SURAU. CO – Pemilu seharusnya menjadi pesta, bukan pertarungan yang menakutkan. Ia adalah perayaan kedaulatan rakyat, bukan medan perpecahan sosial. Namun dalam kenyataannya, setiap kali musim pemilu tiba, suasana kebangsaan kerap diwarnai ketegangan, saling curiga, dan polarisasi. Padahal, sebagaimana diingatkan M. Afifuddin dalam Membumikan Demokrasi, demokrasi sejatinya adalah kegembiraan kolektif — ruang di mana rakyat bebas memilih, berpendapat, dan berpartisipasi tanpa rasa takut.
Sejak reformasi, Indonesia telah menapaki berbagai fase pemilu yang menegangkan: dari transisi politik, konflik kepentingan, hingga tantangan digitalisasi. Namun di balik itu semua, tersimpan satu pelajaran mendasar: demokrasi tidak akan hidup bila tidak dirayakan dengan gembira. Karena kegembiraan dalam politik bukan sekadar suasana hati, melainkan ukuran kedewasaan bangsa dalam mengelola perbedaan.
Demokrasi sebagai Ruang Gembira
Kegembiraan dalam demokrasi bukan berarti euforia tanpa makna. Ia lahir dari keyakinan bahwa setiap warga memiliki tempat yang sama di ruang publik. Demokrasi yang sehat menciptakan rasa aman bagi siapa pun untuk berbicara, berbeda pendapat, bahkan dikritik sekalipun. Ketika rakyat tidak lagi takut bersuara, di situlah demokrasi benar-benar bernyawa.
Dalam konteks pemilu, kegembiraan berarti kepercayaan — kepada penyelenggara, peserta, dan proses. Rakyat yang percaya akan datang ke TPS dengan semangat, bukan dengan kecurigaan. Sebaliknya, bila pemilu hanya diasosiasikan dengan konflik, maka partisipasi publik akan lahir dari rasa takut, bukan tanggung jawab. Seperti diungkapkan Afifuddin, kejujuran dan transparansi bukan hanya syarat hukum, tetapi sumber rasa aman sosial.
Demokrasi yang gembira tidak lahir dari hasil yang memuaskan semua pihak, tetapi dari proses yang dirasakan adil. Ia tumbuh ketika warga melihat bahwa suaranya dihitung dengan jujur, pendapatnya dihargai, dan keberpihakannya tidak menimbulkan permusuhan. Itulah sebabnya, KPU dan Bawaslu tidak hanya mengatur prosedur, tetapi juga menjaga atmosfer kebangsaan agar tetap teduh. Demokrasi bukan sekadar kompetisi politik, tetapi juga seni menjaga perasaan kebangsaan.
Dari Kecurigaan ke Kepercayaan
Salah satu persoalan mendasar demokrasi Indonesia adalah defisit kepercayaan. Masyarakat mudah curiga pada hasil, proses, bahkan niat penyelenggara. Di sinilah pentingnya transparansi dan komunikasi publik yang jujur. Seperti ditulis Afifuddin, penyelenggara pemilu harus hadir sebagai penjaga kepercayaan, bukan sekadar pelaksana aturan.
Ketika informasi disampaikan dengan terbuka, ketika klarifikasi dilakukan dengan cepat, dan ketika publik merasa dilibatkan, maka rasa curiga berubah menjadi rasa percaya. Demokrasi yang transparan adalah demokrasi yang mengundang partisipasi. Ia bukan menutup pintu rapat-rapat, tetapi membuka jendela agar semua orang dapat melihat proses yang sedang berjalan.
Pemilu 2024 menjadi contoh bagaimana komunikasi publik memainkan peran penting dalam menjaga suasana kebangsaan. Ketika muncul hoaks tentang DPT, logistik, atau rekapitulasi suara, respons cepat KPU dan kolaborasi dengan media independen berhasil menekan eskalasi. Transparansi data dan edukasi digital menjadi vaksin bagi demokrasi yang sering kali diserang oleh virus disinformasi.
Pemilu Sebagai Pesta Kolektif
Dalam tradisi bangsa kita, pesta bukan hanya hiburan, tetapi cara membangun kebersamaan. Gotong royong, syukuran, dan selamatan adalah bentuk-bentuk pesta yang meneguhkan rasa persaudaraan. Begitu pula pemilu. Ia adalah selamatan nasional yang dirayakan lima tahun sekali — di mana rakyat menegaskan kembali komitmennya terhadap republik.
Namun, pesta demokrasi hanya bisa berlangsung bila semua pihak memahami peran masing-masing. Penyelenggara menjaga kejujuran, peserta menjunjung sportivitas, dan rakyat berpartisipasi dengan kesadaran. Bila salah satu hilang, maka pesta berubah menjadi pertikaian. Demokrasi yang dirayakan berarti semua pihak bersedia menahan ego dan menghormati hasil bersama.
Sebagaimana diuraikan Afifuddin dalam Membumikan Demokrasi, penyelenggara tidak boleh lelah mengingatkan publik bahwa pemilu bukan ajang permusuhan, tetapi forum pertemuan. Rakyat datang ke TPS bukan untuk mengalahkan sesama, tetapi untuk memilih arah masa depan bangsa. Di sinilah perayaan demokrasi menemukan maknanya: kesadaran bahwa perbedaan pilihan tidak menghapus rasa kebangsaan.
Rasa Kepemilikan Bersama
Demokrasi hanya akan bertahan bila rakyat merasa memiliki. Kegembiraan politik tidak bisa direkayasa dari atas; ia tumbuh dari bawah, dari pengalaman partisipasi yang bermakna. KPU dan Bawaslu, sebagai penyelenggara, perlu terus membuka ruang dialog dan partisipasi publik — tidak hanya menjelang pemilu, tetapi sepanjang tahun. Forum pendidikan pemilih, kolaborasi dengan komunitas, hingga inovasi digital harus diarahkan untuk membangun kesadaran bahwa demokrasi adalah milik semua.
Rasa memiliki ini menjadi benteng moral terhadap apatisme. Ketika warga merasa suara mereka berharga, mereka tidak mudah tergoda oleh politik uang atau narasi kebencian. Demokrasi yang dirayakan adalah demokrasi yang dirasakan — bukan sekadar disaksikan dari layar televisi. Dalam arti ini, pesta rakyat bukan tentang spanduk dan panggung, tetapi tentang kehadiran hati dalam proses politik.
Tanda Kedewasaan Politik
Kedewasaan politik diukur bukan dari jumlah partai, tetapi dari cara bangsa mengelola perbedaan. Demokrasi yang matang tidak meniadakan konflik, tetapi menyalurkannya dengan cara beradab. Ketika debat politik berlangsung tanpa kebencian, ketika kompetisi berlangsung tanpa kekerasan, dan ketika hasil pemilu diterima dengan lapang dada, maka bangsa itu telah naik kelas dalam demokrasi.
Afifuddin menyebut hal ini sebagai demokrasi yang beradab — demokrasi yang tidak kehilangan ruh kemanusiaannya. Dalam demokrasi yang beradab, kemenangan tidak membuat sombong, dan kekalahan tidak melahirkan dendam. Sebab semua sadar bahwa yang dimenangkan bukan partai, melainkan bangsa itu sendiri.
Kedewasaan ini perlu dipupuk terus-menerus, terutama di era digital ketika percakapan publik mudah tersulut oleh emosi. Pendidikan politik yang menekankan etika dan empati menjadi bagian penting dari agenda demokrasi. Rakyat yang gembira adalah rakyat yang berilmu, karena mereka memahami bahwa berbeda pilihan tidak berarti berbeda cita-cita.
Demokrasi yang Menyembuhkan
Demokrasi yang dirayakan bukan berarti tanpa kritik, tetapi mampu menampungnya tanpa benci. Ia adalah sistem yang menyembuhkan luka sosial, bukan menambahnya. Dalam setiap pemilu, kita diuji bukan hanya dalam memilih, tetapi juga dalam menerima. Bukan hanya dalam berbicara, tetapi juga dalam mendengar.
Bila pesta demokrasi dijalankan dengan jujur, damai, dan terbuka, maka hasilnya bukan sekadar pemerintahan yang sah, tetapi juga masyarakat yang lebih dewasa. Demokrasi yang dirayakan adalah demokrasi yang menumbuhkan — menumbuhkan kepercayaan, kebersamaan, dan rasa cinta terhadap negeri.
Karena pada akhirnya, kegembiraan politik adalah tanda bahwa rakyat tidak lagi takut pada perbedaan. Mereka tahu, dalam keberagaman pilihan, tersimpan satu tujuan yang sama: menjaga Indonesia tetap utuh, adil, dan gembira.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
