SURAU.CO – Dunia keuangan global masih menyimpan luka dalam dari krisis 1998 dan (terutama) 2008. Kepercayaan publik pada institusi keuangan dan prinsip ekonomi pasar terkikis. Skema derivatif kompleks, praktik spekulatif tak terkendali, dan bailout terhadap institusi “terlalu besar untuk gagal” meninggalkan trauma kolektif akan sistem yang rapuh dan tidak adil. Krisis ini, bagaimanapun, menjadi katalisator lahirnya terobosan teknologi yang mendasar: blockchain dan fintech.
Di tengah gelombang disrupsi digital ini, keuangan Islam (Islamic finance) memiliki peluang emas untuk tidak sekadar mengejar ketertinggalan, tetapi untuk memimpin dengan menawarkan paradigma yang berbeda. Buku “Blockchain, Fintech, and Islamic Finance: Building the Future in the New Islamic Digital Economy” karya Hazik Mohamed dan Hassnian Ali dengan gamblang memetakan pertemuan strategis antara nilai-nilai ekonomi Islam dan teknologi masa depan.
Krisis Kepercayaan dan Lahirnya Teknologi “Trustless”
Krisis 1998 dan (terutama) 2008 pada hakikatnya adalah krisis kepercayaan (trust). Blockchain, teknologi di balik Bitcoin, lahir sebagai jawaban atas krisis ini. Dalam surah Al-Baqarah ayat 30, Allah berfirman:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, ‘Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.”
Sebagai khalifah, manusia memegang amanah untuk mengelola bumi dengan adil dan jujur. Blockchain, dengan sifatnya yang terdesentralisasi, transparan, dan kekal (immutable), pada dasarnya adalah alat teknis untuk menegakkan amanah tersebut dalam transaksi ekonomi. Ia menciptakan sistem “trustless” bukan tanpa kepercayaan, tetapi kepercayaan tidak lagi diletakkan pada satu otoritas sentral yang rentan manipu-lasi, melainkan pada matematika, kriptografi, dan konsensus jaringan yang terbuka. Dua pihak yang tak saling kenal dapat bertransaksi dengan aman, mengurangi ruang bagi kecurangan (gharar) dan ketidakpastian yang dilarang dalam Islam.
Keselarasan Prinsip: Bukan Kebetulan, Melini Takdir
Keselarasan antara prinsip ekonomi Islam dan fintech/blockchain sungguh menakjubkan dan seolah bukan sekadar kebetulan.
- Transparansi vs Keterbukaan Ledger: Prinsip keadilan (‘adl) dan larangan gharar menuntut transparansi. Blockchain menyediakan buku besar (ledger) terdistribusi yang dapat diverifikasi semua pihak, menghilangkan asimetri informasi.
- Berbagi Risiko (Risk-Sharing) vs Kontrak Cerdas (Smart Contracts): Ekonomi Islam idealnya dibangun di atas mudharabah dan musyarakah (bagi hasil dan usaha patungan), bukan utang-piutang berbunga (riba). Smart contract pada blockchain dapat mengotomatisasi dan mengeksekusi kontrak bagi hasil secara adil, transparan, dan tanpa intervensi, memungkinkan model risk-sharing yang sejati diterapkan pada skala mikro sekalipun.
Aset Riil (Backed by Assets) vs Tokenisasi: Transaksi Islam harus terkait dengan aset atau jasa riil. Teknologi tokenisasi pada blockchain memungkinkan pecahan kepemilikan aset riil (properti, emas, komoditas) menjadi aset digital (token), meningkatkan likuiditas dan akses investasi untuk masyarakat luas.
- Inklusi Keuangan vs Fintech: Salah satu maqashid syariah adalah melindungi harta (hifzh al-mal). Fintech, melalui dompet digital, crowdfunding, dan pinjaman peer-to-peer (P2P), berpotensi mendemokratisasi akses keuangan bagi 1.7 miliar Muslim yang masih unbanked atau underbanked, memberdayakan UMKM dan proyek sosial.
Teknologi ini berpotensi mengembalikan keuangan Islam pada khittahnya: menjadi sistem yang inklusif, berkeadilan, dan berbagi risiko, bukan sekadar replika konvensional yang “dihalalkan”.
Panggilan Sejarah: Kembali ke Tradisi Inovasi
Inovasi teknologi untuk kemanusiaan sesungguhnya adalah tradisi keemasan Islam. Buku ini mengingatkan kita pada kontribusi Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi (780-850 M), Bapak Aljabar dan Algoritma. Kata “algoritma” sendiri berasal dari namanya. Karyanya, Al-Jabr wa al-Muqabalah, menjadi fondasi matematika modern. Dalam pendahuluan bukunya, Freedman (2006) bahkan menyebut al-Khawarizmi sebagai “bapak dan perintis revolusi teknologi.”
Kita, sebagai generasi penerus, terpanggil untuk menghidupkan kembali semangat inovasi ini di era digital. Fintech Islam bukanlah pengingkaran, melainkan kesinambungan dari warisan keilmuan yang memadukan etika, keadilan, dan kemajuan teknis untuk kemaslahatan umat.
Peta Jalan dan Tantangan Ekonomi Islam Digital
Ini memaparkan perkembangan fintech Islam yang masih bayi namun menjanjikan. Platform seperti EthisCrowd (crowdfunding properti syariah), Blossom Finance (microfinance berbasis blockchain), Wahed Invest (robo-advisor syariah pertama), dan Beehive (P2P lending syariah) adalah pionir. Negara-negara seperti Malaysia, Bahrain, Uni Emirat Arab, dan Brunei telah memimpin dengan membuat “regulatory sandbox” untuk mendukung inovasi. Indonesia (semoga) segera menyusul.
Namun, tantangan masih besar:
- Regulator harus menciptakan kerangka regulasi yang adaptif dan mendukung inovasi, terutama untuk aset kripto dan token syariah.
- Literasi dan SDM: Kita membutuhkan generasi baru yang menguasai fiqh muamalah, teknologi blockchain, dan ekonomi digital sekaligus. Ulama dan ahli syariah perlu “melek teknologi” untuk memberikan fatwa yang kontekstual.
- Standardisasi: Kategori dan penggunaan crypto assets (mata uang kripto/koin, utility token, security token, dll) sangat beragam. Kita/Para ahli/pemangku kepentingan memerlukan pedoman syariah yang jelas dan spesifik untuk setiap jenisnya, mengingat status hukumnya bisa berbeda-beda.
- Kolaborasi, Bukan Kompetisi: Buku ini menekankan bahwa masa depan adalah kolaborasi antara bank syariah tradisional dan startup fintech. Bank menyediakan kepercayaan, jaringan, dan modal, sementara startup menyumbang inovasi, kecepatan, dan model bisnis yang lincah.
Menuju Masa Depan: Ekonomi Islam yang Terdesentralisasi dan Berdaulat
Blockchain dan fintech bukan sekadar alat efisiensi. Mereka adalah infrastruktur untuk membangun “ekonomi Islam digital” yang baru—sebuah ekosistem yang lebih adil, inklusif, dan mandiri. Bayangkan:
● Wakaf Digital: Pengelolaan wakaf yang transparan dan akuntabel melalui blockchain, memungkinkan umat dari seluruh dunia berkontribusi dan melacak dampaknya secara real-time.
● Sukuk Global Berbasis Blockchain: Penerbitan dan perdagangan sukuk yang lebih cepat, murah, dan menjangkau investor ritel secara global.
● Mata Uang Digital Negara (CBDC) Berbasis Syariah: Otoritas di negara-negara Muslim dapat mempelajari Central Bank Digital Currency (CBDC) yang memenuhi prinsip syariah, mengurangi ketergantungan pada sistem keuangan global yang rentan krisis.
Tantangannya nyata, tetapi peluangnya jauh lebih besar. Buku ini menyampaikan bahwa era digitalisasi telah tiba. Keuangan Islam memiliki pilihan: beradaptasi, berinovasi, dan memimpin—atau terperangkap dalam zona nyaman hingga akhirnya tertinggal dan usang. Momentum ini adalah panggilan bagi kita semua: regulator, akademisi, pelaku industri, dan kaum muda Muslim untuk bersama-sama membangun masa depan ekonomi Islam yang digital, berdaulat, dan sejalan dengan maqashid syariah: menegakkan keadilan, kemaslahatan, dan kesejahteraan bagi semua. Wallahu a’lam bish shawab. (Inayatullah A. Hasyim: Ketua Lembaga Amil Zakat Nasional (LAZNAS) Islamic Relief Indonesia)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

