SURAU.CO – Shalat berjamaah adalah syiar agung dalam Islam yang menunjukkan kekuatan ukhuwah dan ketaatan kepada Allah. Para ulama dalam madzhab Syafi’i memberikan perhatian khusus terhadap hukum, keutamaan, dan tata cara mendapati jamaah dalam shalat. Tulisan ini membahas secara ringkas namun komprehensif tentang hukum shalat berjamaah, kondisi wajibnya, hingga berbagai bentuk idrak (ketepatan ikut jamaah) yang perlu diketahui setiap muslim.
Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib berkata,
وَصَلَاةُ الْجَمَاعَةِ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ، وَعَلَى الْمَأْمُومِ أَنْ يَنْوِيَ الِائْتِمَامَ دُونَ الْإِمَامِ.
Shalat berjamaah hukumnya sunnah muakkadah (sunnah yang sangat ditekankan), dan bagi makmum wajib berniat untuk mengikuti (imam), sedangkan imam tidak perlu berniat menjadi imam.
Penjelasan: Hukum shalat berjamaah menurut pendapat mu’tamad dalam madzhab Syafi‘i adalah fardhu kifayah (wajib untuk sebagian orang), kecuali shalat Jum’at, hukumnya Fardhu ‘Ain (wajib untuk individu).
Hukum fardhu kifayah
- Laki-laki, hukum bagi perempuan: sunnah.
-
Orang merdeka, hukum bagi budak: sunnah.
-
Mukim, hukum bagi musafir: sunnah.
-
Tidak punya uzur; uzur untuk tidak berjamaah: hujan, sangat dingin, sakit, darurat buang hajat, dll.
Wajib tampak syiar (agama) dengan menegakkan (shalat berjamaah), maka tidak cukup melakukannya di rumah-rumah. Minimal berjamaah adalah: seorang imam dan satu makmum.
Rincian Hukum Shalat Berjamaah
- Fardhu ‘ain dan syarat sahnya: berjamaah dalam shalat Jum’at.
-
Fardhu kifayah: untuk berjamaah dalam shalat wajib lima waktu.
-
Sunnah: shalat dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha), shalat kusuf (gerhana), istisqa’ (minta hujan), tarawih, dan witir di bulan Ramadhan.
-
Khilaful aula: shalat rawatib dan dhuha
-
Makruh: shalat di belakang imam yang fasik.
-
Haram : bermakmum di belakang imam yang shalatnya berbeda, misalnya shalat Shubuh di belakang shalat jenazah. (Bidayah Al-Fiqh Asy-Syafi’i, hlm. 275-276)
Shalat berjamaah di masjid–untuk selain wanita–lebih utama, kecuali jika didapatkan jamaah di rumah lebih banyak, maka di rumah lebih afdal.
Dalam Fathul Qarib disebutkan: Shalat berjamaah bagi laki-laki dalam shalat-shalat wajib selain Jum’at hukumnya sunnah muakkadah menurut penulis dan Ar-Rafi‘i. Pendapat yang lebih kuat menurut An-Nawawi: fardhu kifayah. Makmum dianggap mendapatkan jamaah bersama imam dalam shalat selain Jum’at selama imam belum mengucapkan salam pertama, meskipun ia belum sempat duduk bersamanya.
Argumen Berbagai Pendapat Mengenai Hukum Shalat Berjamaah
Dalam Fathul Qarib disebutkan: (Dan) wajib (bagi makmum untuk berniat mengikuti) atau bermakmum kepada imam. Tidak wajib menyebutkan siapa imamnya secara spesifik; cukup berniat mengikuti imam yang ada jika ia tidak mengenalnya. Jika ia menetapkan imam tertentu lalu keliru, maka batal shalatnya, kecuali jika ada isyarat yang menyertainya, seperti ia berkata: ‘Aku berniat mengikuti Zaid ini,’ ternyata yang dimaksud adalah ‘Amr, maka shalatnya tetap sah.
(Adapun imam), tidak wajib baginya berniat menjadi imam untuk sahnya makmum bermakmum kepadanya selain pada shalat Jumat. Niat imam hanya sunnah baginya. Jika ia tidak berniat sebagai imam, maka shalatnya dihukumi shalat sendiri (munfarid).”
Dalam Kifayatul Akhyar disebutkan: Dasar disyariatkannya shalat berjamaah adalah Al-Qur’an, hadits, dan ijmak ulama. Allah Ta‘ala berfirman:
وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ
“Dan apabila engkau (wahai Muhammad) berada di tengah-tengah mereka lalu engkau hendak mendirikan salat bersama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri bersamamu.” (QS. An-Nisaa’: 102)
Ayat ini menunjukkan perintah berjamaah dalam firman-Nya ‘maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri bersamamu.’ Maka pada kondisi aman tentu lebih utama.
Shalat berjamaah adalah fardhu ‘ain pada shalat Jumat. Adapun selain shalat Jumat, terdapat perbedaan pendapat.
Menurut pendapat yang sahih menurut Ar-Rafi‘i, hukumnya adalah sunnah. Ada pula yang berpendapat bahwa hukumnya fardu kifayah, dan pendapat ini dinilai sahih oleh An-Nawawi. Ada pula yang berpendapat fardu ‘ain, dan pendapat ini dinilai sahih oleh Ibnul Mundzir dan Ibnu Khuzaimah.
Alasan hukum shalat berjamaah itu sunnah
Adapun dalil bagi mereka yang mengatakan bahwa shalat berjamaah itu sunnah adalah sabda Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam: Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian dengan keutamaan dua puluh tujuh derajat). Al-Bukhari meriwayatkan dengan lafaz dua puluh lima derajat dari riwayat Abu Sa‘id.
Sabda Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam ‘lebih utama’ menunjukkan bolehnya kedua cara (shalat berjamaah dan shalat sendirian), karena bentuk perbandingan keutamaan menuntut demikian. Seandainya salah satu dari keduanya terlarang, tentu tidak akan datang dalam bentuk lafaz seperti ini.
Alasan hukum shalat berjamaah itu fardhu kifayah: Adapun dalil bagi mereka yang berpendapat bahwa salat berjamaah itu fardu kifayah adalah sabda Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam: “Tidaklah ada tiga orang di suatu kampung atau di pedalaman yang tidak ditegakkan salat di tengah-tengah mereka, kecuali setan akan menguasai mereka. Maka hendaklah kalian berjamaah, karena serigala hanya memakan kambing yang jauh dari kawanannya.”
Alasan hukum shalat berjamaah itu fardhu ‘ain
Dan dalil bagi mereka yang berpendapat bahwa shalat berjamaah itu fardu ‘ain adalah sejumlah hadits, di antaranya sabda Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam: “Sungguh, aku hampir memerintahkan untuk mendirikan salat, lalu salat ditegakkan.
Kemudian aku memerintahkan seorang lelaki untuk mengimami manusia, lalu aku pergi bersama beberapa orang yang membawa ikatan kayu bakar menuju suatu kaum yang tidak menghadiri salat, lalu aku akan membakar rumah-rumah mereka dengan api).
Jawabannya: Nabi tidak jadi membakar rumah mereka, dan hal ini terjadi pada kaum munafik.
Berbagai Bentuk Idrok (Ketepatan Ikut Jamaah)
- Mendapati satu rakaat ketika mendapati rukuk, di mana makmum rukuk secara thumakninah sebelum imam bangkit.
Makmum masbuk dikatakan mendapatkan rukuk bersama imam dengan dua hal: (1) takbiratul ihram lalu bertakbir untuk turun rukuk, tetapi jika mencukupkan satu kali takbir disyaratkan ia melakukan takbiratul ihram, (2) mendapati rukuk bersama imam secara sempurna dan yakin sebelum imam bangkit dari rukuk di mana makmum mendapatinya dengan melakukanya dengan thumakninah dan masih mendapatkan minimal rukuk, yaitu telapak tangannya mendapati lutut. (Lihat Fath Al-Mu’in, hlm. 199).
- Mendapati shalat berjamaah dengan mendapati bagian shalat dari imam. Ada perselisihan pendapat dalam madzhab dalam hal kapan mendapati bagian shalat dari imam:
– Menurut Imam Ar-Ramli sebelum imam mulai salam pertama.
– Menurut Ibnu Hajar Al-Haitami sebelum pengucapan mim pada kalimat salam “As-salaamu ‘alaikum”. -
Mendapati fadhilah berjamaah (mendapati takbir pertama bersama imam) di mana makmum mengucapkan takbiratul ihram setelah takbiratul ihram dari imam. Karena hadits:
فإذا كبر فكبرواس والفاء للتعقيب.
“Jika imam bertakbir, barulah makmum bertakbir.” Hadits ini bermakna ta’qib berurutan dan menunjukkan setelah. Itulah makna huruf fa’.
- Mendapati shalat jumat bersama IMAM ketika makmum mendapati rukuk imam secara thumakninah sebelum imam bangkit.
Hal ini berdasarkan hadits:
من أدرك من الجمعة ركعة فليصل معها أخرى
“Siapa mendapati satu rakaat shalat Jumat bersama imam, maka hendaklah ia melanjutkan rakaat yang tersisa.”
- Mendapati waktu shalat ada’an (masih shalat di waktunya) dengan mendapati satu rakaat secara sempurna. Misal ia bangkit dari sujud kedua sebelum matahari tenggelam, berarti ia telah mendapati shalat Ashar di waktunya.
Hal ini berdasarkan hadits:
من أدرك ركعة من العصر قبل أن تغرب الشمس فقد أدرك العصر
“Siapa yang mendapati satu rakaat dari shalat Ashar sebelum tenggelam matahari, berarti ia telah mendapati shalat Ashar di waktunya.”
Shalat di Rumah Berjamaah
Ketahuilah bahwa pelaksanaan shalat berjamaah sudah teranggap sah meskipun seorang laki-laki shalat di rumah bersama istrinya atau anggota keluarganya yang lain. Namun demikian, shalat berjamaah di masjid tetap lebih utama. Semakin banyak jamaah yang berkumpul di sebuah masjid, maka semakin utama pula shalat berjamaah di sana.
Karena itu, jika dekat rumah terdapat masjid dengan jumlah jamaah sedikit, sedangkan ada masjid lain yang lebih jauh namun jamaahnya lebih banyak, maka shalat di masjid yang jauh lebih utama—kecuali dalam dua kondisi:
- Bila berpindah ke masjid yang jauh menyebabkan jamaah di masjid terdekat menjadi terbengkalai atau tidak terselenggara.
-
Bila imam di masjid yang jauh tersebut adalah seorang ahli bid’ah, seperti penganut ajaran Mu‘tazilah atau kelompok menyimpang lainnya.
Referensi: Matan Taqrib, Fathul Qarib, dan Kifayatul Akhyar. saat perjalanan Darush Sholihin – Masjid Pogung Dalangan, 1447 H / 2025. Penulis: Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal. (Edi Suherman Daily)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
