Pendidikan
Beranda » Berita » Kasus Guru Mansur: Alarm Bahaya bagi Ekosistem Pendidikan Indonesia

Kasus Guru Mansur: Alarm Bahaya bagi Ekosistem Pendidikan Indonesia

SURAU.CO. Dunia pendidikan Indonesia kembali terguncang hebat. Nama Mansur, seorang guru berusia 53 tahun dari Kendari, mendadak mencuri perhatian publik setelah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kendari menjatuhkan vonis lima tahun penjara kepadanya pada Senin, 1 Desember 2025. Tuduhannya tidak main-main: jaksa mendakwa ia melakukan pelecehan terhadap siswi kelas tiga SD.

Publik pun bereaksi keras, terutama di tengah meningkatnya sensitivitas terhadap isu perlindungan anak. Namun di balik riuhnya opini dan derasnya tekanan sosial, kasus ini menyisakan perenungan panjang tentang seperti apa sebenarnya wajah pendidikan kita hari ini—rapuh, mudah curiga, dan kian jauh dari ruang dialog yang sehat.

Kronologi Guru Mansur Versi Penuntut Umum

Konflik bermula dari laporan orang tua yang tak terima putri mereka, yang baru berusia sembilan tahun, ada perlakuan tak wajar oleh gurunya. Sang anak mengaku pipinya diremas, kepalanya disentuh, dan dipanggil dengan sapaan yang membuatnya tidak nyaman. Cerita itu cepat menyebar dan akhirnya dibawa ke ranah hukum.

Jaksa Penuntut Umum kemudian memaparkan kronologi kejadian 8 Januari 2025: Mansur diduga menahan korban saat apel pagi, mendekatinya ketika kelas sepi, meremas pipinya, dan mencoba mencium bibirnya. Dalam ketakutan, sang anak mengirim pesan suara kepada ibunya: “Mama tolong saya, Pak guru mau cium saya.” Pesan itu menjadi pemantik yang menyeret kasus ini hingga masuk ruang persidangan.

Karya Tulis Ilmiah: Seni Menjaga Hati dalam Perspektif Psikologi Islam

Pembelaan Guru Mansur dan Kejanggalan Bukti

Tekanan publik membuat proses hukum bergerak cepat. Jaksa menuntut enam tahun penjara dan denda satu miliar rupiah, namun hakim menjatuhkan vonis lima tahun—sedikit lebih ringan dari tuntutan. Meski begitu, Mansur tetap membantah. Ia mengaku hanya memegang dahi siswanya untuk mengecek suhu dan menepuk bahu saat melerai gangguan antar teman—gestur yang menurutnya wajar di dunia pendidikan dasar.

Tim kuasa hukumnya juga menyoroti bukti visum yang tak pernah ditampilkan secara utuh di pengadilan. Mereka menduga ada bagian penting yang hilang. “Ada kejanggalan,” tegas pengacara saat mengajukan banding. Pertanyaan pun mengemuka: apakah ini benar penegakan hukum, atau justru bentuk kriminalisasi terhadap niat baik seorang guru?

Kasus Guru Mansur dan Pergeseran Budaya di Ruang Kelas

Terlepas dari benar atau salahnya vonis itu, Kasus Guru Mansur membuka luka besar: hubungan antara guru, murid, dan orang tua sedang retak. Dulu, orang tua menitipkan anak dengan kepercayaan penuh. Teguran guru dipahami sebagai bagian dari pembentukan karakter. Kini, ruang kelas berubah menjadi ruang penuh curiga.

Sebuah sentuhan bisa menjadi laporan, teguran bisa punya rekaman dan dijadikan alat bukti, dan kesalahpahaman kecil bisa menyeret guru ke pengadilan. Para pendidik pun mengajar dengan rasa takut. Mereka khawatir menyentuh murid, khawatir bertindak spontan, khawatir menjadi sasaran kemarahan orang tua.

Padahal, pendidikan membutuhkan kedekatan emosional. Sekolah bukan pabrik materi pelajaran, melainkan ruang interaksi manusia. Jika guru akhirnya apatis karena takut, maka siswa yang paling rugi—mereka kehilangan sosok pembimbing yang seharusnya hadir secara hangat dan manusiawi.

Mengajarkan Empati pada Anak Lewat Bab “Menyayangi Anak Yatim” dalam Riyadhu as-Salihin

Fenomena Viral dan Hilangnya Musyawarah

Masyarakat kita kini mengadopsi budaya baru yang mengkhawatirkan. Orang tua cenderung melapor sebelum bertanya, lebih percaya pada potongan video atau pesan suara daripada penjelasan sekolah. Cerita anak sering menjadi kebenaran mutlak, sementara ruang klarifikasi bagi guru makin menyempit.

Kita sepakat bahwa anak harus menjadi pusat pembelajaran, tetapi penafsiran yang berlebihan justru berbahaya. Anak bisa merasa menjadi “raja kecil” yang selalu benar dan anti tegur—mentalitas yang jelas merusak tumbuh kembang mereka.

Di saat yang sama, tradisi musyawarah makin pudar. Kearifan lokal yang dulu mengajarkan penyelesaian masalah dengan duduk bersama kini jarang dipraktikkan. Konflik sekolah cepat sepat selesai bila sampai ke ranah pidana, seolah menghukum lebih penting daripada memahami persoalan secara utuh.

Langkah Pembenahan yang Mendesak

Kasus ini harus menjadi cermin besar bagi kita semua bahwa ekosistem pendidikan kita sedang retak. Ada tiga langkah mendesak yang perlu ditempuh. Pertama, hidupkan kembali dialog—guru dan orang tua harus lebih banyak berbicara daripada melapor. Tidak semua masalah selesai di kepolisian; komunikasi jujur sering kali mampu mencegah kekeliruan fatal. Kedua, penegak hukum perlu menempatkan keadilan restoratif sebagai prioritas. Sekolah adalah ruang pemulihan karakter, bukan arena penghancur masa depan. Pendekatan hukum yang kaku sering merusak lebih banyak daripada memperbaiki. Ketiga, pemerintah harus menyeimbangkan perlindungan: anak wajib aman di sekolah, tetapi guru juga harus terlindungi dari kriminalisasi berlebihan. Batas antara pendisiplinan, perhatian, dan pelecehan harus jelas.

Jika kepercayaan terus runtuh, sekolah akan kehilangan ruhnya. Ia hanya menjadi bangunan tanpa jiwa, dan kasus serupa Mansur akan terus berulang, menimpa siapa pun yang berada di posisi rentan. Pertanyaannya: apakah kita sedang mendidik generasi yang beradab, atau justru menumbuhkan masyarakat yang hidup dalam ketakutan abadi? (kareemustofa)

Pendidikan Seksualitas Sejak Dini: Menjaga Pandangan dan Kemaluan Berbasis Riyadus Shalihin


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement