Ibadah
Beranda » Berita » Pejabat Umroh Saat Bencana: Krisis Empati Pemimpin Kita

Pejabat Umroh Saat Bencana: Krisis Empati Pemimpin Kita

SURAU.CO. Banjir bandang Galodo menerjang Aceh, Sumatera Barat dan Sumatera Utara tanpa permisi. Air bah itu datang merenggut harta benda warga dalam sekejap mata. Rumah hancur, ternak hanyut, dan ketenangan hidup warga setempat lenyap seketika. Mereka kini harus bertahan hidup di pengungsian dengan kondisi serba terbatas. Namun, di tengah tangis pilu para korban, sebuah kabar mengejutkan justru menyeruak ke permukaan. Seorang pejabat daerah memutuskan terbang ke Tanah Suci untuk ibadah umroh. Ia meninggalkan warganya yang sedang bertaruh nyawa melawan bencana.

Keputusan ini tentu memantik reaksi keras dari publik. Masyarakat bertanya-tanya tentang letak kepekaan sosial sang pemimpin. Pertanyaannya sederhana namun menohok: di mana nuraninya?

Absennya Simbol Harapan Rakyat

Kita harus memahami peran seorang pemimpin secara utuh. Pemimpin bukan hanya pemegang stempel kebijakan administratif tapi simbol harapan dan jangkar emosional bagi masyarakatnya. Kehadiran fisik seorang pemimpin di lokasi bencana memiliki dampak psikologis yang luar biasa besar. Warga akan merasa terlindungi dan diperhatikan.

Sebaliknya, ketidakhadiran pejabat saat krisis mengirimkan pesan negatif yang kuat. Absennya pemimpin menciptakan jarak moral yang lebar dengan rakyat. Hal ini bukan sekadar masalah teknis atau logistik bantuan. Ini adalah masalah hati dan rasa.

Duka Aceh dan Fenomena Selfie di Tengan Bencana

Rasa sakit masyarakat semakin bertambah ketika melihat aktivitas media sosial pejabat tersebut. Foto-foto mengenakan pakaian ihram atau berdoa khusyuk di depan Ka’bah bertebaran di lini masa. Tampilan kesalehan pribadi ini terasa kontradiktif dengan realitas di lapangan. Rakyat sedang bergelut dengan lumpur, sementara pemimpinnya menikmati kenyamanan spiritual di tempat jauh. Ironi ini seolah membangun tembok tebal antara penderitaan warga dan agenda pribadi sang pejabat.

Tinjauan Agama: Fardhu Kifayah vs Sunnah

Islam mengajarkan keseimbangan antara hubungan dengan Allah Swt dan hubungan sesama manusia. Ibadah ritual tidak boleh menafikan tanggung jawab sosial. Umroh memang ibadah mulia. Namun, status hukumnya adalah sunnah. Sementara itu, menyelamatkan dan melindungi rakyat yang tertimpa musibah adalah kewajiban mutlak.

Dalam kondisi tertentu, kewajiban ini bisa naik derajatnya menjadi fardhu ‘ain. Hal ini berlaku ketika hanya pemimpin tersebut yang memiliki otoritas penuh untuk mengambil keputusan vital. Para ulama klasik memiliki pandangan tegas mengenai hal ini.

Imam ar-Ramli, Ibnu Hajar al-Haitami, dan Imam al-Qarafi menempatkan keselamatan nyawa manusia di atas ritual ibadah. Bahkan, ibadah wajib sekalipun bisa dikesampingkan demi nyawa. Jika ibadah haji saja boleh kita tunda demi menolong orang tenggelam, apalagi ibadah umroh yang sifatnya sunnah?

Konteks darurat mengubah skala prioritas agama secara total. Tugas utama pemimpin saat banjir besar melanda adalah hadir total untuk rakyatnya. Meninggalkan warga demi ibadah sunnah adalah kekeliruan dalam memahami fiqh awlawiyat (fikih prioritas).

Kajian Tentang Ikhlas dari Para Ulama

“Pengkhianatan” Terhadap Amanah Jabatan

Masyarakat Aceh sangat menjunjung tinggi nilai solidaritas dan kebersamaan. Tindakan pejabat yang memilih pergi umroh saat bencana terasa seperti sebuah pengkhianatan moral. Masalah utamanya bukan pada ibadahnya, melainkan pada ketepatan waktunya.

Masyarakat melihat fenomena ini sebagai bentuk pengabaian. Coba bayangkan perbandingan kontras itu. Rakyat tidur berdesakan di tenda pengungsian yang becek dan dingin. Sementara itu, pejabat mereka tidur nyenyak di hotel berbintang di Makkah. Bagaimana mungkin perjalanan spiritual pribadi menjadi lebih penting daripada nasib ratusan keluarga yang menderita?

Imam al-Mawardi dalam kitabnya menegaskan tentang etika kepemimpinan. Salah satu kewajiban asasi seorang pemimpin adalah hirasat ad-din wa siyasat ad-dunya (menjaga agama dan mengatur urusan dunia). Melindungi rakyat dan menjamin hak mereka adalah inti dari jabatan. Jabatan adalah amanah berat, bukan fasilitas untuk mengejar kesalehan pribadi semata.

Integritas yang Dipertanyakan

Kabar bahwa izin resmi pejabat tersebut ditolak karena status darurat bencana semakin memperkeruh suasana. Jika benar ia tetap berangkat, ini menunjukkan masalah integritas yang serius. Ketidakpatuhan ini bukan hanya pelanggaran administrasi negara. Ia juga merupakan cacat moral dan spiritual dalam pandangan agama.

Banjir Galodo menjadi ujian nyata bagi kualitas kepemimpinan daerah tersebut. Umat mungkin bisa memaafkan kesalahan teknis dalam penanganan banjir. Namun, mereka akan sangat sulit memaafkan hilangnya rasa empati. Kesalehan ritual tidak akan pernah bisa menggantikan tanggung jawab sosial yang terbengkalai.

Hukum Shalat Berjamaah: Fardhu Ataukah Sunnah? Lengkap Dalil Dan Penjelasan

Kita semua berharap peristiwa ini memicu kesadaran baru. Ibadah tidak boleh menjadi alasan untuk lari dari amanah. Kehadiran pemimpin di tengah rakyat yang menderita adalah bentuk ibadah yang sangat tinggi nilainya. Sebelum menatap Ka’bah, tataplah dulu air mata rakyat yang sedang berjuang.(kareemustofa)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.