CM Corner
Beranda » Berita » KPU di Mata Pemilih Muda: Kredibilitas yang Perlu Diperbarui

KPU di Mata Pemilih Muda: Kredibilitas yang Perlu Diperbarui

Ilustrasi Gambar KPU di Mata Pemilih Muda
Ilustrasi Gambar KPU di Mata Pemilih Muda

SURAU.CO – Survei CSIS awal 2024 mencatat kepercayaan pemilih muda pada KPU hanya 75,1 persen. Angka ini memang lebih tinggi dari DPR (56,5 persen), tetapi masih berada di bawah institusi seperti Kepresidenan dan TNI. Angka ini menjadi cermin bagi generasi digital yang tumbuh dalam lautan informasi, skeptis terhadap institusi formal, dan menuntut transparansi yang tak bisa lagi dijawab dengan jargon birokratis. Di mata Gen Z, KPU bukan sekadar lembaga penyelenggara pemilu, melainkan simbol kredibilitas demokrasi itu sendiri.

Fenomena ini memperlihatkan pergeseran paradigma. Bagi generasi muda yang hidup di era algoritma dan scrolling, legitimasi tidak lagi dibangun melalui spanduk atau baliho, melainkan melalui konsistensi informasi dan interaksi di ruang digital. Mereka menilai bukan hanya hasil pemilu, tetapi juga cara KPU berkomunikasi, merespons isu, dan bersikap terhadap kritik. Ketika teknologi seperti Sirekap mengalami kegagalan publikasi data yang menimbulkan disinformasi massal pada Pemilu 2024, kepercayaan digital ini ikut tergerus. Krisis kepercayaan tersebut memperkuat kesan bahwa KPU masih beroperasi dalam logika analog di tengah masyarakat yang sepenuhnya digital.

Antara Kredibilitas dan Relevansi

Bagi pemilih muda, kepercayaan terhadap KPU tidak hanya soal netralitas politik, tetapi juga soal relevansi sosial. Survei CSIS menunjukkan mayoritas Gen Z mengonsumsi informasi politik melalui media sosial, terutama Instagram, TikTok, dan YouTube. Namun, gaya komunikasi KPU masih cenderung formal dan satu arah. Di sinilah letak paradoks: lembaga yang mengatur pesta demokrasi justru sering tertinggal dalam bahasa partisipasi digital.

Dalam teori participatory democracy, para ahli mengukur legitimasi politik dari tingkat keterlibatan warga dalam seluruh proses demokrasi. Mereka menilai bahwa warga harus merasa terlibat dan didengar, tidak hanya saat memberikan suara. Pemilih muda tidak ingin sekadar menjadi objek sosialisasi, melainkan subjek dalam percakapan demokrasi. Di sinilah KPU perlu menyesuaikan diri dengan prinsip digital citizenship. Ini menjadi konsep yang menekankan tanggung jawab, transparansi, dan kolaborasi warga negara dalam ruang digital.

Literasi Politik Digital: Antara Partisipasi dan Politisasi

Rendahnya kepercayaan sebagian Gen Z terhadap KPU muncul karena literasi politik digital mereka belum merata. Mereka aktif di ruang daring, tetapi banyak yang belum memiliki kemampuan kritis untuk memilah informasi politik yang benar. Kondisi ini membuat narasi sinis dan disinformasi tentang KPU cepat menyebar dan sulit dipatahkan. Oleh karena itu, kita harus memaknai literasi digital sebagai kemampuan teknis sekaligus kesadaran etik dan kritis dalam memahami proses demokrasi.

Ilmu Lebih Berharga Dari Harta: Inspirasi Parenting Dari Kisah Farrukh dan Rabi’ah

Menurut laporan Evaluasi Kinerja KPU Indonesia (2025), tantangan terbesar KPU ke depan bukan hanya efisiensi teknis, tetapi rekonstruksi kepercayaan generasional. Pemilih muda memiliki sensitivitas tinggi terhadap isu integritas dan transparansi. Keterlambatan klarifikasi, kesalahan data publikasi, atau komunikasi yang defensif dapat langsung memicu reaksi negatif di ruang digital. Bagi mereka, kredibilitas adalah performa yang harus ditunjukkan secara real-time.

Demokrasi di Era Layar Sentuh

Generasi muda memaknai demokrasi sebagai pengalaman sosial yang interaktif, bukan sekadar hak memilih. Mereka ingin demokrasi yang nyata, responsif, dan bisa dirasakan langsung. Anomali dalam rekapitulasi suara seperti pada Sirekap 2024 langsung menggerus kepercayaan mereka. Komunikasi KPU yang masih berupa infografis kaku di media sosial semakin memperkuat kesan bahwa demokrasi tertinggal dari ritme audiens digital.

KPU perlu bertransformasi dari sekadar manager of elections menjadi curator of trust. KPU harus mengelola bukan hanya suara, tetapi juga persepsi publik. Cara paling efektif untuk membangun kembali kredibilitas di mata pemilih muda yaitu menerapkan interactive transparency. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keterbukaan yang dikomunikasikan secara partisipatif dan adaptif. KPU dapat mengimplementasikan interactive transparency melalui live audit sistem penghitungan suara di kanal digital serta forum tanya jawab terbuka dengan penyelenggara daerah. KPU juga dapat berkolaborasi dengan kreator konten politik nonpartisan untuk memperkuat partisipasi publik.

Membangun Kepercayaan Ulang

PU memiliki peluang untuk memanfaatkan Pemilu 2029 sebagai momentum rebranding demokrasi digital. Langkah pertama menuntut KPU mereformasi pendekatan komunikasi publik. Hal ini berarti perlu beralih dari pola informasi satu arah menjadi keterlibatan dua arah. KPU perlu hadir di ruang digital bukan hanya untuk menyampaikan pengumuman, tetapi juga untuk memfasilitasi percakapan publik.

Selanjutnya, KPU dapat mengembangkan program literasi politik interaktif yang melibatkan micro-influencers lokal dan komunitas pemuda. Berbagai negara demokrasi baru seperti Korea Selatan dan Taiwan telah membuktikan efektivitas pendekatan ini dalam meningkatkan kepercayaan publik pada penyelenggara pemilu. Selain itu, KPU harus menjadikan transparansi berbasis media sosial sebagai norma baru. Artinya publik berhak mengikuti tidak hanya hasil akhir pemilu, tetapi juga setiap tahap verifikasi, rekapitulasi, dan penanganan sengketa secara terbuka.

Bain al-Qasrain: Cermin antara Kekuasaan dan Hasrat

Demokrasi Bukan Sekadar Prosedur

Kepercayaan menjadi mata uang politik yang paling berharga di era digital. Ketika pemilih muda menilai KPU kehilangan kredibilitas, ancamannya tidak hanya menimpa lembaga itu, tetapi juga merusak legitimasi demokrasi. Generasi yang tumbuh dengan real-time updates menuntut demokrasi yang tidak boleh terasa delay.

KPU harus membangun kredibilitas di abad ke-21 dengan menyeimbangkan kejujuran prosedural dan kecepatan komunikasi. Lembaga ini harus mengubah transparansi menjadi narasi harian yang dibangun bersama publik. Tidak hanya sekadar memberikan laporan tahunan yang periodik. Jika demokrasi ingin tetap hidup di layar ponsel generasi muda, KPU harus berbicara dengan bahasa mereka—jujur, cepat, dan manusiawi.

 

Oleh : Dewan Redaksi

Rahmat Pagi dan Kesadaran Hamba

Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement