SURAU.CO – Indonesia selalu berada di antara dua kutub: idealisme dan realitas. Demokrasi, yang sejak awal dimaksudkan sebagai pengejawantahan kedaulatan rakyat, kini seperti berdiri di persimpangan antara cita-cita luhur konstitusi dan praktik kekuasaan yang semakin pragmatis. Ibarat perjalanan panjang di jalan berliku, arah tujuan kita jelas—keadilan dan kesejahteraan rakyat—namun kendaraan yang kita tumpangi sering oleng oleh kepentingan jangka pendek dan kepemimpinan yang mudah tergoda oleh godaan kekuasaan.
Cita dan Praktik
Demokrasi Indonesia dibangun di atas semangat reformasi, sebuah momentum besar yang menjanjikan keterbukaan, partisipasi, dan akuntabilitas. Namun, dua dekade lebih berlalu, kita menyaksikan kesenjangan yang semakin lebar antara prinsip dan pelaksanaan. Cita-cita kedaulatan rakyat seolah terhenti di tataran wacana, terhambat oleh struktur patronase, biaya politik yang tinggi, dan praktik transaksional yang membungkam idealisme.
Di balik jargon partisipasi rakyat, muncul gejala kelelahan demokrasi. Partai politik lebih sibuk menjaga koalisi daripada mendengar aspirasi. Kampanye lebih banyak menjual citra ketimbang gagasan. Media sosial yang seharusnya menjadi ruang deliberasi publik, berubah menjadi gelanggang polarisasi. Polarisasi ini tidak hanya membelah preferensi politik, tetapi juga menumpulkan kemampuan bangsa untuk berpikir jernih. Kebenaran kini bukan soal data, tapi soal siapa yang paling keras bersuara.
Kedaulatan rakyat yang mestinya menjadi inti demokrasi seringkali dikerdilkan menjadi sekadar legitimasi elektoral lima tahunan. Rakyat dipanggil untuk memilih, tapi tidak selalu didengar setelahnya. Ketika suara rakyat berhenti di bilik suara, demokrasi kehilangan napas substansialnya. Dalam situasi seperti itu, demokrasi berjalan seperti ritual yang berulang, namun kehilangan makna spiritualnya.
Ketegangan di Lapangan
Demokrasi Indonesia tidak hanya diuji oleh gagasan, tetapi juga oleh realitas teknis di lapangan. Setiap pemilu menjadi laboratorium besar tentang sejauh mana sistem mampu bertahan menghadapi kompleksitas sosial dan geografis negeri ini. Dari distribusi logistik di pulau-pulau terluar hingga sengketa hasil di tingkat lokal, setiap tahapan memperlihatkan wajah ganda demokrasi: ideal di atas kertas, tapi penuh kompromi dalam pelaksanaan.
Kita pernah menyaksikan bagaimana penyelenggara pemilu bekerja di bawah tekanan waktu, sumber daya yang terbatas, dan ekspektasi publik yang begitu tinggi. Kesalahan sekecil apapun segera dibesar-besarkan, sementara keberhasilan sering luput dari perhatian. Di sinilah paradoks itu tampak jelas: rakyat menuntut pemilu yang sempurna, tapi lupa bahwa demokrasi tumbuh di tengah keterbatasan manusia.
Dalam banyak kasus, norma hukum dan kenyataan lapangan beradu dalam tarik menarik yang melelahkan. Aturan hukum yang kaku sering tidak mampu mengakomodasi dinamika sosial, sementara improvisasi di lapangan kerap dianggap penyimpangan. Di titik ini, muncul kebutuhan akan fleksibilitas hukum—bukan untuk melonggarkan prinsip, melainkan agar demokrasi tetap bernapas. Karena seperti air, hukum yang terlalu kaku justru tidak bisa mengalir.
Polarisasi politik juga semakin memperumit situasi. Identitas primordial dan sentimen agama, yang semestinya menjadi kekayaan sosial, justru dipolitisasi untuk memperkuat sekat. Akibatnya, perbedaan bukan lagi bahan dialog, melainkan sumber kecurigaan. Pemilu yang seharusnya menjadi arena kompetisi ide, berubah menjadi ajang saling meniadakan.
Namun di tengah ketegangan itu, kita juga menemukan daya lenting bangsa yang luar biasa. Penyelenggara pemilu, relawan, dan masyarakat sipil sering menunjukkan dedikasi melampaui panggilan tugas. Mereka bekerja dalam diam, memastikan suara rakyat tetap dihitung dan dihormati. Dalam ketegangan antara norma dan realitas itulah, demokrasi Indonesia justru menemukan daya tahan dan kematangannya.
Jalan Tengah
Jika demokrasi kita ingin bertahan, maka ia harus belajar berdamai dengan kompleksitas. Demokrasi tidak bisa hanya hidup dari teks undang-undang; ia membutuhkan keluwesan dalam tafsir dan kebijaksanaan dalam penerapan. Moderasi menjadi kunci: tidak semua pihak akan puas, tapi semua harus merasa didengar.
Moderasi bukan berarti kehilangan prinsip, melainkan kemampuan untuk menimbang antara kepastian hukum dan keadilan sosial. Seperti halnya dalam seni menyeimbangkan beban di atas tali, setiap langkah dalam demokrasi membutuhkan keseimbangan antara idealisme dan pragmatisme. Ketika hukum dijalankan dengan hati nurani, dan politik dijalankan dengan rasa tanggung jawab, maka demokrasi menemukan bentuk terbaiknya.
Dalam konteks ini, komunikasi publik menjadi jembatan penting. Penyelenggara dan aktor politik harus lebih terbuka menjelaskan proses, bukan hanya hasil. Transparansi bukan sekadar kewajiban administratif, tetapi bentuk penghormatan terhadap kedaulatan rakyat. Demokrasi akan kehilangan makna jika warga hanya diminta percaya tanpa diberi kesempatan memahami.
Pendekatan deliberatif—yakni keputusan melalui musyawarah dan argumentasi—harus menjadi tradisi baru politik Indonesia. Demokrasi bukan tentang siapa yang menang, tapi bagaimana kita menang bersama. Di tengah derasnya arus informasi dan polarisasi, ruang dialog menjadi oase rasionalitas. Membangun ruang ini bukan pekerjaan instan, tapi investasi jangka panjang dalam kualitas peradaban.
Penutup
Demokrasi Indonesia sedang menapaki fase kedewasaan yang sulit. Ia telah melewati masa kanak-kanak reformasi yang penuh semangat, dan kini memasuki masa ujian: mampukah ia bertahan di tengah godaan pragmatisme, polarisasi, dan disinformasi? Persimpangan yang kita hadapi hari ini bukan hanya soal sistem politik, melainkan soal arah moral bangsa.
Kita boleh berbeda dalam pandangan, tetapi harus sepakat bahwa demokrasi adalah rumah bersama. Rumah ini tidak akan kokoh jika hanya dihuni oleh mereka yang menang. Ia hanya akan berdiri tegak jika semua merasa aman di dalamnya.
Demokrasi bukan sekadar aturan yang tertulis di atas kertas, melainkan perjalanan panjang untuk menemukan keseimbangan antara cita-cita dan realitas sosial. Di persimpangan ini, pilihan kita sederhana namun menentukan: apakah kita akan tetap berjalan dengan kompas nilai, atau tersesat oleh arah angin kekuasaan. Bila kita mampu menjaga arah itu, maka demokrasi Indonesia tidak hanya akan bertahan, tapi juga tumbuh menjadi peradaban yang memuliakan manusia dan menghormati perbedaan.
Oleh : Dewan Redaksi
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
