SURAU.CO – Setiap keputusan dalam demokrasi selalu menimbulkan gema: ada yang merasa diuntungkan, ada pula yang menganggap dirinya terpinggirkan. Di situlah seni bernegara diuji — bagaimana menyeimbangkan idealisme dan realitas, aturan dan aspirasi, suara mayoritas dan martabat minoritas. Dalam konteks pemilu, kebijakan publik bukanlah soal siapa yang menang atau kalah, melainkan bagaimana semua pihak merasa dihargai dalam prosesnya. Moderasi, dalam arti ini, bukan kompromi lemah, melainkan strategi bijak untuk menegakkan keadilan tanpa menindas aspirasi.
Seperti disinggung dalam buku Membumikan Demokrasi karya M. Afifuddin, penyelenggara pemilu tidak sekadar pelaksana teknis, tetapi juga mediator sosial. Mereka berdiri di tengah pusaran kepentingan politik, hukum, dan moral publik. Dalam posisi demikian, moderasi bukan sekadar pilihan etik, melainkan keharusan strategis. Sebab dalam sistem politik yang kompleks, mustahil semua pihak puas — tetapi bukan berarti tidak semua bisa didengar. Demokrasi sejati, justru tumbuh dari kemampuan mendengarkan dengan empati, mengambil keputusan dengan nalar, dan menjelaskan dengan kejujuran.
Dari Polarisasi ke Keseimbangan
Pemilu di Indonesia sering menjadi panggung polarisasi. Polarisasi antara yang berkuasa dan penantang, antara ideologi lama dan gagasan baru, serta antara mayoritas dan minoritas. Namun, seperti ditekankan Afifuddin, penyelenggara harus menjaga perbedaan tetap dalam koridor keadaban, bukan memadamkannya. Dalam setiap ketegangan politik selalu ada ruang dialog; dalam setiap konflik kepentingan selalu ada peluang menemukan titik temu. Moderasi mengubah perbedaan menjadi dinamika, bukan perpecahan.
Musyawarah memiliki peran penting sebagai roh demokrasi Pancasila. Musyawarah bukan hanya proses formal, tetapi mekanisme moral untuk menahan arogansi kekuasaan. Keputusan yang lahir dari dialog—meski tidak memuaskan semua pihak—memiliki legitimasi lebih kuat karena melalui proses inklusif. Moderasi, dalam kerangka itu, menjadi seni menimbang secara adil. Artinya, tidak tunduk pada tekanan, tidak terpikat popularitas, tetapi berpegang pada keseimbangan antara keadilan dan kemanfaatan.
Moderasi sebagai Kepemimpinan Moral
Moderasi kebijakan membutuhkan kepemimpinan moral, bukan sekadar keterampilan administratif. Penyelenggara pemilu yang moderat harus mengubah tekanan politik menjadi pembelajaran bersama. Di tengah disinformasi dan politik identitas, sikap ekstrem hanya memperlebar jurang kepercayaan publik. Moderasi justru mengembalikan fokus pada nilai: mendengar tanpa kehilangan arah dan tegas tanpa menghilangkan empati.
Seperti ditulis dalam Membumikan Demokrasi, kebijakan jalan tengah bukan tanda keraguan, tetapi keberanian untuk berkata bahwa perbedaan tidak harus saling meniadakan. Dalam penyelenggaraan pemilu, keputusan administratif sering berhadapan dengan tafsir hukum, tekanan politik, dan ekspektasi publik. Pada titik inilah moderasi menjaga agar keadilan tetap berwajah manusiawi.
Dari Regulasi ke Aspirasi
Kebijakan moderat tidak berarti melemahkan aturan. Justru moderasi menjalankan aturan dengan peka terhadap konteks sosial. Keputusan tegas tanpa penjelasan bisa memicu resistensi; keputusan komunikatif tanpa dasar hukum kehilangan wibawa. Moderasi bergerak di antara dua ekstrem itu: menegakkan aturan sambil tetap mendengar.
Moderasi juga membuka ruang deliberasi. Ketika KPU atau Bawaslu menghadapi perbedaan tafsir regulasi, pendekatan inklusif terhadap partai, masyarakat sipil, dan akademisi dapat mencegah eskalasi sengketa. Dengan mendengar sebelum memutuskan, penyelenggara menguatkan legitimasi tanpa kehilangan ketegasan.
Membangun Konsensus Minimal
Demokrasi tidak hidup tanpa perbedaan pendapat. Namun dari perbedaan itu, kita selalu bisa membangun konsensus minimal: nilai dasar yang tidak boleh ditawar, seperti integritas, keterbukaan, dan keadilan. Inilah fondasi etik yang disebut Afifuddin untuk setiap penyelenggara demokrasi. Moderasi bukan strategi politik, tetapi tanggung jawab moral agar tidak ada warga yang merasa diabaikan.
Konsensus minimal mengakui bahwa keputusan publik tidak akan memuaskan semua pihak, tetapi tetap harus diterima akal sehat bersama. Demokrasi tidak mengejar keseragaman, tetapi keteraturan dalam perbedaan. Moderasi menjaga ritme kebangsaan tetap seimbang di tengah kompetisi politik.
Antara Mayoritas dan Martabat Minoritas
Demokrasi sering dipahami sebagai suara mayoritas, tetapi sejarah membuktikan bahwa kekuatannya justru terletak pada kemampuan melindungi kelompok lemah. Moderasi kebijakan memastikan suara minoritas tidak tenggelam oleh opini mayoritas. Ia menempatkan martabat manusia di atas kalkulasi elektoral.
Seperti dijelaskan dalam Membumikan Demokrasi, penyelenggara pemilu harus menegakkan inklusivitas. Mulai dari pendaftaran pemilih, kampanye, maupun kebijakan strategis seperti keterwakilan perempuan dan kelompok marjinal. Kebijakan publik menjadi alat pemberdayaan, bukan sekadar instrumen pengaturan.
Keadilan yang Tidak Memekakkan
Demokrasi adalah seni menimbang antara kebisingan opini dan keheningan nurani. Di tengah tekanan politik dan derasnya informasi, moderasi menyediakan ruang tenang bagi nalar publik. Ia mengajarkan bahwa keadilan tidak harus keras, dan keberanian tidak harus kehilangan empati.
Tidak semua orang harus puas, tetapi semua harus merasa didengar. Ketika penyelenggara memilih menjadi penengah yang arif, bukan penguasa yang memaksa, demokrasi menemukan kembali jiwanya: ruang di mana perbedaan tidak ditakuti, tetapi dirayakan sebagai tanda kehidupan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
