Khazanah Sosok
Beranda » Berita » Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Dunia pendidikan modern sering kali terjebak pada angka dan pencapaian akademik semata. Kita melihat banyak orang cerdas secara intelektual namun kering secara spiritual dan moral. Fenomena ini sebenarnya telah mendapat perhatian serius dari para ulama terdahulu. Salah satunya adalah Yahya bin Syaraf an-Nawawi, atau lebih kita kenal sebagai Imam Nawawi. Beliau memberikan sebuah konsep fundamental yang kini kita kenal sebagai pendidikan adab sebelum ilmu.

Pesan ini tidak hanya beliau sampaikan melalui ceramah lisan. Imam Nawawi menanamkan pesan ini secara tersirat namun sangat kuat dalam karya monumentalnya. Kitab tersebut adalah Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab. Struktur penulisan kitab ini mengandung filosofi pendidikan yang sangat dalam bagi siapa saja yang mau merenunginya.

Struktur Kitab Sebagai Pesan Pendidikan

Imam Nawawi menulis kitab Al-Majmu’ sebagai referensi fikih yang sangat otoritatif dalam Mazhab Syafi’i. Biasanya, para ulama fikih akan memulai pembahasan kitab mereka langsung pada bab Thaharah (bersuci) atau bab Ubudiyah. Namun, Imam Nawawi memilih jalan berbeda. Beliau tidak langsung masuk ke pembahasan hukum halal dan haram.

Beliau justru memulai jilid pertama kitab tersebut dengan pembahasan tentang adab. Beliau mengupas tuntas etika seorang pengajar (guru) dan etika seorang pelajar (murid). Langkah ini bukan tanpa alasan. Imam Nawawi ingin menegaskan sebuah prinsip. Seseorang harus memperbaiki wadahnya terlebih dahulu sebelum mengisinya dengan air. Hati adalah wadah, dan ilmu adalah airnya. Jika wadahnya kotor atau pecah, air yang jernih sekalipun tidak akan membawa manfaat. Inilah esensi dari pendidikan adab sebelum ilmu.

Urgensi Niat dan Keikhlasan

Poin pertama yang Imam Nawawi tekankan adalah masalah niat. Beliau mengingatkan bahwa menuntut ilmu adalah ibadah. Setiap ibadah membutuhkan keikhlasan agar Allah menerimanya. Tanpa niat yang lurus karena Allah, ilmu hanya akan menjadi alat untuk mencari dunia. Seseorang mungkin mengejar gelar hanya untuk kebanggaan atau debat kusir.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Imam Nawawi mengutip banyak dalil tentang bahaya orang yang menuntut ilmu bukan karena Allah. Ilmu tersebut tidak akan membuahkan rasa takut kepada Tuhan. Sebaliknya, ilmu itu justru melahirkan kesombongan. Oleh karena itu, beliau menempatkan pembahasan niat di bagian paling awal. Ini adalah gerbang utama sebelum seseorang melangkah lebih jauh menyelami lautan ilmu fikih yang luas.

Adab Murid Terhadap Guru

Bagian selanjutnya menyoroti hubungan antara murid dan guru. Imam Nawawi memberikan panduan rinci bagaimana seharusnya seorang penuntut ilmu bersikap. Seorang murid harus memandang gurunya dengan pandangan kemuliaan. Murid harus meyakini bahwa gurunya memiliki derajat yang tinggi. Sikap tawadhu (rendah hati) di hadapan guru adalah kunci pembuka pintu pemahaman.

Imam Nawawi menuliskan sebuah kutipan penting:

“Ilmu itu musuh bagi orang yang sombong, sebagaimana air itu musuh bagi tempat yang tinggi.”

Kalimat ini menggambarkan sifat alami ilmu. Ilmu tidak akan mengalir kepada hati yang tinggi hati. Seseorang yang merasa lebih pintar dari gurunya akan sulit mendapatkan keberkahan. Pendidikan adab sebelum ilmu mengajarkan kita untuk mengosongkan gelas sebelum mengisinya kembali. Murid harus siap mendengar, siap patuh, dan siap berkhidmat kepada sang guru.

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

Relevansi di Era Digital

Pesan Imam Nawawi ini terasa semakin relevan di zaman sekarang. Era digital memudahkan kita mengakses informasi. Kita bisa mendapatkan jawaban atas pertanyaan agama hanya dengan satu klik. Namun, kemudahan ini sering kali mengikis adab. Orang merasa tidak perlu lagi duduk bersimpuh di hadapan guru. Mereka merasa cukup dengan membaca artikel singkat di internet.

Akibatnya, keberkahan ilmu perlahan menghilang. Kita melihat banyak perdebatan di media sosial yang jauh dari etika. Orang saling menghujat dengan dalil agama. Hal ini terjadi karena mereka melompati satu tangga penting: Adab. Mereka mengambil ilmu (informasi), tetapi meninggalkan adabnya.

Penutup: Kembali ke Fondasi

Imam Nawawi telah mewariskan metode pendidikan yang sempurna. Beliau mengajarkan bahwa karakter harus tumbuh mendahului intelektualitas. Pendidikan adab sebelum ilmu bukanlah slogan semata. Itu adalah kurikulum wajib bagi siapa saja yang menginginkan ilmunya bermanfaat dunia dan akhirat.

Kita perlu menghidupkan kembali tradisi ini di rumah dan sekolah. Orang tua harus mengajarkan sopan santun sebelum mengajarkan membaca dan berhitung. Guru harus menanamkan akhlak sebelum menransfer rumus-rumus rumit. Hanya dengan cara inilah kita bisa melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas otaknya, tetapi juga mulia hatinya. Pesan tersirat Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ akan selalu menjadi pengingat abadi bagi dunia pendidikan Islam.

Menerapkan Parenting Nabawi: Panduan Mendidik Karakter Anak Lewat Riyadus Shalihin

Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement