SURAU.CO – Kairo, awal abad ke-20. Seorang perempuan bernama Aminah terbangun di tengah malam, bukan oleh mimpi, melainkan oleh rutinitas yang telah menyatu dengan nadinya: menunggu suami pulang. Ia mendekati musharabiyah, jendela kayu berterali yang menjadi batas seluruh dunianya.
Dari sana, ia memandang jalan Bain al-Qasrain (Antara Dua Istana) yang sepi namun tak pernah mati. Dalam kesendirian itu, terkandung seluruh ironi kehidupannya: ia adalah penjaga rumah besar itu, sekaligus tahanan utamanya.
Novel Laboratorium Sosiologis
Adegan pembuka novel Najib Mahfuz ini bukan sekadar latar. Ia adalah alegori utuh tentang kekuasaan, ruang, dan gender. Musharabiyah mewakili batas yang tak terlihat: antara privat dan publik, antara yang halal dan yang haram, antara kesalehan dan hasrat. Perempuan di belakangnya hanya boleh melihat dunia sebagai fragmen-fragmen kecil, sementara lelaki di luarnya bebas menjelajah dua alam sekaligus.
Lelaki itu adalah Sayyid Ahmad Abdul Jawad. Siang hari, ia adalah pedagang terhormat, kepala keluarga yang otoriter, dan muslim yang taat secara ritual. Suaranya menggema dalam shalat subuh, namun juga dalam hardikan yang menggetarkan anak-istri. Ia adalah sultan kecil dalam “kerajaan” domestiknya.
Namun begitu malam tiba, ia bertransformasi: menjadi penggemar hiburan, perayu ulung, peminum, dan jiwa pesta yang dicintai banyak orang. Kekuasaannya tidak hanya atas rumah tangganya, melainkan juga atas diri sendiri yang ia belah dengan begitu sempurna.
Di sini, Mahfuz bukan sekadar menulis kisah keluarga. Ia membangun laboratorium sosiologis. Setiap karakter adalah prototipe zamannya. Aminah, dengan kepatuhan total dan ketakutan mistisnya pada jin, mewakili perempuan yang dibentuk oleh penjara tradisi. Kesalehannya naif, domestikasinya total, namun di atas loteng rumah di tengah ayam-ayam dan tanaman kecilnya ia menemukan secuil kedaulatan. Itulah seni Mahfuz: menunjukkan bagaimana yang tertindas tetap menemukan celah untuk “menjadi”.
Hipokrisi Yang Terstruktur
Anak-anak mereka adalah generasi peralihan yang terbelah. Yasin, si sulung, mewarisi nafsu ayahnya tanpa kendali moralnya. Fahmy, si idealis, sibuk dengan mimpi nasionalisme dan politik kemerdekaan sebuah pelarian dari otoritas ayah ke otoritas ideologi.
Khadijah, si pengatur rumah tangga yang sinis, menggunakan lidahnya yang tajam sebagai senjata. Aisyah, si cantik, larut dalam dunia nyanyian dan khayal romantis. Sementara Kamal, si bungsu, adalah sang pemikir awal terjepit antara dogma agama, teror patriarki, dan benih keraguan intelektual.
Pada hakikatnya, adalah eksplorasi tentang hipokrisi yang terstruktur. Sayyid Ahmad bukanlah orang munafik dalam pandangannya sendiri. Ia hidup dalam dua dunia yang ia anggap sah: dunia ketaatan publik dan dunia kenikmatan privat. Agama baginya bukanlah bimbingan batin yang menyeluruh, melainkan sistem aturan yang mengatur sebagian wilayah kehidupan sementara wilayah lainnya ia bebaskan. Ini adalah kritik halus Mahfuz terhadap formalisme keagamaan yang kosong dari transformasi ruhani.
Jalan Bain al-Qasrain sendiri adalah metafora yang cerdas. Ia terletak di antara dua istana kekuasaan masa lalu, sementara di sekitarnya hidup orang-orang yang terjepit antara tradisi dan modernitas. Suara azan dari menara Qalawun dan Barquq bersahutan dengan gelak tawa dari kedai-kedai gelap. Perang Dunia I menggelegar di kejauhan, mendatangkan tentara asing dan kelangkaan, namun ritme kehidupan dengan segala kemunafikannya terus berdenyut.
Membaca ulang karya ini di abad ke-21, kita menemukan bahwa sangkar-sangkar itu belum sepenuhnya runtuh. Bentuknya mungkin berubah: dari musharabiyah kayu menjadi ekspektasi sosial, dari otoritas patriarkal langsung menjadi otoritas sistemik yang tak kaku namun menggurita.
Hasrat dan Depresi
Pertanyaan yang diajukan Mahfuz tetap relevan: Bagaimana kita mendefinisikan kebebasan dalam batas-batas yang diberikan? Bagaimana kita menjalani ketaatan tanpa kehilangan integritas batin? Dan bagaimana kekuasaan baik di rumah tangga maupun di Negara selalu cenderung membelah diri antara wajah publik dan wajah privat?
Pada akhirnya, Bain al-Qasrain adalah kisah tentang hasrat dan represi. Hasrat akan kebebasan, pengakuan, cinta, dan makna yang dalam satu keluarga terkandung dalam bentuk yang berbeda-beda. Melalui mahakarya ini, Mahfuz mengajak kita melihat bahwa di balik dinding-dinding rumah yang kokoh dan topeng-topeng kesalehan, mengalir sungai hasrat manusiawi yang tak pernah benar-benar bisa dibendung.
Seperti Aminah yang tetap memandang jalanan dari celah musharabiyah ada kerinduan di sana. Kerinduan akan dunia yang lebih luas, yang meski ditakuti, tak pernah sepenuhnya hilang dari imajinasi. Di situlah mungkin letak harapannya: selama hasrat untuk memandang masih ada, pintu sangkar suatu saat mungkin akan terbuka atau setidaknya, terlihatlah cahaya dari celah-celahnya.
Terlepas dari segala kekurangannya, Najib Mahfuz memang berhak mendapat hadiah Nobel bidang sastera. Dan, hemat saya, novel Bain al-Qasrain jauh lebih bagus dibandingkan buku misalnya War and Peace karya Leo Tolstoy, atau Gone with the Wind karya Margareth Mitchell, bahkan karya peraih Nobel bidang sastera lainnya, Rabindranath Tagore, The Home and the World. Selamat membaca. Wallahua’lam bish showwab. (Inayatullah A. Hasyim: Ketua LAZNAS Islamic Relief Indonesia)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
