CM Corner
Beranda » Berita » Dari Kertas ke Layar: Masa Depan Digitalisasi Pemilu Indonesia

Dari Kertas ke Layar: Masa Depan Digitalisasi Pemilu Indonesia

Ilustrasi Gambar Surat Suara
Ilustrasi Gambar Surat Suara

SURAU.CO – Di tengah gelombang transformasi digital yang melanda hampir seluruh aspek kehidupan, pemilu Indonesia masih berdiri di persimpangan: antara kertas dan layar, antara tradisi dan inovasi. Pemilu 2024 menjadi tonggak penting karena untuk pertama kalinya teknologi digital seperti Sirekap (Sistem Informasi Rekapitulasi) digunakan secara luas dalam proses penghitungan suara. Namun, alih-alih menuai pujian, Sirekap justru menuai kritik tajam akibat sejumlah kesalahan pembacaan data, gangguan sistem, dan krisis kepercayaan publik.

Kegagalan Sirekap bukan sekadar soal teknis, melainkan persoalan kepercayaan terhadap sistem demokrasi itu sendiri. Data KPU menunjukkan bahwa dari 823.000 TPS yang menggunakan Sirekap, lebih dari 9% mengalami gangguan input dan verifikasi hasil. Dalam berbagai laporan media dan temuan pemantau independen, muncul kasus di mana sistem membaca angka secara keliru karena kesalahan Optical Character Recognition (OCR) dan Optical Mark Recognition (OMR). Hasilnya, publik yang semula berharap pada transparansi digital justru menghadapi paradoks baru: teknologi yang dimaksudkan untuk meningkatkan akuntabilitas malah memunculkan kecurigaan baru.

Pelajaran dari Sirekap dan Pengalaman Global

Gagalnya Sirekap menegaskan bahwa digitalisasi pemilu bukan sekadar soal perangkat lunak, melainkan soal governance of technology. Indonesia seolah melangkah terlalu cepat tanpa memastikan kesiapan infrastruktur dan kapasitas sumber daya manusia di lapangan. Banyak petugas KPPS di daerah mengaku tidak memahami cara kerja sistem, sementara jaringan internet yang tidak stabil di daerah pedalaman menyebabkan keterlambatan unggahan data. Dalam konteks ini, digitalisasi menjadi beban tambahan, bukan solusi.

Jika kita menengok ke luar negeri, pelajaran serupa dapat ditemukan. Kenya, misalnya, sempat mengalami krisis politik setelah sistem electronic transmission of results mereka gagal pada pemilu 2017. Begitu pula Pakistan pada 2021, yang harus menarik kembali penggunaan sistem electronic voting machine setelah ditemukan celah keamanan dan lemahnya validasi publik. Kedua negara kemudian menyadari bahwa digitalisasi pemilu tidak bisa diterapkan tanpa audit terbuka, keterlibatan publik, dan uji keamanan berlapis.

Indonesia tampaknya belum belajar sepenuhnya dari pengalaman global ini. Alih-alih menjadikan teknologi sebagai alat bantu, kita justru terjebak pada euforia digital—menjadikan modernisasi sebagai simbol kemajuan, bukan instrumen kepercayaan. Padahal, sebagaimana teori technological trust menjelaskan, kepercayaan terhadap teknologi bukan dibangun dari kecanggihannya, melainkan dari transparansi, konsistensi, dan partisipasi publik dalam pengawasan.

Saat Tidak Ada yang Melihat, Allah Tetap Mengawasi

Antara Modernisasi dan Legitimasi Demokrasi

Digitalisasi pemilu seharusnya menjembatani kecepatan dan keandalan, bukan menggantikan prinsip kehati-hatian. Demokrasi digital bukan hanya soal mengganti tinta dengan layar, tetapi memperluas ruang partisipasi warga. Dalam konsep cyber-democracy, teknologi berperan untuk memperkuat keterlibatan publik, bukan sekadar mempercepat proses administratif.

Namun di Indonesia, kebijakan digitalisasi pemilu masih bergerak dari atas ke bawah. Lembaga penyelenggara mengembangkan sistem secara internal tanpa uji publik atau open-source review. Akibatnya, publik tidak memperoleh cukup informasi tentang cara kerja sistem, dan potensi kesalahan atau manipulasi data sulit diawasi secara independen. Ketertutupan ini menciptakan paradoks bagi demokrasi yang berasaskan keterbukaan.

Dalam teori digital governance, keberhasilan inovasi teknologi di sektor publik bergantung pada empat faktor: transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keandalan. Sayangnya, digitalisasi pemilu Indonesia baru mencapai dua hal: kecepatan dan efisiensi. Dua faktor lain—transparansi dan akuntabilitas—masih tertinggal. Tanpa keduanya, teknologi pemilu hanya menjadi ornamen modernitas tanpa ruh demokrasi.

Membangun Kepercayaan Teknologi: Audit dan Keterbukaan

Langkah ke depan harus dimulai dari pengakuan bahwa kepercayaan publik tidak bisa dipaksakan. KPU dan Bawaslu perlu membuka audit teknologi independen bagi kampus, komunitas keamanan siber, dan masyarakat sipil. Audit publik bukan formalitas, tetapi mekanisme untuk memastikan sistem digital bebas dari celah manipulasi dan bias algoritmik.

Selain itu, sistem digital seperti Sirekap perlu diubah menjadi platform open-source agar publik dapat menguji dan mengawasinya. Negara seperti Estonia dan Kanada telah membuktikan bahwa keterbukaan kode sumber justru menguatkan kepercayaan publik karena siapa pun dapat memverifikasi keandalannya. Transparansi bukan ancaman bagi penyelenggara, tetapi investasi kepercayaan jangka panjang.

Berbakti kepada Orang Tua Meski Telah Tiada

Untuk memperkuat itu, KPU harus merombak pelatihan petugas. Literasi digital penyelenggara harus menjadi syarat utama. Teknologi tanpa kesiapan manusia hanya menciptakan technological gap—jurang antara rancangan ideal dan kondisi lapangan. Sistem canggih tidak akan berguna jika operatornya tidak siap.

Dari Euforia ke Evolusi

Digitalisasi pemilu bukan tujuan akhir, tetapi proses pembelajaran. Dari kertas ke layar, demokrasi digital Indonesia masih melalui jalan panjang. Sirekap boleh gagal, tetapi kegagalan itu seharusnya menjadi guru, bukan kambing hitam. Demokrasi yang matang adalah demokrasi yang berani belajar dari kesalahan—yang memahami bahwa teknologi bukan pengganti integritas, tetapi cermin transparansi kita.

Ke depan, pemilu digital hanya akan bermakna jika tata kelolanya terbuka, akuntabel, dan partisipatif. Demokrasi tidak boleh dikurbankan demi kecepatan. Dalam politik, seperti dalam teknologi, yang terpenting bukan seberapa cepat kita sampai, tetapi seberapa bisa kita dipercaya sepanjang perjalanan.

 

Oleh : Dewan Redaksi

Lapangan Penuh Kenangan: Doa yang Pernah Dititipkan


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.