SURAU.CO — Angka partisipasi Pemilu 2024 yang menembus lebih dari delapan puluh persen kerap dirayakan sebagai keberhasilan besar demokrasi Indonesia. Namun di balik perayaan statistik itu, tersisa satu pertanyaan penting: apakah partisipasi tinggi otomatis menandakan kualitas politik yang sehat, atau justru menjadi cermin kegembiraan yang belum sepenuhnya dimaknai?
Dari Partisipasi ke Substansi
Partisipasi memang mudah diukur. Surat suara yang terlipat, tinta di jari, dan antrean panjang di TPS adalah bukti nyata kehadiran rakyat. Tetapi demokrasi sejati tidak berhenti pada angka kehadiran. Ia menuntut kualitas dalam pilihan, kesadaran dalam menentukan arah, dan refleksi atas apa yang sedang dipertaruhkan. Banyak pemilih datang bukan karena kesadaran kebijakan, melainkan karena ikatan emosional terhadap figur, komunitas, atau sekadar dorongan ikut-ikutan.
Survei pascapemilu menunjukkan bahwa sebagian besar pemilih menentukan pilihan karena alasan identitas dan kedekatan sosial, bukan karena program atau rekam jejak kandidat. Fenomena ini menggambarkan demokrasi yang masih berjalan di atas emosi kolektif, bukan rasionalitas kebijakan. Partisipasi yang tinggi memang penting, tetapi tanpa kesadaran politik yang matang, demokrasi bisa menjadi ritual tanpa makna. Ibarat pesta besar tanpa isi, ramai namun mudah dilupakan.
Namun, tidak adil jika partisipasi emosional dianggap sepenuhnya negatif. Emosi politik juga dapat menjadi energi yang menggerakkan, asal diarahkan pada optimisme kolektif. Dalam konteks ini, demokrasi bukan hanya tentang pilihan rasional, tetapi juga tentang rasa memiliki terhadap bangsa dan masa depan. Ketika pemilih datang dengan semangat kebersamaan, walau masih digerakkan oleh figur atau identitas, di situlah letak peluang untuk mengubah kegembiraan menjadi kesadaran.
Demokrasi yang Dirasakan
Pemilu semestinya bukan sekadar prosedur teknokratis. Ia adalah pengalaman sosial yang menyatukan warga, menegaskan kembali siapa kita sebagai bangsa. Itulah makna sejati dari pesta demokrasi—bukan pesta dalam arti seremonial, melainkan perayaan nilai kebersamaan, partisipasi, dan tanggung jawab sipil. Di titik ini, demokrasi harus kembali dirasakan, bukan sekadar dijalankan.
Kegembiraan dalam pemilu bukan hal remeh. Ia menjadi tanda bahwa rakyat masih percaya, bahwa ada harapan di balik bilik suara. Keikutsertaan yang disertai senyum dan antusiasme adalah bentuk legitimasi moral bagi negara. Namun kegembiraan itu juga rentan berubah menjadi euforia semu bila tidak disertai kualitas informasi dan literasi politik yang memadai. Media sosial sering kali menjadi panggung politik identitas dan kontestasi kebencian. Maka, tantangannya adalah bagaimana menjaga agar pesta demokrasi tetap meriah tanpa kehilangan makna.
Di sinilah pentingnya menghadirkan dimensi demokrasi yang dirasakan. Demokrasi yang tidak sekadar berbicara tentang hak, tetapi juga rasa. Rasa didengar, rasa diikutsertakan, dan rasa percaya bahwa setiap suara memiliki arti. Dalam konteks inilah, tugas penyelenggara pemilu tidak berhenti pada logistik dan regulasi, melainkan juga pada penciptaan pengalaman sosial yang inklusif dan menyenangkan bagi seluruh warga.
Ruang Inklusif dan Narasi Positif
Menemukan kegembiraan pemilu berarti membangun ruang inklusif—ruang yang ramah bagi setiap warga tanpa memandang latar belakang, keyakinan, atau status sosial. Demokrasi yang gembira adalah demokrasi yang memberi ruang aman bagi perbedaan. Saat warga merasa diterima dan dihargai, partisipasi menjadi alami, bukan dipaksa.
Untuk itu, narasi publik yang dibangun harus bersifat konstruktif. Komunikasi politik tidak boleh hanya berputar pada isu kekuasaan, tetapi juga pada nilai-nilai kebangsaan: gotong royong, tanggung jawab, dan solidaritas. Dalam penyelenggaraan pemilu, pendekatan ini tercermin dalam kebijakan KPU yang menekankan edukasi pemilih, kolaborasi lintas komunitas, dan pelibatan kelompok rentan. Ketika masyarakat merasa menjadi bagian dari proses, mereka tidak hanya menjadi pemilih, tetapi juga penjaga demokrasi.
Peran media dan teknologi digital juga menjadi penentu. Di era polarisasi, ruang maya sering kali menjadi arena benturan identitas. Karena itu, perlu literasi digital yang kuat agar warga mampu memilah informasi dan tidak terjebak dalam kabar bohong. Narasi positif yang diinisiasi oleh penyelenggara dan masyarakat sipil mampu menyeimbangkan riuhnya politik dengan semangat kebersamaan. Demokrasi yang sehat lahir dari komunikasi yang sehat pula.
Dari Partisipasi Menuju Kepemilikan
Menemukan kegembiraan pemilu adalah menemukan kembali makna terdalam demokrasi: bahwa kedaulatan rakyat bukan hanya hak untuk memilih, tetapi juga tanggung jawab untuk menjaga. Demokrasi yang dirayakan adalah demokrasi yang hidup, di mana warga bukan hanya datang ke TPS, tetapi juga merasa menjadi bagian dari perjalanan bangsa.
Kegembiraan pemilu bukanlah hasil kebetulan, melainkan buah dari proses panjang membangun kepercayaan. Ketika warga tersenyum di TPS, ketika anak muda menjadi relawan, ketika penyelenggara jujur dan terbuka, di situlah demokrasi berdenyut. Demokrasi yang dirayakan bukan demokrasi yang sempurna, tetapi demokrasi yang terus belajar, tumbuh, dan berbenah bersama rakyatnya.
Karena sejatinya, demokrasi yang gembira bukan tentang siapa yang menang, tetapi tentang siapa yang tetap percaya. Dan selama rakyat masih mau datang, berbincang, dan berharap, maka demokrasi Indonesia masih punya harapan untuk terus dirayakan.
Oleh : Dewan Redaksi
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
