Beranda » Berita » Hukum, Tafsir, dan Konteks: Menjaga Keadilan dalam Pemilu

Hukum, Tafsir, dan Konteks: Menjaga Keadilan dalam Pemilu

Gambar Ilustrasi

SURAU.CO  – Dalam sistem demokrasi, hukum adalah tulang punggung yang menopang keadilan. Namun dalam praktiknya, hukum tidak hidup di ruang hampa. Ia selalu bersentuhan dengan realitas sosial, politik, dan moral. Di dalam konteks pemilu, hukum bukan sekadar teks yang dingin di atas kertas, melainkan pedoman yang harus menyesuaikan diri dengan dinamika masyarakat. Seperti kata filsuf hukum Lon L. Fuller, hukum tanpa moral ibarat tubuh tanpa jiwa. Begitu pula pemilu tanpa keadilan hanyalah serangkaian prosedur yang kehilangan maknanya.

Perdebatan tentang bagaimana menafsirkan hukum pemilu sering kali muncul ketika norma bertemu kenyataan. Ketika aturan dibuat untuk situasi ideal, sementara lapangan menghadirkan kompleksitas yang tak terbayangkan, penyelenggara dan penegak hukum dituntut untuk tidak sekadar taat pada pasal, tapi juga peka terhadap nilai yang hendak dijaga: keadilan dan kedaulatan rakyat.

Antara Teks dan Realitas

Hukum pemilu ditulis dalam bahasa yang formal, tetapi diterapkan dalam realitas yang penuh warna. Di satu sisi, ketegasan norma penting untuk menjamin kepastian hukum. Namun di sisi lain, kepastian yang kaku bisa berujung pada ketidakadilan jika menutup mata terhadap konteks. Seperti pepatah, hukum yang kaku ibarat pedang tajam yang bisa melukai orang benar.

Contohnya terlihat ketika persoalan teknis pemilu—seperti perbedaan data pemilih, keterlambatan logistik, atau pelanggaran administratif—menghadapkan penyelenggara pada dilema. Menegakkan aturan secara literal kadang berarti mengorbankan hak konstitusional warga negara. Sementara memberi kelonggaran tanpa dasar hukum bisa ditafsirkan sebagai pelanggaran. Di sinilah seni menafsir hukum menjadi bagian penting dari etika penyelenggaraan pemilu.

Penyelenggara pemilu bukan hanya pelaksana regulasi, tetapi juga penafsir konstitusi dalam praktiknya. Mereka dihadapkan pada tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa hukum bekerja untuk manusia, bukan sebaliknya. Tafsir hukum yang bijak bukan berarti menyeleweng dari aturan, melainkan menghidupkan nilai keadilan di dalamnya.

Lapangan Penuh Kenangan: Doa yang Pernah Dititipkan

Menjaga Keadilan Melalui Tafsir

Keadilan bukan sekadar hasil dari ketaatan terhadap prosedur, melainkan kemampuan membaca makna di balik aturan. Tafsir yang adil menuntut kepekaan terhadap situasi, tanpa kehilangan arah dari prinsip. Misalnya, ketika Mahkamah Konstitusi (MK) memutus perkara sengketa hasil pemilu, hakim sering kali menghadapi bukti yang bersifat sosial-politis, bukan semata legal-formal. Keputusan yang diambil tak jarang menjadi contoh bagaimana hukum dipahami sebagai alat mencari kebenaran substantif, bukan sekadar mengesahkan hasil administratif.

Dalam banyak kasus, keadilan pemilu diuji bukan pada tahap pembuatan undang-undang, melainkan pada saat pelaksanaannya. Bagaimana penyelenggara menafsir pasal tentang kampanye, dana politik, atau netralitas ASN, akan menentukan apakah pemilu menjadi ajang keadilan atau arena perebutan kuasa belaka. Karena itu, kapasitas interpretatif—kemampuan memahami hukum secara kontekstual dan etis—menjadi bagian dari integritas kelembagaan.

Dalam tafsir yang kontekstual, hukum dipahami bukan untuk melayani kekuasaan, melainkan melindungi rakyat. Hukum pemilu sejatinya adalah sarana untuk menjaga kepercayaan publik terhadap hasil politik. Jika keadilan dirasakan, legitimasi pun tumbuh. Tetapi jika hukum dijalankan tanpa empati, demokrasi kehilangan rohnya.

Fleksibilitas sebagai Wujud Keadilan

Fleksibilitas hukum bukan berarti kelemahan, melainkan tanda kedewasaan. Negara demokrasi yang matang mampu membedakan antara pelanggaran prinsip dan penyesuaian prosedural. Dalam konteks pemilu Indonesia, fleksibilitas sering kali menjadi kebutuhan, bukan pilihan. Luasnya wilayah, keberagaman sosial-budaya, serta keterbatasan infrastruktur menuntut adaptasi dalam pelaksanaan.

Di daerah kepulauan, misalnya, keterlambatan logistik bukan semata karena kelalaian, melainkan karena kondisi geografis yang ekstrem. Dalam kasus seperti ini, penegakan aturan harus dibarengi dengan kebijaksanaan. Keadilan tidak selalu sama dengan keseragaman. Kadang, keadilan justru hadir ketika kita berani berbeda dalam penerapan aturan, tanpa kehilangan prinsip.

Membuat Agama Islam Seperti Gado Rasa Nusantara

Namun fleksibilitas harus berjalan seiring dengan akuntabilitas. Penyesuaian hanya bisa diterima jika dilakukan secara terbuka, terukur, dan disertai alasan yang kuat. Transparansi menjadi penyeimbang agar kelonggaran tidak berubah menjadi penyalahgunaan. Dalam artian ini, hukum tidak kehilangan wibawanya, tetapi justru menunjukkan kedewasaannya.

Moral Penyelenggara dan Hukum yang Bernyawa

Penyelenggara pemilu berada di garda terdepan menjaga keadilan elektoral. Mereka berhadapan langsung dengan tekanan politik, publik, dan birokrasi. Dalam situasi itu, kemampuan menafsir hukum secara moral menjadi penentu. Mereka harus paham kapan bersikap tegas, kapan lentur, dan kapan mendengar. Hukum yang dijalankan tanpa kebijaksanaan akan kehilangan ruhnya. Sebaliknya, kebijaksanaan tanpa dasar hukum akan kehilangan legitimasinya.

Keadilan bukan sekadar tentang benar atau salah, tetapi tentang proporsi dan konteks. Setiap keputusan hukum dalam pemilu adalah refleksi dari keseimbangan antara idealisme dan pragmatisme. Menegakkan hukum tanpa hati akan menimbulkan jarak antara negara dan rakyat. Namun menjalankan pemilu tanpa disiplin hukum akan menimbulkan kekacauan.

Oleh karena itu, penyelenggara pemilu dituntut untuk menjadi guardian of fairness—penjaga keadilan, bukan sekadar pengawas prosedur. Dalam setiap keputusan yang mereka ambil, tersimpan tanggung jawab moral untuk memastikan demokrasi berjalan dengan jujur, adil, dan manusiawi.

Dari Formalitas ke Keadilan Substantif

Demokrasi sejati tidak lahir dari ketaatan buta pada hukum, melainkan dari keberanian menafsirnya secara adil. Hukum pemilu bukan kitab suci yang tak bisa disentuh, tetapi pedoman yang hidup dan harus terus disesuaikan dengan denyut masyarakat. Tafsir hukum yang kontekstual adalah jembatan antara teks dan realitas—antara norma dan keadilan.

Manfaat Memahami Makna Tauhid

Sepanjang penegakan hukum masih didorong oleh rasa takut melanggar, bukan oleh niat menjaga keadilan, maka pemilu akan tetap menjadi ritual prosedural tanpa makna substantif. Namun selama hukum dijalankan dengan niat tulus untuk melindungi kedaulatan rakyat, maka demokrasi akan tetap bernapas.

Pada akhirnya, keadilan dalam pemilu tidak diukur dari seberapa ketat aturan ditegakkan, melainkan dari seberapa besar rakyat merasa dilindungi olehnya. Karena hukum yang adil bukan yang paling keras, tetapi yang paling manusiawi.

 

Oleh : Dewan Redaksi


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.