CM Corner
Beranda » Berita » Generasi Z Di Bilik Suara: Menafsir Ulang Pola Partisipasi Politik Kaum Muda Di Pilkada 2024

Generasi Z Di Bilik Suara: Menafsir Ulang Pola Partisipasi Politik Kaum Muda Di Pilkada 2024

Gambar Ilustrasi
Pilkada seharusnya menjadi ruang pembelajaran demokrasi yang nyata tempat kaum muda memahami bahwa satu suara bukan sekadar hak

SURAU.CO – Lebih dari separuh pemilih Pilkada 2024 berasal dari kelompok usia di bawah 35 tahun. Namun, di balik dominasi demografis itu, muncul paradoks yang menarik: Generasi Z begitu aktif di ruang digital, tetapi partisipasi mereka di ruang elektoral masih timpang. Demokrasi tampak ramai di layar, tapi sepi di bilik suara.

Antara “Melek Digital” dan “Butuh Relevansi”: Potret Awal Generasi Z Pemilih Pilkada
Generasi Z mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012 tumbuh dalam dunia yang nyaris seluruhnya terkoneksi digital. Mereka adalah digital native yang akrab dengan gawai, algoritma, dan arus informasi instan. Karakter mereka dikenal kritis, ekspresif, dan cepat tanggap terhadap isu sosial, tetapi di sisi lain juga mudah merasa jenuh terhadap pola komunikasi politik yang kaku dan penuh jargon. Dalam konteks Pilkada 2024, kelompok ini bukan sekadar bonus demografi, melainkan penentu arah politik lokal dan nasional.

Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) tahun 2024 menunjukkan bahwa sekitar 56% pemilih Pilkada berasal dari kelompok usia di bawah 35 tahun. Angka ini menegaskan besarnya pengaruh generasi muda, terutama Gen Z, terhadap hasil pemilihan. Namun, paradoks muncul: meski tingkat literasi digital mereka sangat tinggi, partisipasi politik konvensional masih stagnan. Mereka aktif beropini di media sosial, tetapi tidak selalu menerjemahkan kesadaran digital itu ke dalam tindakan elektoral di bilik suara.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa Gen Z bukan generasi apatis, melainkan generasi yang menuntut relevansi. Mereka tidak tertarik pada politik yang hanya muncul lima tahun sekali, melainkan pada politik yang terasa dekat, transparan, dan menyentuh isu keseharian mereka mulai dari lingkungan hidup, keadilan sosial, hingga kesetaraan akses pendidikan dan pekerjaan. Tantangan utama bagi partai politik dan penyelenggara pemilu bukan sekadar “mengajak Gen Z datang ke TPS”, tetapi membangun ruang dialog politik yang autentik dan bermakna. Generasi ini tidak sekadar ingin menjadi pemilih; mereka ingin didengar, dilibatkan, dan diberdayakan.

Antara Aktivisme Digital dan Apatisme Politik: Paradoks Kaum Muda

Di era media sosial, politik tidak lagi berlangsung hanya di panggung kampanye atau ruang debat formal ia hidup di linimasa, unggahan, dan tagar. Generasi Z menjadi aktor utama di ruang digital ini: mereka cepat merespons isu publik, menggulirkan kampanye sosial, hingga memviralkan kritik terhadap pejabat. Namun, di balik hiruk pikuk aktivisme daring itu, muncul fenomena yang dikenal sebagai slacktivism aktivisme yang berhenti di level klik, unggah, dan komentar, tanpa berlanjut pada keterlibatan politik nyata.

Buah dari Kesabaran: Ketika Ujian Menjadi Jalan Menuju Kedewasaan

Riset Indikator Politik Indonesia (2024) menunjukkan bahwa 62% anak muda aktif mengikuti konten politik di media sosial, tetapi hanya 41% yang pernah menghadiri kampanye, diskusi publik, atau debat kandidat secara langsung. Angka ini memperlihatkan jurang antara aktivisme digital dan partisipasi elektoral. Dunia maya menjadi ruang ekspresi politik yang dinamis, tetapi sering kali tanpa dampak konkret terhadap proses demokrasi di dunia nyata.

Fenomena ini menandai paradoks kaum muda: mereka ingin berpartisipasi, tetapi kehilangan medium politik yang dapat mereka percayai. Partai politik dianggap usang dan transaksional, sementara kanal partisipasi formal seperti forum publik atau musyawarah warga terasa tertutup dan hierarkis. Akibatnya, banyak anak muda memilih mengekspresikan sikap politik melalui estetika digital meme, story, atau video singkat alih-alih lewat mekanisme institusional seperti kampanye atau pemungutan suara.

Narasi ini menegaskan bahwa aktivisme digital bukan tidak penting, tetapi belum cukup. Ia menjadi tanda adanya energi politik yang besar di kalangan Gen Z, namun energi itu membutuhkan saluran yang kredibel dan relevan. Jika demokrasi gagal menyediakan ruang partisipasi yang sesuai dengan ritme dan bahasa generasi ini, maka mereka akan tetap vokal di layar tapi diam di bilik suara.

Disrupsi Gaya Kampanye: Dari Baliho ke Algoritma

Pilkada 2024 menandai titik balik cara politisi berinteraksi dengan pemilih muda. Jika dulu kampanye diidentikkan dengan baliho raksasa, panggung musik, dan arak-arakan, kini arena pertarungan berpindah ke layar ponsel dan algoritma media sosial. Partai politik dan calon kepala daerah beradaptasi dengan gaya komunikasi Generasi Z yang serba cepat, visual, dan interaktif dari TikTok challenge politik, Instagram Reels bertema keseharian, hingga live session di X (Twitter) untuk menjawab isu-isu viral.

Data Nielsen (2024) menunjukkan bahwa 71% pemilih muda mengenal kandidat pertama kali melalui platform digital, bukan dari baliho, media cetak, atau tatap muka langsung. Artinya, algoritma kini menjadi “tim sukses” baru yang menentukan seberapa jauh pesan politik menjangkau audiens. Beberapa kandidat di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung berhasil memanfaatkan tren ini dengan kampanye partisipatif berbasis meme dan short video yang mengajak Gen Z ikut memproduksi konten politik bukan sekadar menonton.

Akar Yang Merintih, Daun Yang Merangas: Sebuah Risalah Rindu

Namun, di balik keberhasilan tersebut, muncul persoalan mendasar: politik digital sering kali berhenti di level gaya, bukan gagasan. Kampanye menjadi kompetisi estetika, bukan arena deliberasi. Kandidat lebih sibuk menciptakan persona “relatable” ketimbang menjelaskan visi kebijakan. Narasi populis dikemas dalam video berdurasi 15 detik, sementara isu-isu struktural seperti ketimpangan ekonomi atau reformasi birokrasi jarang mendapat ruang yang cukup.

Fenomena ini menimbulkan risiko “kontenisasi politik” ketika makna demokrasi direduksi menjadi impresi digital. Dalam logika algoritma, yang viral lebih penting daripada yang bernilai, dan yang lucu lebih menonjol daripada yang argumentatif. Akibatnya, partisipasi politik generasi muda bisa terjebak dalam ilusi keterlibatan, padahal yang mereka konsumsi hanyalah potongan citra, bukan substansi.

Dengan demikian, disrupsi gaya kampanye perlu dibaca secara ganda: ia membuka peluang partisipasi baru berbasis kreativitas digital, namun juga menantang demokrasi untuk tidak kehilangan kedalaman makna di tengah banjir konten.

KPU dan Tantangan Literasi Politik Kaum Muda

Dalam menghadapi perubahan lanskap pemilih di era digital, Komisi Pemilihan Umum (KPU) berupaya keras menjangkau Generasi Z dengan berbagai inovasi edukatif. Program seperti Sekolah Demokrasi Digital, Gen Z Corner, serta kolaborasi dengan influencer politik muda menjadi bagian dari strategi baru untuk membumikan politik dalam bahasa yang lebih akrab dengan dunia anak muda. Tujuannya jelas: menggeser citra pemilu dari kegiatan formal yang membosankan menjadi ruang interaksi yang relevan, kreatif, dan partisipatif.

Upaya ini tampaknya membuahkan hasil di permukaan. Berdasarkan data KPU 2024, tingkat partisipasi pemilih usia 17–25 tahun meningkat dari 64% pada Pilkada 2020 menjadi 69% pada Pilkada 2024. Secara kuantitatif, angka ini menunjukkan kemajuan yang patut diapresiasi. Media sosial dan kegiatan digital interaktif terbukti efektif menarik perhatian generasi muda untuk hadir di bilik suara.

Sabar Menanti Pertolongan Allah

Namun, jika dilihat lebih dalam, peningkatan partisipasi ini belum berbanding lurus dengan kualitas kesadaran politik. Banyak pemilih muda masih terjebak pada voting impulsif memilih karena citra, viralitas, atau rekomendasi figur yang diikuti di media sosial, bukan karena pemahaman terhadap program atau visi kandidat. Dalam sejumlah studi pasca-Pilkada, ditemukan bahwa sebagian besar Gen Z tidak mampu menjelaskan alasan rasional di balik pilihannya, selain “karena keren”, “terkenal”, atau “dibilang teman di TikTok”.

Inilah yang menunjukkan bahwa pendidikan politik KPU masih bersifat seremonial. Program sosialisasi sering berhenti di tataran teknis bagaimana mencoblos dengan benar, kapan jadwal pemungutan suara tanpa menyentuh dimensi substantif seperti bagaimana menilai integritas kandidat, memahami isu kebijakan publik, atau mengawasi kinerja pasca-terpilih. Dengan demikian, tantangan KPU bukan lagi sekadar meningkatkan angka kehadiran, melainkan membangun kesadaran elektoral yang kritis. Literasi politik harus bergerak dari sekadar “mengajak datang ke TPS” menuju “mengajak berpikir sebelum memilih.” Tanpa transformasi ini, partisipasi Gen Z akan terus tampak ramai secara statistik, tetapi rapuh secara substansi partisipasi yang hadir, namun belum berdaulat.

Politik Representasi: Apakah Kaum Muda Benar-Benar Punya Wakil

Fenomena keterlibatan anak muda dalam politik sering dielu-elukan sebagai tanda kebangkitan generasi baru demokrasi Indonesia. Namun di balik narasi optimistik itu, terdapat pertanyaan mendasar: apakah kaum muda benar-benar memiliki ruang representasi yang bermakna, atau sekadar dijadikan simbol segar bagi wajah lama politik?

Fenomena ini dikenal sebagai tokenisme politik muda ketika figur muda dihadirkan dalam pencalonan atau kampanye hanya untuk memperkuat citra modern dan progresif, tanpa memberikan mereka ruang nyata untuk berperan dalam pengambilan keputusan. Banyak partai menampilkan sosok muda di barisan kampanye, tetapi struktur partainya tetap dikuasai oleh elite senior yang mengatur arah kebijakan dan strategi politik.

Menurut data Perludem (2024), hanya 9% calon kepala daerah pada Pilkada Serentak 2024 berasal dari kelompok usia di bawah 35 tahun. Bahkan dari jumlah itu, sebagian besar merupakan keluarga politik atau memiliki afiliansi langsung dengan elite partai. Artinya, kehadiran generasi muda di panggung politik lokal masih lebih banyak diatur dari atas (top-down), bukan lahir dari basis gerakan atau inisiatif politik independen.
Kesenjangan ini memperlihatkan kontradiksi antara citra dan realitas. Di satu sisi, partai politik gencar menggaungkan semangat “politik muda”, mengadopsi gaya komunikasi digital, hingga mempromosikan tagar seperti #PolitikMasaDepan. Namun di sisi lain, mekanisme rekrutmen politik masih tertutup dan berbasis patronase, membuat banyak anak muda idealis tersingkir sebelum sempat tampil.

Dalam konteks ini, partai politik tampak lebih ingin meraih suara muda daripada benar-benar berbagi kekuasaan dengan mereka. Generasi Z sering diperlakukan sebagai “pasar elektoral”, bukan “aktor politik”. Akibatnya, partisipasi politik kaum muda berhenti pada tataran konsumsi citra mereka memilih, bersorak, atau berinteraksi, tetapi jarang diikutsertakan dalam merumuskan arah kebijakan atau strategi partai.

Narasi ini menegaskan ironi demokrasi elektoral kita: politik muda tumbuh dalam wacana, tapi belum dalam struktur. Jika partai politik tidak membuka diri terhadap gagasan dan kepemimpinan baru, maka seruan regenerasi hanya akan menjadi slogan kampanye bukan transformasi demokrasi.

Dari Like ke Legitimasi: Membangun Politik Partisipatif di Era Digital

Generasi Z telah membuktikan dirinya sebagai aktor sosial yang paling aktif secara digital, tetapi tantangannya kini adalah bagaimana mengubah engagement daring menjadi partisipasi politik yang berdaya guna dan berkelanjutan. Era digital telah membuat politik lebih mudah diakses, namun juga lebih mudah dipermainkan penuh dengan pencitraan, hoaks, dan aktivisme instan yang berhenti di tombol like atau share.
Agar keterlibatan kaum muda tidak berhenti pada permukaan, dibutuhkan strategi konkret untuk membangun politik partisipatif yang autentik. Ada tiga arah reformasi utama yang dapat memperkuat legitimasi partisipasi digital mereka:

  1. Pendidikan Politik Berbasis Platform Digital Interaktif
    Pembelajaran politik harus bergeser dari model sosialisasi konvensional menuju platform yang sesuai dengan ekosistem digital Gen Z.
    Program seperti e-democracy challenge, quiz politik interaktif, atau simulasi Pilkada online dapat menjadi sarana edukasi yang menarik sekaligus membangun kesadaran kritis. Bukan sekadar mengenal partai, tetapi memahami nilai-nilai demokrasi dan tanggung jawab warga negara.
  2. Transparansi Kandidat melalui Open Data dan Fact-Checking Hub
    Gen Z adalah generasi pencari fakta, tetapi juga rentan terhadap disinformasi algoritmik.
    Dibutuhkan hub publik yang menyediakan data terbuka tentang rekam jejak, pendanaan, dan janji politik kandidat. Kolaborasi antara KPU, media independen, dan fact-checking organization bisa menjadi pilar penting untuk mengembalikan kepercayaan anak muda terhadap politik elektoral.
  3. Kolaborasi Komunitas dan KPU untuk Youth Civic Project berbasis Isu Lokal
    Politik akan terasa relevan bagi anak muda ketika menyentuh isu konkret di sekitar mereka: lingkungan, pendidikan, lapangan kerja, hingga kesehatan mental.
    Melalui kemitraan antara komunitas, kampus, dan penyelenggara pemilu, dapat dibangun youth civic projects seperti “Kampanye Hijau Pilkada”, “Debat Anak Muda untuk Calon Daerah”, atau “Hackathon Transparansi Pemilu.

Intinya, transformasi partisipasi politik muda membutuhkan ekosistem yang menyatukan teknologi, kejujuran, dan relevansi isu. Demokrasi digital bukan sekadar ruang ekspresi, melainkan wadah bagi pembentukan legitimasi baru ketika suara anak muda tidak lagi hanya terdengar di media sosial, tetapi bergaung di ruang kebijakan publik.
“Generasi Z akan menjadi tulang punggung demokrasi jika politik tak lagi sekadar konten, tapi ruang kolaborasi antara nalar kritis dan keberanian untuk bertindak.”

Lalu, apa yang bisa kita lakukan?

Menutup Layar, Membuka Kesadaran: Refleksi Demokrasi Kaum Muda

Pilkada 2024 bukan hanya ajang kontestasi kekuasaan, tetapi juga cermin dari masa depan demokrasi Indonesia. Masa depan yang akan sangat ditentukan oleh generasi muda, terutama mereka yang tumbuh dalam dunia serba digital. Di tangan Generasi Z, politik bukan lagi ritual lima tahunan, melainkan ruang pencarian makna dan relevansi.

Namun, di balik semangat itu tersimpan tantangan besar: defisit kepercayaan. Banyak anak muda merasa bahwa politik hari ini terlalu penuh kepalsuan, terlalu elitis, dan terlalu jauh dari kehidupan nyata mereka. Mereka bukan apatis; mereka skeptis terhadap sistem yang tak memberi ruang bagi idealisme dan kejujuran. Dalam situasi ini, pendidikan politik dan partisipasi digital hanya akan bermakna jika dibarengi dengan keteladanan dan transparansi dari para pelaku politik itu sendiri.

Pilkada seharusnya menjadi ruang pembelajaran demokrasi yang nyata tempat kaum muda memahami bahwa satu suara bukan sekadar hak. Lebih jauh, juga bentuk tanggung jawab sosial. Ketika partisipasi mereka diakui, ketika gagasan mereka didengar, dan ketika politik menunjukkan integritasnya, maka layar digital akan berubah menjadi jendela kesadaran politik yang sesungguhnya.

 

Oleh : Dewan Redaksi


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.