CM Corner
Beranda » Berita » Ketika Integritas Menjadi Formalitas: Menakar Efektivitas DKPP

Ketika Integritas Menjadi Formalitas: Menakar Efektivitas DKPP

Gambar Ilustrasi
Ketika Integritas Menjadi Formalitas

SURAU.CO – Di tengah hiruk-pikuk demokrasi elektoral Indonesia, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sering tampil sebagai penjaga terakhir integritas moral penyelenggara pemilu. Namun, pada Pemilu 2024, sorotan publik justru mengarah pada efektivitas lembaga ini sendiri. Kasus pelanggaran etik yang menjerat pimpinan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan sanksi ringan berupa peringatan keras terakhir menimbulkan pertanyaan mendasar. Apakah integritas dalam demokrasi kita masih substansial, atau telah menjadi sekadar formalitas yang dijalankan untuk memenuhi prosedur?. Seperti kata pepatah, aturan tanpa ketegasan ibarat pagar yang hanya untuk pajangan.

Kronologi dan Krisis Kepercayaan

Data evaluasi DKPP menunjukkan bahwa pada tahun 2024, sejumlah kasus etik yang melibatkan penyelenggara pemilu baik di tingkat pusat maupun daerah meningkat dibandingkan periode sebelumnya. Beberapa di antaranya menyoroti dugaan intervensi pimpinan KPU terhadap proses verifikasi faktual partai politik dan konflik kepentingan yang melibatkan anggota Bawaslu daerah. Meskipun telah diproses secara etik, hasil akhirnya kerap berujung pada sanksi administratif ringan. Akibatnya, publik melihat lembaga etik ini bukan sebagai penegak moral, melainkan sekadar pemberi teguran simbolik.

Dalam laporan Evaluasi Pengawasan Pemilu 2024 oleh DKPP sendiri, disebutkan bahwa penegakan etik menghadapi tantangan kelemahan bukti, tumpang tindih regulasi, dan resistensi institusional terhadap transparansi. Sementara itu, persepsi publik terhadap independensi DKPP pun melemah, terutama setelah beberapa keputusannya dianggap tidak konsisten dengan prinsip accountability dan proportional justice yang menjadi roh lembaga etik.

Analisis: Efek Jera yang Absen

Jika integritas adalah mata uang demokrasi, maka sanksi etik adalah cara negara menjaga nilainya agar tidak terdepresiasi. Namun, sistem etik pemilu Indonesia gagal menciptakan efek jera yang nyata. Menurut temuan penelitian DPR RI dan laporan masyarakat sipil, sebagian besar pelanggaran etik diulang oleh aktor dan pola yang sama—dari manipulasi verifikasi, keberpihakan, hingga pelanggaran netralitas. Sanksi yang lebih banyak bersifat moral dan administratif tidak cukup untuk menegakkan norma etik sebagai kekuatan korektif.

Dalam kerangka teori institutional trust, kepercayaan publik terhadap lembaga etik bergantung pada dua hal: konsistensi dan transparansi. Konsistensi berarti setiap pelanggaran, sekecil apa pun, diproses dengan standar yang sama tanpa melihat posisi atau jabatan pelaku. Transparansi berarti proses etik dilakukan secara terbuka dan dapat diuji oleh publik. Sayangnya, dalam praktik DKPP, kedua prinsip ini sering dikompromikan oleh pertimbangan politik dan prosedural.

Membuat Agama Islam Seperti Gado Rasa Nusantara

Demokrasi dan Akuntabilitas Normatif

Teori normative accountability dalam studi tata kelola demokrasi menekankan bahwa legitimasi lembaga publik tidak hanya berasal dari legalitas tindakan, tetapi dari kesetiaan moral terhadap nilai yang diembannya. DKPP, sebagai lembaga etik, seharusnya menjadi simbol keadilan normatif dalam ekosistem kepemiluan. Namun, ketika pelanggaran berat hanya berujung pada peringatan, nilai moral etik itu kehilangan daya simboliknya.

Di banyak negara demokrasi maju, seperti Korea Selatan dan Kanada, pelanggaran etik oleh penyelenggara pemilu dapat berujung pada pencopotan jabatan atau larangan menduduki posisi publik selama periode tertentu. Mekanisme ini menciptakan deterrent effect yang kuat—sesuatu yang absen dalam tata kelola etik di Indonesia. Akibatnya, penyelenggara pemilu di sini lebih takut pada opini publik ketimbang sanksi etik formal.

Antara Integritas dan Kekuasaan

Dari sudut pandang filosofis, demokrasi tanpa etika adalah tubuh tanpa jiwa. Penegakan kode etik bukan sekadar urusan hukum administrasi, tetapi soal menjaga roh demokrasi itu sendiri. DKPP tidak bisa hanya menjadi institusi yang menunggu laporan; ia harus tampil sebagai agen moral yang aktif membentuk budaya integritas dalam penyelenggaraan pemilu. Namun, untuk mewujudkan itu, dibutuhkan perubahan paradigma—dari pendekatan reaktif menuju preventif, dari formalitas menuju substansi.

Salah satu langkah strategis adalah reformasi sistem sanksi yang menggabungkan dimensi etik, administratif, dan reputasional. Keputusan DKPP seharusnya tidak berhenti di meja sidang, tetapi menjadi bahan evaluasi publik yang berdampak pada karier penyelenggara. Selain itu, mekanisme public hearing atau citizen audit dapat menjadi inovasi untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap proses etik.
Penutup: Menyemai Integritas di Lembah Formalitas

 

Manfaat Memahami Makna Tauhid

Oleh : Dewan Redaksi


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.