Khazanah
Beranda » Berita » Banjir Sumatera: Antara Takdir dan Ulah Tangan Manusia

Banjir Sumatera: Antara Takdir dan Ulah Tangan Manusia

SURAU.CO. Bencana banjir menyapa wilayah saudara kita di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Air bah datang tanpa permisi. Arus deras menyapu rumah warga hingga rata dengan tanah. Ribuan keluarga kehilangan tempat berteduh dalam satu malam. Tangis pilu para pengungsi memecah keheningan malam yang dingin.

Kita sering melabeli peristiwa ini sebagai takdir Tuhan semata. Namun, kita perlu mengajukan pertanyaan kritis di balik genangan air keruh tersebut. Benarkah ini murni kehendak langit? Ataukah keserakahan manusia turut mengundang petaka ini datang?

Peringatan Al-Qur’an Tentang Kerusakan Lingkungan

Islam memandang musibah dari berbagai dimensi. Terkadang ia hadir sebagai ujian kesabaran. Namun, bencana juga sering muncul sebagai konsekuensi langsung dari tindakan kita. Al-Qur’an telah memberi peringatan keras dalam Surah Ar-Rum ayat 41:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ ۝٤١

Buah dari Kesabaran: Ketika Ujian Menjadi Jalan Menuju Kedewasaan

Latin: dhaharal-fasâdu fil-barri wal-baḫri bimâ kasabat aidin-nâsi liyudzîqahum ba‘dlalladzî ‘amilû la‘allahum yarji‘ûn

Arti: Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Ayat suci ini bagaikan cermin raksasa bagi kondisi Aceh dan Sumatera hari ini. Kita melihat hutan penyangga air semakin menipis. Gunung-gunung berdiri dengan luka menganga akibat aktivitas tambang, sementara para pengembang membangun gedung dan perumahan tanpa memperhatikan etika lingkungan.

Ketika penopang alam dirusak, tanah pun kehilangan kemampuan menyerap air. Hujan turun dan bumi yang terluka menolak menampungnya. Sungai meluap karena kehilangan jalur alaminya. Lembah yang dulu subur berubah menjadi danau dadakan. Lalu kita dengan mudah berkata, “Ini adalah musibah.” Padahal, tangan kitalah yang menulis undangan bagi bencana itu.

Ironi Pejabat di Tengah Derita Rakyat

Situasi semakin menyayat hati ketika melihat respon para pemangku kebijakan. Publik menyaksikan sebuah ironi besar yang sulit diterima akal sehat. Rakyat sedang bertaruh nyawa melawan arus banjir yang ganas. Namun, sebagian pejabat justru memilih pergi untuk ritual ibadah pribadi.

Sabar Menanti Pertolongan Allah

Kabar beredar tentang pejabat yang berangkat umroh saat daerahnya tenggelam. Mereka bersujud khusyuk di Tanah Suci. Sementara itu, tetangga dan warganya menggigil kedinginan di tenda pengungsian. Apakah beribadah itu salah? Tentu saja tidak. Tetapi agama menuntut kita memahami skala prioritas.

Islam mengajarkan empati sosial di atas ego spiritual pribadi. Nabi Muhammad Saw memberikan teguran keras dalam sebuah hadis masyhur:

“Bukanlah seorang mukmin orang yang kenyang sementara tetangganya lapar.” (HR. Bukhari)

Hadis ini berbicara tentang tetangga dalam lingkup kecil. Lantas, bagaimana tanggung jawab seorang pemimpin terhadap satu kabupaten yang sedang menderita? Tentu tanggung jawabnya jauh lebih berat di hadapan Allah Swt.

Memprioritaskan Kemanusiaan di Atas Ritual Sunnah

Ajaran Islam menempatkan nilai kemanusiaan pada posisi sangat tinggi. Menolong sesama manusia adalah bentuk ibadah nyata. Mengurus rakyat korban bencana hukumnya adalah fardhu ‘ain bagi seorang pemimpin. 

Duka Aceh dan Fenomena Selfie di Tengan Bencana

Sebaliknya, umroh adalah ibadah sunnah. Seorang pemimpin melakukan kesalahan fatal jika mendahulukan sunnah dan mengabaikan yang wajib. Ia tidak sedang mendekatkan diri kepada Tuhan dengan cara itu. Ia justru sedang lari dari amanah besar yang Tuhan titipkan di pundaknya.

Banjir Sumatera bukan sekadar fenomena alam biasa. Peristiwa ini adalah akumulasi dari krisis moral dan krisis ekologi. Hujan hanya menjalankan tugas alamiahnya untuk turun ke bumi. Manusialah yang gagal menjalankan tugasnya menjaga keseimbangan alam dengan membiarkan perusakan alam terjadi secara masif

Menagih Tanggung Jawab Moral Khalifah

Refleksi ini ingin membangkitkan kesadaran bersama bahwa Aceh dan Sumatera membutuhkan solusi nyata, bukan sekadar bantuan cepat saji. Pemerintah harus berani menindak para perusak lingkungan, sementara aparat hukum wajib menyeret pelaku pembalakan liar ke pengadilan.

Di saat yang sama, Aceh dan Sumatera memerlukan pemimpin yang benar-benar hadir—pemimpin yang tidak lari dari tanggung jawab kemanusiaan dan berani pasang badan demi rakyatnya. Karena meski kita bisa menyebut banjir sebagai takdir, memperparah dampaknya adalah pilihan manusia. Selama alam terus dirusak dan nurani kepemimpinan terus padam, rakyat akan terus menjadi korban yang sama dari kesalahan yang berulang.

Air bah memang akan segera surut, tetapi pertanyaan yang tersisa jauh lebih besar: apakah kesadaran kita akan tumbuh setelah ini, atau justru mengeras seperti lumpur bekas banjir? Tuhan telah memberi kita akal dan hati untuk menjadi khalifah di bumi—penjaga yang merawat, bukan perusak. (kareemustofa)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.