalah dengan selisih suara hanya 0,5% tidak dapat melanjutkan sengketanya ke tahap pemeriksaan substansi di MK karena selisih tersebut sedikit melampaui ambang batas yang ditentukan undang-undang.
Padahal, terdapat bukti kuat mengenai pelanggaran administratif dan dugaan mobilisasi aparatur desa. Akibatnya, dugaan pelanggaran tersebut tidak pernah diuji secara hukum, meski berpotensi mencederai integritas hasil pemilihan.
Kondisi serupa terjadi di Provinsi Banten, di mana Bawaslu menemukan indikasi kuat praktik vote buying di beberapa wilayah. Namun karena tidak berdampak signifikan pada perolehan suara menurut kalkulasi MK, putusan akhir tetap menolak permohonan. Dengan kata lain, pelanggaran yang nyata secara moral dan administratif dianggap tidak relevan secara matematis.
Dilema ini menyingkap ketegangan antara kepastian hukum dan keadilan elektoral. Ketika hukum terlalu kaku menafsirkan angka, keadilan kehilangan konteks sosial dan moralnya. Pilkada akhirnya tidak diukur dari seberapa jujur prosesnya, tetapi seberapa kecil selisih hasilnya. Ironinya, dalam demokrasi lokal yang semestinya menjunjung prinsip keadilan rakyat, hukum justru menjadi pagar yang menutup ruang bagi pencarian kebenaran substantif. Keadilan prosedural telah mengalahkan keadilan elektoral, dan di titik inilah legitimasi demokrasi mulai retak bukan karena kalah atau menang, tetapi karena rasa adil yang gagal ditegakkan.
Kelemahan Rantai Awal: Bawaslu dan Sentra Gakkumdu yang Terbatas
Dalam arsitektur hukum pemilu, Bawaslu dan Sentra Gakkumdu sejatinya menjadi rantai awal penyaring konflik, tempat berbagai pelanggaran diselesaikan sebelum membesar menjadi sengketa di Mahkamah Konstitusi. Mekanisme ini dirancang agar keadilan elektoral ditegakkan sedini mungkin melalui jalur administratif dan pidana pemilu tanpa harus menunggu hasil akhir ditetapkan. Namun, kenyataan di lapangan jauh dari ideal.
Menurut Laporan Kinerja Bawaslu 2024, dari total 742 laporan pelanggaran Pilkada, hanya 27% yang berlanjut hingga tahap penindakan hukum. Sebagian besar lainnya berhenti di tahap klarifikasi atau mediasi karena kendala bukti dan tekanan politik. Fakta ini menggambarkan betapa rapuhnya kapasitas kelembagaan pengawasan di daerah, terutama ketika berhadapan dengan jaringan kekuasaan lokal yang kuat.
Tiga persoalan utama terus berulang di setiap kontestasi.
Pertama, ketidaksiapan alat bukti digital. Banyak laporan pelanggaran yang melibatkan rekaman video, dokumen rekap, atau log dari aplikasi Sirekap, tetapi tidak bisa diproses karena dianggap tidak memenuhi standar autentikasi digital. Padahal, di era digitalisasi pemilu, bukti semacam itu justru paling relevan untuk membuktikan kecurangan proses.
Kedua, tekanan politik terhadap saksi dan pelapor. Dalam banyak kasus, masyarakat enggan memberi kesaksian karena khawatir terhadap posisi sosial atau ekonomi mereka di daerah. Dalam konteks politik lokal yang sering bercampur dengan patronase dan relasi kuasa, keberanian untuk melapor justru menjadi risiko personal yang besar.
Ketiga, koordinasi yang lemah antara Bawaslu, Polri, dan Kejaksaan dalam Sentra Gakkumdu. Ketidaksinkronan persepsi tentang unsur pidana pemilu membuat banyak kasus berhenti di meja administrasi, tanpa kejelasan tindak lanjut hukum. Alhasil, jalur penegakan hukum pemilu tidak hanya lambat, tetapi sering kali kehilangan arah dan momentum politiknya.
Akibat kelemahan di rantai awal ini, banyak kasus akhirnya bergulir hingga ke MK, meski seharusnya sudah bisa diselesaikan secara tuntas di tingkat pengawasan daerah. Pola ini menciptakan siklus sengketa yang berulang di setiap Pilkada, di mana akar masalahnya bukan hanya pada hasil pemilihan, tetapi pada gagalnya sistem penegakan hukum untuk mencegah pelanggaran sejak dini.
Dalam demokrasi yang sehat, pengawasan bukanlah seremonial, melainkan benteng pertama integritas politik. Namun selama Bawaslu dan Gakkumdu masih beroperasi dalam keterbatasan sumber daya, tekanan politik, dan koordinasi yang lemah, Pilkada akan terus menjadi arena sengketa, bukan ruang konsolidasi demokrasi.
Sirekap dan Data Digital: Antara Transparansi dan Titik Rawan Baru
Ketika teknologi masuk ke ruang politik elektoral, harapan publik meningkat: transparansi, kecepatan, dan akurasi. Begitu pula dengan hadirnya Sistem Informasi Rekapitulasi Suara (Sirekap) yang dikembangkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Platform ini digadang-gadang sebagai inovasi untuk mempercepat publikasi hasil pemungutan suara dan mengurangi potensi manipulasi manual.
Namun, di lapangan, Sirekap justru menjadi sumber sengketa baru memperlihatkan bahwa digitalisasi tanpa integritas data hanya menukar bentuk kecurigaan, bukan menghapusnya. Menurut data Bawaslu 2024, sekitar 3% Tempat Pemungutan Suara (TPS) mengalami perbedaan antara hasil fisik dan hasil unggahan digital dalam Sirekap. Angka ini mungkin tampak kecil secara statistik, tetapi dalam konteks kontestasi yang selisih suaranya tipis, ia bisa mengubah hasil akhir dan memicu gugatan hukum.
Kasus di Kalimantan Timur dan Jawa Barat menjadi contoh nyata. Di Kalimantan Timur, sejumlah pasangan calon memprotes keterlambatan unggahan formulir C hasil plano ke sistem, yang memunculkan dugaan manipulasi di tingkat kecamatan. Sementara di Jawa Barat, kesalahan pembacaan Optical Character Recognition (OCR) menyebabkan data dari beberapa TPS terbaca keliru, sehingga menimbulkan perbedaan signifikan antara hasil manual dan digital. Meski KPU menyatakan hasil akhir tetap merujuk pada rekapitulasi fisik, kepercayaan publik sudah terlanjur tergerus.
Fenomena ini menunjukkan bahwa digitalisasi pemilu bukan sekadar soal infrastruktur teknologi, melainkan juga soal integritas data, kapasitas operator, dan literasi digital pemangku kepentingan. Banyak petugas di lapangan belum terlatih memadai untuk mengoperasikan sistem berbasis OCR, sementara verifikasi publik atas data digital masih sangat terbatas. Akibatnya, ketika terjadi anomali data, publik tidak memiliki ruang partisipatif untuk mengonfirmasi atau memverifikasi hasil secara langsung.
Lebih jauh, keterbukaan data digital belum otomatis berarti transparansi substantif. Jika publik hanya bisa melihat angka tanpa memahami proses di baliknya, maka Sirekap berisiko menjadi sekadar alat legitimasi teknokratis bukan sarana kontrol demokratis.
Digitalisasi adalah masa depan pemilu, tetapi tanpa fondasi kejujuran data, kapasitas kelembagaan, dan literasi publik yang kuat, teknologi justru berpotensi menciptakan “krisis legitimasi baru”. Demokrasi elektoral modern tidak cukup hanya berbasis sistem yang canggih; ia harus berakar pada kepercayaan yang dibangun melalui integritas, bukan hanya kecepatan unggahan.
Reformasi Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pilkada
Setiap Pilkada serentak meninggalkan jejak yang serupa: euforia pemungutan suara diikuti sengketa yang menumpuk di Mahkamah Konstitusi. Pola berulang ini menandakan bahwa persoalan bukan terletak pada siapa yang menang, tetapi pada mekanisme penyelesaian yang belum menjamin rasa keadilan elektoral. Karena itu, yang dibutuhkan bukan sekadar penyesuaian teknis, melainkan desain baru dalam penyelesaian sengketa Pilkada yang berpihak pada keadilan substantif, bukan sekadar legalitas prosedural.
Reformasi tersebut idealnya dilakukan melalui pendekatan multi-level, yang menguatkan setiap simpul penegakan hukum pemilu:
- Penguatan penyelesaian administratif di Bawaslu daerah.
Bawaslu seharusnya tidak lagi hanya memberi rekomendasi kepada KPU, tetapi memiliki kewenangan putusan yang mengikat, seperti lembaga quasi-yudisial. Hal ini penting agar pelanggaran prosedural atau administratif bisa diputus secara final di tingkat awal, sebelum menjalar menjadi sengketa hasil. Dengan demikian, rantai keadilan dimulai dari daerah, bukan menumpuk di pusat. - Pembentukan Electoral Court (Peradilan Pemilu) yang independen dan komprehensif.
Lembaga ini dapat berfungsi sebagai pengadilan khusus yang menangani seluruh aspek sengketa pemilu dari pelanggaran proses, tindak pidana, hingga perselisihan hasil dengan majelis yang beranggotakan unsur hakim, ahli pemilu, dan akademisi hukum. Model ini dapat memutus keterputusan antar-lembaga (KPU, Bawaslu, Gakkumdu, dan MK) yang selama ini menjadi sumber kebingungan yurisdiksi. - Reformasi ambang batas sengketa di Mahkamah Konstitusi.
Keadilan elektoral tidak boleh dibatasi oleh angka. Ambang batas yang terlalu kaku membuat banyak kasus dengan bukti kuat tidak bisa diproses. Karena itu, MK perlu menimbang bukti pelanggaran substansial, bukan hanya selisih suara matematis. Prinsip “justice over numbers” harus menjadi paradigma baru dalam penegakan hukum Pilkada.
Perbandingan dengan negara lain memberi gambaran arah reformasi yang mungkin ditempuh. Di Filipina, lembaga Commission on Elections (COMELEC) memiliki kewenangan quasi-yudisial yang memungkinkan penanganan sengketa proses dan hasil secara terpadu. Sementara di Korea Selatan, Mahkamah Konstitusi memiliki ruang menilai pelanggaran substansial terhadap asas kejujuran dan keterbukaan, bahkan ketika selisih suara antar kandidat cukup besar.
Dua model ini menunjukkan bahwa substansi keadilan dapat diutamakan tanpa mengorbankan kepastian hukum. Reformasi mekanisme penyelesaian sengketa Pilkada sejatinya bukan semata tentang institusi, melainkan tentang restorasi kepercayaan publik terhadap demokrasi lokal. Tanpa desain hukum yang berpihak pada keadilan elektoral, Pilkada akan terus menjadi ritual lima tahunan yang berakhir di ruang sidang bukan di hati rakyat.
Membangun Kepercayaan Publik Pasca Sengketa
Setiap sengketa Pilkada sejatinya adalah cermin bukan hanya bagi peserta kontestasi, tetapi juga bagi derajat kepercayaan publik terhadap demokrasi itu sendiri. Ketika hasil pemilihan dipersoalkan, yang sesungguhnya dipertaruhkan bukan sekadar kursi kekuasaan, melainkan legitimasi politik dan kepercayaan rakyat pada proses yang melahirkannya. Survei Indikator Politik Indonesia (2024) menunjukkan bahwa hanya 52% warga yang percaya hasil Pilkada mencerminkan suara rakyat sebenarnya. Angka ini menunjukkan gejala serius: demokrasi lokal mulai kehilangan daya percaya.
Sengketa yang berlarut-larut, keputusan hukum yang tidak transparan, serta digitalisasi yang belum matang membuat publik memandang Pilkada dengan skeptisisme bukan lagi sebagai ruang partisipasi, tetapi sebagai arena elitis yang sulit diakses. Membangun kembali kepercayaan publik tidak bisa dilakukan dengan retorika, melainkan melalui reformasi menyeluruh pada tiga dimensi utama.
Pertama, literasi hukum dan elektoral bagi masyarakat. Pemilih yang memahami haknya akan lebih berani menuntut keadilan ketika terjadi pelanggaran. Pendidikan publik mengenai mekanisme sengketa dan proses rekapitulasi menjadi penting agar masyarakat tidak mudah terperangkap dalam disinformasi pasca-Pilkada.
Kedua, transparansi penuh terhadap hasil rekapitulasi dan proses persidangan sengketa. Semua dokumen hasil rekap, notulensi sidang, hingga putusan pengadilan harus terbuka bagi publik. Keterbukaan ini bukan sekadar formalitas hukum, melainkan cara untuk membangun rasa memiliki terhadap proses demokrasi itu sendiri.
Ketiga, penguatan partisipasi warga dalam pemantauan Pilkada. Masyarakat sipil, kampus, dan media lokal harus didorong menjadi bagian dari sistem pengawasan permanen, bukan hanya relawan musiman setiap lima tahun sekali. Partisipasi warga inilah yang menjadi oksigen demokrasi lokal memastikan kekuasaan tidak dibiarkan berjalan tanpa kontrol sosial.
Pada akhirnya, sengketa pemilu tidak bisa dihapus, karena ia bagian tak terpisahkan dari dinamika demokrasi. Namun, yang membedakan demokrasi yang matang dari yang rapuh adalah cara ia menyelesaikan sengketa. “Demokrasi yang sehat bukan yang tanpa sengketa, tetapi yang mampu menyelesaikannya dengan adil dan dipercaya semua pihak.”
Oleh : Dewan Redaksi
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
