Layar kaca dan media sosial kita belakangan ini penuh dengan kebisingan. Masyarakat menyasikan berbagai pertunjukan ironi dari para pemegang kekuasaan. Berita tentang korupsi seolah menjadi menu sarapan harian kita. Pejabat publik sering kali mempertontonkan gaya hidup mewah di tengah kesulitan rakyat. Fenomena ini menandakan sebuah masalah besar yang sedang melanda bangsa kita. Kita sedang mengalami krisis keteladanan yang sangat parah Krisis Keteladanan Riyadus Shalihin
Masyarakat mulai kehilangan arah dalam mencari sosok panutan. Orang tua merasa kesulitan menunjuk figur publik yang layak menjadi contoh bagi anak-anak mereka. Kepercayaan publik terhadap integritas pemimpin perlahan mulai luntur. Di tengah kegersangan moral ini, jiwa kita berontak dan mencari penyejuk. Kerinduan tersebut membawa ingatan kolektif kita pada sebuah kitab legendaris. Kita merindukan karakter-karakter agung dalam kitab Riyadus Shalihin.
Oase di Tengah Gurun Moral
Imam An-Nawawi menyusun Riyadus Shalihin (Taman Orang-Orang Saleh) dengan sangat apik. Kitab ini bukan sekadar kumpulan hadis semata. Buku ini merekam jejak kehidupan manusia-manusia terbaik pilihan Tuhan. Mereka menjalani kehidupan dengan standar moral yang sangat tinggi. Kita merindukan mereka karena kontras yang tajam dengan realitas hari ini.
Tokoh-tokoh dalam kitab tersebut tidak mengejar popularitas semu. Mereka tidak haus akan pujian manusia atau jabatan duniawi. Sebaliknya, mereka justru lari dari ketenaran karena takut hati mereka menjadi tidak tulus. Hal ini sangat berbeda dengan fenomena pencitraan yang menjamur di era modern.
[Masukkan Kutipan Asli dari Artikel Sumber Di Sini]
Kutipan tersebut menegaskan betapa jauhnya jarak kualitas moral kita dengan mereka. Kita hidup di zaman yang memuja materi dan eksistensi fisik. Sementara itu, para salafus saleh memuja kerendahan hati dan kedekatan dengan Sang Pencipta.
Belajar Ketulusan dan Kejujuran
Salah satu alasan kuat mengapa kita merindukan sosok dalam Riyadus Shalihin adalah ketulusan mereka. Bab tentang keikhlasan dalam kitab ini menampar kesadaran kita. Kita melihat para sahabat Nabi memberikan sedekah tanpa ingin ada satu orang pun yang tahu. Tangan kanan memberi, tangan kiri tidak mengetahui.
Bandingkan dengan perilaku riya yang sering kita lihat sekarang. Banyak orang berlomba-lomba memamerkan kebaikan demi konten media sosial. Bantuan sosial sering kali menjadi ajang kampanye terselubung. Ketulusan menjadi barang langka yang sangat mahal harganya.
Selain itu, aspek kejujuran atau shidq dalam Riyadus Shalihin juga sangat menyentuh hati. Tokoh-tokoh di dalamnya berani berkata benar meski pahit. Mereka memegang amanah dengan nyawa sebagai taruhannya. Mereka tidak akan mengambil satu dirham pun uang rakyat yang bukan haknya.
Rasa takut mereka akan hisab di akhirat menjadi rem pakem bagi hawa nafsu. Integritas inilah yang hilang dari banyak pemimpin kita saat ini. Kita rindu pemimpin yang takut pada Tuhan, bukan pemimpin yang takut kehilangan jabatan.
Kesederhanaan yang Memikat
Gaya hidup hedonis para elit politik sering kali menyakiti hati rakyat kecil. Kita melihat kesenjangan sosial yang semakin menganga lebar. Dalam kondisi ini, kisah kesederhanaan (zuhud) dalam Riyadus Shalihin terasa sangat menyejukkan.
Imam An-Nawawi menampilkan riwayat tentang Rasulullah dan para sahabat yang hidup sangat sederhana. Mereka memiliki akses terhadap kekayaan, namun memilih hidup bersahaja. Kekuasaan tidak mengubah gaya hidup mereka menjadi glamor. Umar bin Khattab tetap memakai baju bertambal meski ia memimpin wilayah yang luas.
Sikap zuhud ini bukan berarti membenci dunia. Sikap ini mengajarkan kita untuk meletakkan dunia di tangan, bukan di hati. Harta hanyalah alat untuk beribadah, bukan tujuan hidup. Pemimpin yang zuhud tidak akan memperkaya diri sendiri dengan cara korupsi. Mereka justru akan mendahulukan kesejahteraan rakyatnya di atas kepentingan pribadi.
Mengakhiri Krisis Keteladanan
Kerinduan kita pada sosok dalam Riyadus Shalihin adalah sinyal bahaya bagi peradaban kita. Hal ini menunjukkan bahwa kita sedang “sakit” secara spiritual dan moral. Namun, kerinduan ini juga membawa harapan. Kita masih memiliki standar kebaikan yang ingin kita raih.
Kita tidak boleh hanya berhenti pada rasa rindu semata. harus mulai membuka kembali lembaran-lembaran kitab tersebut. Generasi muda perlu mengenal kembali siapa idola mereka yang sesungguhnya. Sekolah dan keluarga harus mengambil peran aktif dalam mengajarkan nilai-nilai ini.
Mari kita jadikan Riyadus Shalihin sebagai cermin untuk berbenah diri. Kita mulai dari diri sendiri sebelum menuntut orang lain. Jadilah pemimpin yang jujur di lingkungan terkecil kita. Tanamkan sifat wara’ (berhati-hati) dalam mencari nafkah.
Indonesia membutuhkan lahirnya generasi baru yang berjiwa Riyadus Shalihin. Generasi yang cerdas secara intelektual dan anggun secara moral. Hanya dengan cara itulah kita bisa mengakhiri krisis keteladanan ini. Kita harus menghadirkan kembali “taman orang-orang saleh” itu ke dunia nyata, di negeri tercinta ini.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
