Kalam
Beranda » Berita » Mengupas Bahaya Ambisi Jabatan: Peringatan Keras dari Kitab Riyadus Shalihin

Mengupas Bahaya Ambisi Jabatan: Peringatan Keras dari Kitab Riyadus Shalihin

Fenomena perebutan kursi kekuasaan sering kali menjadi tontonan sehari-hari. Banyak orang berlomba-lomba untuk menduduki posisi strategis. Mereka rela mengeluarkan biaya besar demi sebuah nama. Padahal, Islam memandang kepemimpinan dengan kacamata yang sangat berbeda. Agama ini justru memberikan peringatan keras terkait bahaya ambisi jabatan.

Imam An-Nawawi telah merangkum peringatan ini dalam kitab fenomenal beliau, Riyadus Shalihin. Beliau menyusun bab khusus tentang larangan meminta kepemimpinan. Bab ini berisi hadits-hadits shahih yang menampar keras para pengejar kekuasaan. Kita perlu merenungkan kembali nasihat Nabi Muhammad SAW tersebut.

Larangan Tegas Meminta Kekuasaan

Rasulullah SAW memiliki prinsip tegas dalam memilih pejabat. Beliau tidak akan memberikan amanah kepada orang yang ambisius. Hal ini terlihat jelas dalam sebuah riwayat dari Abu Musa Al-Asy’ari.

Kala itu, Abu Musa datang bersama dua orang dari kabilahnya. Salah satu dari mereka meminta jabatan kepada Nabi. Orang kedua pun menyampaikan hal serupa.

Mendengar permintaan tersebut, Rasulullah SAW bersabda:

Membangun Etos Kerja Muslim yang Unggul Berdasarkan Kitab Riyadus Shalihin

“Inna wallahi la nuwalli hadzal amra ahadan sa’alahu au harasha ‘alaihi.”

(Sesungguhnya, demi Allah, kami tidak akan menyerahkan pekerjaan ini kepada seseorang yang memintanya, atau seseorang yang sangat berambisi mendapatkannya). (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menjadi landasan hukum yang kuat. Islam menutup pintu bagi mereka yang haus kekuasaan. Sifat ambisius sering kali menghilangkan ketulusan niat. Seorang pemimpin sejati seharusnya merasa takut akan beban amanah. Sebaliknya, pemburu jabatan justru merasa mampu dan bangga. Sikap ini sangat berbahaya bagi kemaslahatan umat.

Penyesalan di Hari Kiamat

Bahaya ambisi jabatan tidak hanya berdampak di dunia. Dampak paling mengerikan justru menanti di akhirat. Banyak orang terbuai dengan fasilitas dan kehormatan duniawi. Mereka lupa bahwa hisab Allah sangatlah teliti.

Rasulullah SAW mengingatkan sahabat Abu Hurairah RA tentang hal ini. Beliau menggambarkan nasib para pencari jabatan di kemudian hari.

Frugal Living Ala Nabi: Menemukan Kebahagiaan Lewat Pintu Qanaah

Beliau bersabda:

“Innakum satahrishuna ‘alal imarati wa satakunu hasratan yaumal qiyamati.”

(Sesungguhnya kalian akan berambisi memperebutkan jabatan, padahal jabatan itu akan menjadi penyesalan pada hari Kiamat). (HR. Bukhari)

Kalimat ini mengandung peringatan yang sangat tajam. Kenikmatan kekuasaan hanya bersifat sementara. Jabatan memang terasa nikmat saat menyusui (mendapat fasilitas). Namun, jabatan akan terasa sangat pahit saat menyapih (ketika jabatan itu lepas atau saat kematian datang). Penyesalan di hari kiamat tidak akan berguna lagi. Pemimpin akan mempertanggungjawabkan setiap kebijakan mereka di hadapan Allah.

Hilangnya Pertolongan Allah

Seorang pemimpin membutuhkan kekuatan besar untuk menjalankan tugas. Kekuatan terbesar datang dari pertolongan Allah SWT. Namun, ambisi pribadi dapat memutus pertolongan tersebut.

Menyelaraskan Minimalisme dan Konsep Zuhud: Relevansi Kitab Riyadhus Shalihin di Era Modern

Nabi Muhammad SAW memberikan nasehat spesifik kepada Abdurrahman bin Samurah. Nasehat ini menjelaskan hubungan antara cara mendapatkan jabatan dengan pertolongan Tuhan.

Rasulullah SAW berpesan:

“Ya Abdurrahman bin Samurah, la tas’alil imarah, fa innaka in u’thitaha ‘an mas’alatin wukilta ilaiha, wa in u’thitaha ‘an ghairi mas’alatin u’inta ‘alaiha.”

(Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta jabatan! Karena sesungguhnya jika jabatan itu diberikan kepadamu karena engkau memintanya, maka engkau akan dibebankan kepada jabatan itu (tanpa pertolongan Allah). Tetapi jika jabatan itu diberikan kepadamu bukan karena permintaanmu, maka engkau akan diberi pertolongan (oleh Allah) dalam melaksanakannya). (HR. Bukhari dan Muslim)

Logika hadits ini sangat masuk akal. Orang yang meminta jabatan merasa dirinya mampu. Allah akan membiarkan dia mengurus urusannya sendiri. Manusia sangat lemah tanpa bantuan Allah. Akibatnya, dia akan mudah tergelincir dalam kezaliman atau korupsi.

Sebaliknya, orang yang tidak meminta jabatan biasanya merasa berat hati. Dia menerima amanah karena paksaan tugas atau kepercayaan orang lain. Allah akan menurunkan pertolongan kepadanya. Allah akan membimbing langkahnya dalam mengambil keputusan yang adil.

Refleksi untuk Masa Kini

Konteks zaman sekarang memperlihatkan realita yang memprihatinkan. Sistem politik modern sering memaksa orang untuk mempromosikan diri. Calon pemimpin harus tampil sempurna dan meminta dukungan. Hal ini berpotensi menumbuhkan benih-benih ambisi yang terlarang.

Umat Islam harus kembali membuka kitab Riyadus Shalihin. Kita perlu memahami bahaya ambisi jabatan secara mendalam. Menjadi pemimpin bukanlah ajang untuk gagah-gagahan. Ini adalah jalan sunyi penuh tanggung jawab.

Hindarilah sifat meminta-minta posisi. Biarkan prestasi dan akhlak mulia yang berbicara. Jika masyarakat mempercayai kita, terimalah dengan rasa takut kepada Allah. Namun, jangan sekali-kali menyodorkan diri karena nafsu duniawi.

Keselamatan di akhirat jauh lebih berharga daripada kursi empuk di dunia. Semoga kita terhindar dari fitnah kekuasaan yang melalaikan. Mari kita jadikan nasehat Nabi ini sebagai rem dalam menjalani kehidupan sosial dan politik.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement