SURAU.CO — Di setiap kontestasi politik, penyelenggara pemilu selalu berada di tengah pusaran. Di satu sisi dituntut netral, di sisi lain diminta aktif berkomunikasi. Di antara dua tuntutan itu, mereka berjalan di atas garis tipis antara integritas dan persepsi. Dilema inilah yang menandai perjalanan demokrasi kita hari ini — ketika menjaga jarak bukan berarti menjauh, dan bersuara bukan berarti berpihak.
Netralitas Sebagai Nilai
Netralitas bukan sekadar aturan administratif, melainkan nilai moral yang menuntun sikap penyelenggara dalam setiap keputusan. Dalam demokrasi, netralitas adalah fondasi kepercayaan publik. Namun, sering kali maknanya disalahartikan sebagai sikap diam, pasif, atau sekadar tidak memihak. Padahal, dalam konteks penyelenggaraan pemilu, netralitas justru menuntut keberanian untuk menjelaskan, meluruskan, dan menegakkan prinsip secara terbuka.
Seorang penyelenggara yang netral bukanlah yang menutup diri, melainkan yang terbuka dalam penjelasan tanpa kehilangan ketegasan. KPU, misalnya, tidak hanya bertugas menghitung suara, tetapi juga memastikan setiap warga memahami mengapa dan bagaimana suara itu dihitung. Transparansi adalah bentuk tertinggi dari netralitas, karena di sanalah keadilan dapat diuji oleh publik.
Dalam sejarah demokrasi kita, kepercayaan publik terhadap penyelenggara sering kali naik-turun mengikuti dinamika politik nasional. Persepsi netralitas menjadi salah satu variabel penentu legitimasi pemilu. Data survei menunjukkan bahwa di wilayah dengan persepsi netralitas penyelenggara tinggi, partisipasi pemilih pun meningkat signifikan. Artinya, kepercayaan bukan sekadar produk dari hasil, tetapi juga dari proses yang dijalankan dengan jujur dan terbuka.
Namun, menjaga netralitas tidak selalu mudah. Tekanan datang dari banyak arah: partai politik yang mencari celah, publik yang cepat bereaksi di media sosial, hingga regulasi yang kadang multitafsir. Dalam situasi seperti itu, netralitas bukan lagi soal posisi, melainkan soal karakter. Ia adalah kesetiaan pada kebenaran, meskipun dihadapkan pada godaan dan kecurigaan.
Moderasi Kebijakan
Demokrasi tanpa moderasi ibarat kapal tanpa kemudi. Ia mungkin berlayar dengan cepat, tetapi mudah karam ketika ombak politik meninggi. Moderasi adalah seni menavigasi di antara perbedaan, kemampuan untuk menimbang sebelum memutuskan. Dalam konteks penyelenggaraan pemilu, moderasi berarti menjalankan kebijakan yang adil dan proporsional, tanpa terjebak pada ekstremitas kepentingan.
Tidak semua keputusan akan menyenangkan semua pihak. Tapi seperti dikatakan dalam filsafat demokrasi, keadilan bukan berarti semua puas, melainkan semua didengar. Prinsip inilah yang menjadi dasar dalam setiap kebijakan penyelenggara: dari penetapan daftar pemilih hingga penyelesaian sengketa. Moderasi menjadikan lembaga demokrasi tetap tegak di tengah badai, karena ia tidak mencari kemenangan, melainkan keseimbangan.
Dalam praktiknya, moderasi tampak dalam cara penyelenggara menafsirkan aturan dengan bijak tanpa mengkhianati hukum. Misalnya, ketika putusan lembaga peradilan datang di tengah tahapan, atau ketika situasi lapangan menuntut penyesuaian teknis yang tidak diatur secara eksplisit. Di sini, moderasi bukan berarti melanggar norma, tetapi menyesuaikan penerapan hukum dengan konteks sosial agar tujuan keadilan tetap tercapai.
Moderasi juga menuntut empati kebijakan. Bahwa di balik angka dan prosedur, ada manusia dan aspirasi. Dalam penegakan aturan, penyelenggara harus memastikan bahwa hukum tidak dijalankan dengan kaku, tetapi dengan akal sehat dan rasa keadilan. Ketika hukum menjadi alat untuk melindungi, bukan sekadar menghukum, maka demokrasi menemukan wajah humanisnya.
Namun, moderasi tidak bisa berjalan tanpa ketegasan. Di satu sisi, penyelenggara harus fleksibel dalam merespons situasi; di sisi lain, mereka harus tegas ketika prinsip dilanggar. Ketegasan tanpa otoritarianisme adalah bentuk moderasi yang paling sulit tetapi paling diperlukan. Karena pada akhirnya, kredibilitas demokrasi tidak hanya ditentukan oleh seberapa lentur sebuah lembaga, tetapi juga seberapa kuat ia berdiri di atas prinsip.
Komunikasi Deliberatif
Di tengah riuhnya politik dan derasnya informasi, komunikasi publik menjadi penopang utama legitimasi. Demokrasi yang sehat tidak cukup dengan keputusan yang benar; ia butuh penjelasan yang dapat dipahami rakyat. Dalam hal ini, komunikasi deliberatif bukan hanya strategi komunikasi, melainkan bagian dari etika demokrasi itu sendiri.
Penyelenggara yang deliberatif tidak hanya menyampaikan keputusan, tetapi juga membuka ruang bagi masukan dan kritik. Ia bukan menara gading yang memberi perintah dari atas, melainkan ruang dialog yang mempersilakan setiap warga untuk berbicara. Pola komunikasi seperti ini bukan hanya membangun kepercayaan, tetapi juga menumbuhkan partisipasi yang bermakna.
KPU, dalam berbagai tahapan pemilu, telah menunjukkan pentingnya prinsip “mendengar sebelum memutuskan.” Dalam banyak forum, masukan dari partai politik, masyarakat sipil, dan akademisi menjadi bagian dari penyusunan kebijakan. Prinsip ini mencerminkan semangat deliberatif — bahwa keputusan terbaik bukan yang lahir dari satu kepala, melainkan hasil pertimbangan banyak suara.
Namun, komunikasi deliberatif juga menuntut disiplin moral. Dalam ruang publik yang kian bising, penyelenggara harus mampu memilah antara kritik yang membangun dan serangan yang destruktif. Keterbukaan tidak berarti membiarkan kebisingan menguasai percakapan. Justru di sanalah pentingnya kepemimpinan moral: menjawab dengan data, menanggapi dengan akal sehat, dan menenangkan dengan ketegasan.
Dalam konteks digital, tantangan komunikasi deliberatif semakin besar. Media sosial melahirkan ruang diskusi tanpa batas, tapi juga tanpa filter. Disinformasi dan polarisasi bisa tumbuh dari salah tafsir atau narasi yang dipelintir. Karena itu, penyelenggara perlu hadir di ruang digital bukan sekadar untuk menjawab tuduhan, tetapi untuk membangun narasi positif tentang kejujuran dan keterbukaan demokrasi. Informasi adalah oksigen demokrasi; tanpa oksigen yang bersih, publik akan sesak oleh prasangka.
Penutup
Menjaga demokrasi bukan hanya tentang menjaga kotak suara, tetapi juga menjaga ruang kepercayaan. Dalam ruang itulah netralitas, moderasi, dan dialog menemukan maknanya. Demokrasi yang kuat lahir bukan dari aturan yang kaku, melainkan dari manusia yang berjiwa besar — mereka yang mampu mendengar, menimbang, dan menjelaskan.
Penyelenggara pemilu yang baik tidak hanya bekerja di balik meja, tetapi hadir di tengah masyarakat. Mereka menjadi jembatan antara hukum dan keadilan, antara peraturan dan realitas. Netralitas menjaga mereka tetap tegak, moderasi membuat mereka bijak, dan dialog menjadikan mereka dekat. Itulah tiga pilar yang menopang demokrasi dari dalam.
Karena pada akhirnya, demokrasi bukan sekadar milik negara atau lembaga, melainkan milik rakyat. Dan selama ada ruang untuk berbicara, mendengar, dan bersepakat, selama itulah demokrasi akan terus hidup — bukan hanya sebagai sistem, tapi sebagai kesadaran bersama untuk menjaga kebebasan dan kemanusiaan.
Oleh : Dewan Redaksi
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
