CM Corner
Beranda » Berita » KPU dan Tanggung Jawab Etis dalam Era Polarisasi Politik

KPU dan Tanggung Jawab Etis dalam Era Polarisasi Politik

Ilustrasi Gambar KPU
Ilustrasi Gambar KPU

SURAU.CO – Dalam atmosfer politik yang kian terbelah, menjaga kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu menjadi pekerjaan paling rumit sekaligus paling krusial. Komisi Pemilihan Umum (KPU), sebagai wasit demokrasi, kini berdiri di persimpangan antara profesionalitas teknis dan tanggung jawab etis. Di satu sisi, ia dituntut menjalankan prosedur secara tepat waktu dan sah; di sisi lain, ia harus menjaga moralitas demokrasi agar tetap netral di tengah derasnya arus polarisasi. Tantangan ini bukan hanya soal administrasi, tetapi soal legitimasi moral—sebuah ujian bagi keberlanjutan demokrasi itu sendiri.

Polarisasi dan Erosi Kepercayaan Publik

Pemilu 2024 menegaskan bahwa demokrasi Indonesia kini berada di fase polarisasi akut. Media sosial, yang seharusnya menjadi ruang deliberatif publik, justru memperuncing segregasi politik berbasis identitas. Menurut survei Indikator Politik (2024), 47% masyarakat menilai media sosial memperburuk konflik antarpendukung pasangan calon. Dalam konteks ini, KPU bukan hanya berhadapan dengan tantangan teknis, tetapi juga psikologis—bagaimana membangun rasa percaya di tengah publik yang curiga.

Data dari Lembaga Survei CSIS (2024) menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap KPU di kalangan pemilih muda hanya mencapai 75,1%. Angka tersebut menurun dibandingkan pemilu sebelumnya. Fenomena ini menunjukkan bahwa di tengah arus disinformasi, netralitas formal tidak lagi cukup. Yang diuji bukan hanya kejujuran prosedural, tetapi kejujuran moral. pada titik ini kemudian muncul pertanyaan, apakah KPU benar-benar dapat menjaga jarak yang adil dari seluruh kontestan.

Tantangan Menjaga Imparsialitas di Era Disinformasi

Disinformasi mengaburkan garis antara kebenaran dan persepsi. Dalam konteks penyelenggaraan pemilu, rumor kecil dapat berubah menjadi krisis kepercayaan nasional. Laporan Digital Democracy Review (2024) mencatat lebih dari 2.000 konten hoaks terkait KPU yang beredar selama masa kampanye, terutama mengenai manipulasi data dan afiliasi politik penyelenggara. Dalam situasi seperti ini, KPU menghadapi dilema ganda: KPU harus melawan hoaks tanpa memberikan kesan berpihak.

Mengacu pada teori public trust dari Bouckaert dan Van de Walle (2003), kepercayaan publik terhadap lembaga negara bergantung pada dua hal: competence dan integrity. KPU menunjukkan kompetensinya melalui pemutakhiran DPT dan penyederhanaan logistik pemilu, tetapi publik terus menggugat integritasnya ketika KPU tidak melakukan komunikasi publik secara proaktif. Dalam dunia yang didominasi persepsi, masyarakat dapat menafsirkan diam sebagai bentuk kesalahan.

Fintech: Peluang Emas untuk Ekonomi Islam Digital

Imparsialitas, dalam konteks ini, menuntut KPU untuk tidak hanya netral secara politik, tetapi juga tidak abai secara moral. Ketika rumor menyebar tanpa kendali, KPU harus berperan sebagai komunikator demokrasi yang aktif menjelaskan, mengklarifikasi, dan merawat kepercayaan publik secara terbuka.

Moral Responsibility dalam Administrasi Publik

Secara teoritis, tanggung jawab etis KPU dapat dijelaskan melalui konsep moral responsibility in public administration yang dikemukakan oleh Dwight Waldo dan Terry L. Cooper. Menurut mereka, birokrat publik bukan hanya pelaksana hukum, tetapi juga agen moral yang menanggung konsekuensi etis dari setiap keputusan. Dalam konteks kepemiluan, setiap kebijakan KPU bukan hanya berdampak pada hasil politik, tetapi juga pada legitimasi sosial sistem demokrasi.

Misalnya, kebijakan digitalisasi Sirekap yang sempat menimbulkan kontroversi menunjukkan bahwa inovasi teknologi tanpa pertimbangan etis dapat menimbulkan krisis kepercayaan. KPU perlu memastikan bahwa setiap kebijakan berbasis teknologi disertai dengan transparansi dan mekanisme audit publik. Dalam hal ini, ethical governance menjadi landasan agar efisiensi tidak mengorbankan integritas.

Selain itu, etika publik juga berkaitan dengan kepekaan sosial. KPU tidak bisa bekerja dalam menara gading administratif. Ia harus memahami dinamika politik dan emosi publik. Setiap tindakan yang terlihat tertutup atau lamban direspons akan dengan cepat dimaknai sebagai keberpihakan. Padahal, kejujuran moral sering kali lebih meyakinkan daripada klaim netralitas prosedural.

Membangun Kepercayaan Melalui Transparansi dan Kolaborasi

Untuk memulihkan dan menjaga kepercayaan di era polarisasi, KPU harus menata ulang paradigma komunikasinya. Pertama, KPU perlu memperkuat transparansi publik dengan cara beralih dari komunikasi yang reaktif ke komunikasi yang proaktif. KPU harus menjelaskan setiap kebijakan, perhitungan suara, dan mekanisme koreksi dengan bahasa yang mudah dipahami publik. KPU dapat menerapkan model open data seperti Komisi Pemilihan Umum Filipina agar publik dapat mengakses dan memverifikasi data perhitungan suara secara real-time.

Fatwa Ulama Tentang Nasyid Islamy (II)

Kedua, KPU harus membangun kolaborasi strategis dengan organisasi masyarakat sipil (CSO), lembaga akademik, dan media independen untuk menciptakan integrity circle—lingkaran pengawasan yang bersama-sama menumbuhkan kepercayaan publik. KPU perlu memposisikan CSO bukan sebagai pengganggu, tetapi sebagai mitra dalam menjaga etika dan akuntabilitas pemilu.

Ketiga, KPU harus menginternalisasi nilai-nilai etika publik dalam pelatihan SDM. KPU perlu menekankan bukan hanya pemahaman terhadap peraturan. Lebih dari itu, juga perlu pemahaman atas makna moral di baliknya. Karena seperti yang diingatkan Max Weber, birokrasi tanpa etika berpotensi melahirkan rasionalitas tanpa jiwa.

Etika sebagai Nafas Demokrasi

Demokrasi bukan hanya soal menghitung suara, tetapi tentang menghormati martabat setiap warga yang memberikan suara itu. Di tengah polarisasi politik dan banjir disinformasi, KPU dituntut bukan hanya bekerja benar, tetapi juga terlihat benar. Sebab, kepercayaan publik adalah oksigen bagi demokrasi; tanpa itu, seluruh mekanisme pemilu akan kehilangan ruhnya.

Dalam situasi seperti sekarang, tanggung jawab etis KPU menjadi tiang penopang yang menentukan apakah demokrasi kita akan tumbuh atau runtuh. Di era ketika suara paling nyaring sering menenggelamkan kebenaran, KPU harus tampil sebagai penyeimbang moral. KPU perlu memastikan akal sehat tetap memiliki ruang di tengah hiruk-pikuk politik. Sebab pada akhirnya, etika bukan hanya pelengkap demokrasi—ia adalah jantungnya.

 

KPU di Mata Pemilih Muda: Kredibilitas yang Perlu Diperbarui


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement