SURAU.CO – Demokrasi modern kini tak hanya berlangsung di bilik suara atau ruang sidang parlemen, melainkan juga di layar gawai. Media sosial membuka panggung baru bagi rakyat untuk bersuara, berdiskusi, bahkan berdebat. Setiap unggahan, tagar, atau video pendek menjadi bagian dari arus besar partisipasi digital. Namun, di tengah derasnya partisipasi ini, muncul paradoks: semakin banyak orang bersuara, semakin bising pula ruang publik kita. Demokrasi digital menghadirkan euforia kebebasan sekaligus ancaman polarisasi. Ibarat dua sisi mata uang, ia bisa memperkuat kedaulatan warga, tapi juga menjerumuskan publik ke dalam jurang disinformasi dan keterbelahan.
Partisipasi Digital: Antara Aspirasi dan Euforia
Di satu sisi, kehadiran media sosial memperluas partisipasi politik secara dramatis. Warga kini tak lagi sekadar menjadi penonton, melainkan turut berperan sebagai aktor politik yang mengkritik, mengampanyekan, atau bahkan mengawasi jalannya pemerintahan. Hashtag activism dan gerakan digital seperti #KawalPemilu atau #CekFakta menjadi simbol bahwa teknologi bisa menjadi alat demokratisasi. Demokrasi digital memungkinkan siapa pun, tanpa perlu modal besar, menyampaikan pendapatnya langsung ke publik. Ruang virtual menjadi arena deliberatif baru yang menghubungkan warga dan penyelenggara.
Namun, euforia ini juga menimbulkan tantangan baru. Partisipasi digital sering kali bersifat impulsif—reaktif terhadap isu viral tanpa pendalaman konteks. Dalam banyak kasus, opini publik terbentuk bukan oleh fakta, melainkan oleh algoritma yang menonjolkan emosi. Ketika algoritma media sosial lebih mengutamakan keterlibatan (engagement) daripada kebenaran, ruang publik berubah menjadi gelanggang persaingan opini yang bising. Demokrasi kehilangan kedalaman rasionalnya, tergantikan oleh ritme cepat dan permukaan yang dangkal.
Polarisasi dan Disinformasi: Ketika Algoritma Mengambil Alih Rasionalitas
Fenomena echo chamber dan filter bubble mempersempit ruang dialog. Alih-alih saling mendengar, pengguna media sosial cenderung terjebak dalam lingkaran informasi yang menguatkan keyakinannya sendiri. Perdebatan publik pun berubah menjadi perang kebenaran, di mana setiap pihak sibuk membenarkan diri dan menegasikan yang lain. Dalam situasi seperti ini, demokrasi digital kehilangan jiwanya: kemampuan untuk mendengar perbedaan.
Polarisasi politik di Indonesia, terutama selama periode pemilu, memperlihatkan gejala tersebut dengan jelas. Di ruang digital, identitas politik sering kali berkelindan dengan agama, suku, atau loyalitas personal terhadap figur tertentu. Akibatnya, percakapan publik yang seharusnya rasional berubah menjadi kontestasi identitas. Lebih dari seribu konten hoaks terdeteksi selama masa Pemilu 2024, sebagian besar mengandung narasi sektarian. Fenomena ini mengikis kepercayaan terhadap institusi dan memperlemah legitimasi demokrasi.
Ironisnya, teknologi yang seharusnya memperkuat partisipasi justru memperuncing perpecahan. Demokrasi digital, jika tak dikelola dengan literasi yang memadai, akan menjadi demokrasi algoritmik—di mana kebijakan publik dan opini rakyat ditentukan oleh pola klik, bukan oleh logika. Maka, tantangan terbesar kita bukan lagi bagaimana membuat rakyat bersuara, melainkan bagaimana menjaga agar suara itu tetap rasional, berimbang, dan beretika.
Literasi Digital: Benteng Baru Demokrasi Virtual
Dalam konteks ini, literasi digital menjadi fondasi utama menjaga napas demokrasi. Literasi bukan sekadar kemampuan menggunakan gawai, melainkan kecakapan memahami, menyeleksi, dan mengkritisi informasi. Pemerintah, penyelenggara pemilu, dan masyarakat sipil perlu berkolaborasi membangun ekosistem edukasi digital yang kuat. Kampanye literasi harus bergeser dari slogan moral ke praktik sosial: mengajarkan cara membaca algoritma, mengenali framing berita, hingga berdebat secara sehat di ruang daring.
Upaya seperti kerja sama KPU dengan platform digital dalam memverifikasi informasi pemilu adalah langkah awal yang baik. Namun, yang lebih penting adalah membentuk budaya berpikir kritis di kalangan masyarakat, terutama generasi muda yang menjadi mayoritas pengguna media sosial. Tanpa literasi digital, demokrasi virtual hanya akan menjadi panggung yang gaduh tanpa arah.
Selain itu, perlu ada tanggung jawab etik dari penyedia platform digital. Demokrasi yang sehat tak bisa dibiarkan sepenuhnya diatur oleh logika komersial algoritma. Platform besar perlu terlibat dalam upaya melindungi ruang publik digital dari manipulasi, misinformasi, dan ujaran kebencian. Regulasi yang adaptif dan berbasis hak asasi menjadi kebutuhan mendesak agar kebebasan digital tetap selaras dengan kepentingan publik.
Menemukan Keseimbangan antara Etika dan Logika
Demokrasi digital adalah kenyataan yang tak dapat dihindari. Ia lahir dari kebutuhan zaman sekaligus konsekuensi kemajuan teknologi. Namun, sebagaimana semua bentuk kebebasan, ia membutuhkan tanggung jawab. Demokrasi hanya akan matang jika etika dan logika berjalan seimbang: logika memastikan keputusan diambil secara rasional, sementara etika menjaga agar kebebasan tidak melukai kemanusiaan.
Di era informasi, kejujuran data dan kedewasaan publik menjadi oksigen demokrasi. Partisipasi digital harus diarahkan bukan untuk memperkuat sekat, melainkan menjembatani perbedaan. Hanya dengan cara itu, demokrasi digital dapat menjadi ruang tumbuhnya empati dan pengetahuan, bukan sekadar arena pertarungan opini. Demokrasi sejati bukan tentang siapa yang paling nyaring berbicara, tetapi siapa yang paling sungguh-sungguh mendengar.
Oleh : Dewan Redaksi
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
