Media sosial kini penuh dengan konten berbagi kebaikan. Kita sering melihat influencer atau orang kaya membagikan uang kepada kaum duafa. Kamera selalu merekam momen haru tersebut. Fenomena ini memunculkan perdebatan sengit di kalangan warganet. Sebagian orang memuji aksi tersebut sebagai inspirasi. Namun, sebagian lainnya mencibir tindakan itu sebagai ajang pamer semata. Fenomena flexing sedekah ini menjadi isu menarik untuk kita bahas dari sudut pandang sosial dan agama.
Era digital memang mengubah cara manusia berinteraksi. Dahulu, orang menyembunyikan amal ibadah mereka rapat-rapat. Pepatah lama mengatakan, “Tangan kanan memberi, tangan kiri tidak boleh tahu.” Kini, paradigma tersebut bergeser drastis. Tombol “rekam” dan “unggah” seolah menjadi syarat sah dalam berbagi. Pergeseran nilai ini tentu membawa dampak psikologis bagi pelaku maupun penerima bantuan.
Mengaburkan Batas Antara Tulus dan Modus
Netizen sering kali merasa bingung menilai konten berbagi. Kita sulit membedakan niat tulus dengan keinginan mencari popularitas. Banyak kreator konten menjadikan kemiskinan orang lain sebagai komoditas. Mereka mendapatkan adsense atau uang dari jumlah penonton video tersebut. Hal ini tentu memicu pertanyaan etis yang mendalam. Apakah etis merekam wajah penerima bantuan yang sedang kesulitan demi sebuah konten?
Namun, kita tidak boleh serta-merta menghakimi niat seseorang. Hati manusia adalah misteri yang hanya Tuhan yang tahu. Bisa jadi, sang kreator benar-benar ingin mengajak pengikutnya berbuat baik. Mereka ingin menunjukkan bahwa berbagi itu indah. Dalam konteks ini, konten tersebut berfungsi sebagai ajakan atau syiar.
Pandangan Agama: Riya atau Syiar?
Islam memiliki pandangan yang luas mengenai sedekah. Agama membolehkan seseorang menampakkan sedekahnya dengan syarat tertentu. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 271.
“Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu.”
Ayat tersebut menegaskan dua hal penting. Pertama, menampakkan sedekah bukanlah hal terlarang secara mutlak. Kedua, menyembunyikan sedekah tetap memiliki nilai keutamaan yang lebih tinggi. Kunci utama dari fenomena flexing sedekah ini terletak pada niat pelakunya.
Ulama membagi hukum menampakkan sedekah menjadi dua kondisi. Kondisi pertama adalah Riya. Pelaku memamerkan amal untuk mendapatkan pujian manusia. Tindakan ini menghapus pahala sedekah tersebut. Riya merupakan penyakit hati yang sangat halus. Bahayanya sangat besar bagi spiritualitas seseorang.
Kondisi kedua adalah Syiar atau motivasi. Seseorang memperlihatkan sedekah untuk memberi teladan. Ia berharap orang lain akan tergerak hatinya untuk ikut bersedekah. Niat ini menjadikan aksi pamer tersebut bernilai ibadah. Namun, menjaga niat di tengah pujian netizen bukanlah perkara mudah. Setan selalu punya celah untuk membelokkan niat suci menjadi kesombongan.
Menjaga Adab dalam Konten Berbagi
Para kreator konten harus memperhatikan adab saat membuat video sedekah. Etika menjadi hal krusial dalam fenomena flexing sedekah ini. Kita harus memanusiakan manusia. Jangan sampai bantuan yang kita berikan justru merendahkan harga diri penerima.
Langkah pertama adalah meminta izin. Pembuat konten wajib meminta persetujuan penerima sebelum merekam. Jika penerima keberatan, kamera harus mati. Privasi penerima adalah prioritas utama. Kita bisa menyamarkan wajah mereka atau hanya merekam tangan saat serah terima.
Langkah kedua adalah menghindari dramatisasi berlebihan. Hindari mengeksploitasi kesedihan atau air mata penerima demi views. Konten yang baik harus mengedukasi, bukan sekadar menjual rasa iba. Narasi video sebaiknya fokus pada ajakan berbuat baik, bukan pada kehebatan si pemberi.
Kesimpulan: Kembali pada Niat
Kita hidup di zaman serba transparan. Fenomena flexing sedekah tidak akan hilang dalam waktu dekat. Masyarakat perlu menyikapinya dengan bijak. Kita tidak perlu sibuk menghitung dosa atau pahala orang lain. Biarkan Tuhan yang menilai isi hati para konten kreator tersebut.
Bagi para pelaku sedekah online, tantangan terbesar adalah meluruskan niat. Pastikan unggahan tersebut murni untuk syiar. Waspadai bisikan hati yang haus akan like dan komentar pujian. Jika hati mulai goyah dan merasa bangga diri, berhentilah sejenak. Sembunyikan sedekah berikutnya agar hati kembali ikhlas.
Pada akhirnya, sedekah adalah bukti keimanan. Baik tersembunyi maupun terang-terangan, sedekah harus memberi manfaat nyata. Jangan sampai konten sedekah justru menjadi ladang dosa jariyah karena riya. Mari kita bijak bermedia sosial dan terus berlomba dalam kebaikan.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
