CM Corner
Beranda » Berita » Dari Menyalahkan ke Memahami

Dari Menyalahkan ke Memahami

Dari Menyalahkan ke Memahami
Dari Menyalahkan ke Memahami

SURAU.CO – Pemilu dan Pilkada serentak 2024 bukanlah pemilu biasa. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, dua agenda besar demokrasi ini diselenggarakan secara bersamaan. Ibarat dua arus besar yang disatukan, tantangan manajemennya tidak hanya mengganda, tetapi juga berlipat-lipat. Dalam konteks itu, KPU telah menuntaskan seluruh tahapan: mulai dari perencanaan logistik, verifikasi partai, pendaftaran calon, kampanye, pemungutan suara, hingga rekapitulasi nasional.

Apakah semua berjalan sempurna? Tentu tidak. Namun, justru di situlah esensi sebuah sistem demokrasi: tidak meniadakan masalah, melainkan memastikan setiap masalah dapat diselesaikan secara terbuka dan institusional. Demokrasi yang hidup bukanlah yang steril dari konflik, tetapi yang mampu menyalurkan konflik ke dalam prosedur hukum dan mekanisme bersama.

Jika kita menganggap KPU gagal hanya karena adanya gugatan, sengketa, atau pembatalan peraturan, kita sesungguhnya keliru memahami sifat dasar demokrasi elektoral. Negara-negara dengan tradisi demokrasi matang seperti Amerika Serikat atau India pun menghadapi dinamika serupa di setiap pemilu. Kritik dan koreksi terhadap lembaga penyelenggara bukan pertanda krisis, tetapi tanda bahwa sistem masih berfungsi.

Masalah Pemilu Bukanlah Fenomena Baru

Persoalan yang muncul di Pemilu 2024 sejatinya bukanlah anomali, melainkan kelanjutan dari problem historis yang selalu menyertai pemilu sejak era reformasi. Dari Pemilu 1999 hingga 2019, kita menyaksikan pola berulang: aturan yang berubah, tafsir hukum yang bergeser, serta pergeseran konteks sosial dan teknologi yang menuntut adaptasi cepat.

Kritik terhadap KPU yang “keliru menafsirkan putusan MK” atau “kurang transparan dalam kebijakan” tidak bisa dilepaskan dari kompleksitas regulasi yang senantiasa diperbarui oleh pembentuk undang-undang. Setiap revisi UU Pemilu membawa dinamika baru yang menuntut KPU menyesuaikan diri dalam waktu singkat. Dalam istilah administrasi publik, ini disebut moving target governance — sebuah situasi ketika aturan berubah di tengah pelaksanaan tugas.

Membuat Agama Islam Seperti Gado Rasa Nusantara

Maka, solusi bukanlah sekadar mengganti orang atau menambah sanksi, tetapi memperkuat desain kelembagaan yang mampu beradaptasi terhadap perubahan. Sebab, pemilu bukan proyek musiman yang diulang setiap lima tahun, melainkan ekosistem yang terus berevolusi.

Melihat Pemilu Secara Substansial, Bukan Sekadar Teknis

Banyak kritik terhadap KPU berakar pada pandangan yang memisahkan aspek teknis dan substansi pemilu. Seolah-olah KPU hanya bertugas mengatur tanggal, logistik, dan suara, sementara nilai-nilai demokrasi berada di ranah lain. Padahal, keduanya adalah satu napas.

Pemilu tidak bisa dipahami hanya sebagai event administratif, melainkan sebagai proses politik yang memerlukan kerja kolektif lintas lembaga. Keberhasilan penyelenggaraan pemilu tidak ditentukan KPU semata, tetapi juga oleh pengawasan Bawaslu, etika DKPP, regulasi DPR, dukungan pemerintah, peran partai politik, dan literasi politik masyarakat.

Dalam teori electoral governance (Mozaffar & Schedler, 2002), integritas pemilu bergantung pada tiga fungsi: pembuatan aturan (rule making), implementasi (rule application), dan penegakan hukum (rule adjudication). Ketiganya harus berjalan beriringan. Jika satu fungsi tersendat, kepercayaan publik akan rapuh. Menyalahkan KPU semata sama dengan mengabaikan dua fungsi lainnya.

Lebih jauh, teori democratic accountability mengajarkan bahwa legitimasi lembaga penyelenggara tidak hanya diukur dari kepatuhan terhadap hukum, tetapi juga dari kemampuannya merespons tuntutan masyarakat tanpa kehilangan independensi. Dengan kata lain, KPU dituntut untuk profesional dan tangguh, tetapi juga untuk menjadi pendengar yang baik.

Manfaat Memahami Makna Tauhid

Demokrasi Bukan Tentang Meniadakan Masalah, Tapi Menyelesaikannya Bersama

Banyak orang berharap pemilu ideal adalah yang bebas dari masalah. Namun, sejarah demokrasi justru menunjukkan sebaliknya. Tidak ada pemilu tanpa sengketa, seperti tidak ada demokrasi tanpa perdebatan. Dalam literatur electoral integrity (Norris, 2014), indikator utama bukan nihilnya pelanggaran, melainkan kemampuan institusi menanganinya dengan cepat dan transparan.

KPU 2024 mungkin menghadapi gugatan di berbagai lini, tetapi semua diselesaikan melalui jalur hukum, bukan jalanan. Sengketa diserahkan ke Mahkamah Konstitusi, pelanggaran etik ke DKPP, pelanggaran administratif ke Bawaslu. Prosedur ini bukan tanda kelemahan, melainkan bukti bahwa sistem check and balance berjalan.

Ibarat kapal besar di tengah badai, nilai KPU tidak diukur dari absennya ombak, tetapi dari kemampuannya menjaga kapal tetap di jalur. Dalam banyak demokrasi, seperti Afrika Selatan atau Meksiko, lembaga penyelenggara pemilu juga melalui proses pembelajaran yang panjang dan penuh kritik publik. Namun, alih-alih menghancurkan institusinya, kritik digunakan sebagai bahan pembenahan struktural yang berkelanjutan.

Maka, tantangan kita bukanlah mencari pemilu tanpa masalah, melainkan membangun budaya politik yang mampu menghadapi masalah dengan kedewasaan. Demokrasi bukan tentang kesempurnaan, tetapi tentang perbaikan terus-menerus.

Belajar dari Pengalaman Internasional

Pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa kredibilitas pemilu lahir dari kombinasi antara reformasi struktural dan konsensus sosial. India, misalnya, membangun reputasi Election Commission of India bukan dalam semalam, tetapi melalui puluhan tahun konsistensi dalam menerapkan transparansi dan teknologi. Mereka juga mengalami fase penuh kontroversi, bahkan tuduhan bias politik, sebelum akhirnya dipercaya publik.

Tau Bahwa Tidak Tau: Gerbang Terpenting Menuju Ilmu

Begitu pula dengan Independent Electoral and Boundaries Commission (IEBC) di Kenya yang pernah dibubarkan akibat krisis legitimasi pada 2007. Namun, lembaga itu bangkit melalui pembentukan kerangka hukum baru dan keterlibatan masyarakat sipil yang kuat. Pelajarannya jelas: membenahi penyelenggara pemilu bukan hanya soal mengganti aturan, tetapi membangun kepercayaan sosial yang bertumpu pada dialog dan akuntabilitas.

Teori institutional learning (March & Olsen, 1995) menjelaskan bahwa lembaga publik dapat berkembang melalui siklus pembelajaran dari kesalahan. Kegagalan bukan akhir, melainkan data untuk memperbaiki sistem. Maka, setiap kritik terhadap KPU semestinya menjadi masukan yang ditindaklanjuti dalam desain kelembagaan, bukan sebagai alasan delegitimasi.

Dengan semangat itu, KPU Indonesia perlu terus memperkuat sistem digital pemilu, transparansi logistik, serta komunikasi publik berbasis data. Namun, masyarakat juga harus ikut berperan sebagai pengawas aktif, bukan hanya penonton yang menghakimi dari jauh.

Tantangan Struktural dan Tanggung Jawab Kolektif

Memang benar bahwa ada persoalan mendasar yang perlu diperbaiki: mekanisme seleksi komisioner yang lebih terbuka, pembatasan masa jabatan, hingga penataan ulang jadwal keserentakan. Namun, semua itu tidak dapat dipikul KPU seorang diri. DPR, pemerintah, partai politik, dan masyarakat sipil harus duduk bersama untuk merancang reformasi elektoral yang berjangka panjang.

Selama ini, kita cenderung menuntut hasil instan dari lembaga yang bekerja dalam sistem yang berubah-ubah. Setiap lima tahun, undang-undang pemilu direvisi, jadwal disesuaikan, teknologi diganti, aktor politik berganti. Dalam kondisi seperti itu, KPU bukan hanya wasit, tetapi juga engineer yang harus menyesuaikan mesin di tengah lomba.

Apakah kesalahan terjadi? Pasti. Tetapi yang lebih penting adalah bagaimana kesalahan itu ditangani. Dalam konteks inilah, teori adaptive governance (Folke et al., 2005) menjadi relevan: lembaga publik harus memiliki kapasitas untuk belajar, menyesuaikan diri, dan berinovasi di tengah ketidakpastian. KPU telah menunjukkan sebagian kapasitas itu melalui digitalisasi rekapitulasi suara, penguatan integrasi data pemilih, serta keterbukaan hasil di situs publik.

Namun, reformasi yang lebih dalam harus diarahkan pada konsistensi regulasi, bukan hanya personel. Selama politik hukum pemilu kita masih berubah mengikuti dinamika elite, KPU akan terus menjadi sasaran kritik struktural tanpa solusi nyata.

Dari Menyalahkan ke Memahami

Kita mudah menuding KPU sebagai sumber masalah, tetapi lupa bahwa lembaga ini bekerja di tengah kompleksitas yang jarang dipahami publik. Ribuan pegawai ad hoc, jutaan petugas KPPS, logistik ke 800 ribu TPS, dan tenggat waktu yang nyaris mustahil hanyalah sebagian kecil dari tantangan yang dihadapi. Kritik tetap perlu, tetapi mestinya diiringi empati kelembagaan.

KPU bukan institusi yang sempurna, tetapi juga bukan musuh demokrasi. Ia adalah refleksi dari kita sendiri: cermin bagaimana bangsa ini mengelola perbedaan, keterbatasan, dan harapan politiknya. Dalam bahasa filsafat politik, demokrasi adalah unfinished project — proyek yang tak pernah selesai. Maka, membenahi pemilu berarti terus memperbaiki cara kita berdemokrasi.

Alih-alih sibuk mencari kambing hitam, mari mencari titik temu. Alih-alih menuntut kesempurnaan, mari menuntut konsistensi. Sebab, pemilu bukan sekadar ajang lima tahunan, melainkan cermin integritas bangsa.

Demokrasi yang Dewasa, Bukan Demokrasi yang Marah

Akhirnya, pertanyaan yang lebih penting bukanlah seberapa banyak kesalahan KPU, tetapi seberapa cepat bangsa ini belajar dari kesalahan itu. Demokrasi yang sehat bukan yang bebas dari kritik, tetapi yang mampu menjadikan kritik sebagai bahan bakar kemajuan.

Membenahi KPU berarti membenahi seluruh ekosistem pemilu: dari aturan hingga budaya politik, dari aktor hingga warga negara. Tidak ada lembaga yang bisa bekerja sendiri di tengah arus politik yang deras. Seperti kata pepatah, “tak ada kapal yang berlayar sendirian di tengah badai” — demikian pula demokrasi kita.

Karena pada akhirnya, yang kita jaga bukan hanya lembaga, tapi keyakinan bahwa suara rakyat masih bermakna. Dan keyakinan itu hanya bisa bertahan jika kita belajar untuk memahami, bukan sekadar menyalahkan.

 

Oleh : Dewan Radaksi


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.