Kalam
Beranda » Berita » Riyadus Shalihin dan Fenomena FOMO: Mengapa Kita Takut Tertinggal?

Riyadus Shalihin dan Fenomena FOMO: Mengapa Kita Takut Tertinggal?

Dunia digital hari ini bergerak sangat cepat. Kita sering merasa cemas saat melihat pencapaian orang lain di media sosial. Istilah populer menyebut kondisi ini sebagai Fear of Missing Out atau FOMO. Perasaan takut tertinggal tren, takut tidak update, atau takut kalah sukses menghantui banyak anak muda. Namun, tahukah Anda bahwa solusi kecemasan ini sebenarnya sudah ada sejak ratusan tahun lalu? Kitab Riyadus Shalihin karya Imam An-Nawawi menawarkan penawar ampuh bagi penyakit hati modern ini.

Memahami Akar Masalah FOMO

Media sosial menjadi pemicu utama fenomena ini. Kita membuka Instagram atau TikTok dan melihat kehidupan orang lain yang tampak sempurna. Mereka liburan mewah, membeli mobil baru, atau makan di restoran mahal. Hati kita lantas bergejolak. Kita membandingkan diri sendiri dengan mereka. Rasa tidak puas pun muncul. Kita merasa hidup ini kurang seru atau kurang berhasil.

Padahal, apa yang kita lihat di layar kaca hanyalah potongan kecil. Orang hanya menampilkan sisi terbaik hidup mereka. Kita sering lupa akan hal ini. Akibatnya, ketenangan batin hilang berganti dengan kegelisahan. Kita sibuk mengejar standar kebahagiaan orang lain. Inilah jebakan FOMO yang sesungguhnya.

Perspektif Riyadus Shalihin tentang Kepuasan Hati

Imam An-Nawawi menyusun Riyadus Shalihin sebagai panduan memperbaiki akhlak dan hati. Salah satu bab penting dalam kitab ini membahas tentang Qana’ah. Islam mengajarkan Qana’ah sebagai sikap merasa cukup atas pemberian Allah. Sikap ini adalah lawan kata dari keserakahan dan rasa iri.

Seseorang yang memiliki sifat Qana’ah tidak akan mudah terombang-ambing oleh tren dunia. Ia fokus pada apa yang ada dalam genggamannya. Ia mensyukuri nikmat yang Allah berikan saat ini. Orang yang bersyukur tidak akan merasa takut tertinggal. Ia tahu bahwa setiap orang memiliki rezeki dan garis waktunya masing-masing.

Fenomena Flexing Sedekah di Medsos: Antara Riya dan Syiar Dakwah

Mengubah Arah Pandang Kita

FOMO terjadi karena kita selalu melihat ke atas dalam urusan dunia. Kita melihat orang yang lebih kaya, lebih cantik, atau lebih populer. Riyadus Shalihin mengajarkan strategi psikologis yang sangat jitu untuk melawan ini. Kita harus mengubah arah pandang kita.

Dalam sebuah hadis yang tercantum dalam kitab ini, Rasulullah SAW memberikan nasihat tegas. Beliau meminta kita melihat orang yang kondisinya di bawah kita.

“Lihatlah kepada orang yang berada di bawahmu dan jangan melihat orang yang berada di atasmu, karena hal itu lebih patut agar engkau tidak menganggap remeh nikmat Allah yang telah diberikan kepadamu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kutipan tersebut sangat relevan dengan kondisi psikologis manusia modern. Saat kita melihat ke bawah, rasa syukur akan tumbuh. Kita menyadari betapa banyaknya nikmat yang kita miliki. Kita punya kesehatan, tempat tinggal, dan makanan. Banyak orang lain tidak seberuntung kita. Kesadaran ini akan mematikan bibit-bibit FOMO dalam hati.

Zuhud: Mengendalikan Ambisi Duniawi

Konsep lain dalam Riyadus Shalihin yang relevan adalah Zuhud. Banyak orang salah paham tentang konsep ini. Zuhud bukan berarti kita harus miskin atau meninggalkan dunia. Zuhud adalah kondisi saat dunia ada di tangan, tetapi tidak masuk ke dalam hati.

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

Orang yang zuhud tidak menjadikan pencapaian duniawi sebagai tolak ukur kebahagiaan utama. Jika ia ketinggalan tren fashion terbaru, hatinya tidak sedih. Jika ia belum bisa membeli gadget keluaran terbaru, jiwanya tetap tenang. Ia meletakkan prioritas pada kebahagiaan akhirat yang kekal.

Mentalitas ini menciptakan ketahanan mental yang luar biasa. Kita menjadi pribadi yang merdeka.  tidak lagi menjadi budak algoritma media sosial. Kita memegang kendali penuh atas kebahagiaan kita sendiri.

Berlomba dalam Kebaikan, Bukan Gaya Hidup

Islam sebenarnya tidak melarang kompetisi. Justru, agama ini mendorong umatnya untuk berlomba-lomba. Namun, objek perlombaannya berbeda. Dunia mengajak kita berlomba dalam kekayaan dan kemewahan. Islam mengajak kita berlomba dalam kebaikan (Fastabiqul Khairat).

Kitab Riyadus Shalihin memuat banyak riwayat tentang para sahabat yang berlomba dalam sedekah dan ibadah. Mereka takut tertinggal dalam amal saleh, bukan takut tertinggal gaya hidup. Rasa takut jenis ini justru produktif. Ia mendekatkan kita kepada Tuhan dan memberi ketenangan jiwa.

Sebaliknya, kompetisi gaya hidup tidak memiliki garis finis. Selalu ada yang lebih kaya dan lebih hebat. Mengejarnya hanya akan membuat kita lelah. Imam An-Nawawi mengingatkan kita untuk memilih kompetisi yang abadi.

Riyadus Shalihin: Antidot Ampuh Mengobati Fenomena Sick Society di Era Modern

Penutup: Kembali pada Ketenangan Jiwa

Fenomena FOMO adalah sinyal bahwa jiwa kita sedang kering. Kita mencari kepuasan di tempat yang salah. Air laut tidak akan pernah memuaskan dahaga, begitu pula dunia. Semakin kita meminumnya, semakin kita haus.

Membaca dan merenungi isi Riyadus Shalihin bisa menjadi terapi. Kita belajar menata ulang orientasi hidup. Kita belajar bahwa kebahagiaan sejati bersumber dari rasa syukur dan kedekatan dengan Sang Pencipta.

Mari kita mulai mengurangi waktu scrolling di media sosial. Mari kita ganti dengan membaca lembar-lembar kebijaksanaan dari para ulama. Jangan takut tertinggal oleh dunia. Takutlah jika kita tertinggal dari ampunan dan rida Allah SWT. Hidup dengan hati yang Qana’ah jauh lebih indah daripada hidup dalam kecemasan tanpa ujung.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement