Dunia modern sering memandang jabatan sebagai sebuah privilese atau keistimewaan. Banyak orang berlomba mengejar posisi tinggi demi kekuasaan semata. Mereka melupakan esensi utama dari sebuah amanah. Padahal, Islam telah lama meletakkan dasar kepemimpinan yang melayani. Nabi Muhammad SAW mengajarkan konsep ini ribuan tahun lalu. Beliau tidak menggunakan istilah raja atau penguasa otoriter dalam nasihat utamanya. Rasulullah justru memilih metafora “penggembala” untuk menggambarkan sosok pemimpin ideal.
Metafora ini tertuang jelas dalam sebuah hadis masyhur. Para ulama sering menyebutnya sebagai Hadis Ra’iyyah. Hadis ini membongkar paradigma kepemimpinan yang kaku menjadi sangat humanis. Pemimpin bukan bos yang minta dilayani. Pemimpin adalah pelayan bagi kaumnya. Mari kita bedah makna mendalam dari hadis ini.
Teks Hadis Ra’iyyah (Penggembala)
Sebelum melangkah lebih jauh, kita perlu merenungkan teks asli dari sabda Rasulullah SAW berikut ini:
“Kullukum ra’in wa kullukum mas’ulun ‘an ra’iyyatihi. Wal imamu ra’in wa mas’ulun ‘an ra’iyyatihi. War rajulu ra’in fi ahlihi wa huwa mas’ulun ‘an ra’iyyatihi. Wal mar’atu ra’iyatun fi baiti zaujiha wa hiya mas’ulatun ‘an ra’iyyatiha. Wal khadimu ra’in fi mali sayyidihi wa huwa mas’ulun ‘an ra’iyyatihi.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Artinya:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya. Seorang suami adalah pemimpin di keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas keluarganya. Seorang istri adalah pemimpin di rumah suaminya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya. Seorang pelayan adalah pemimpin (penjaga) harta tuannya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.”
Filosofi Penggembala dalam Kepemimpinan
Nabi Muhammad SAW memilih kata Ra’in (penggembala) dengan sangat teliti. Mengapa beliau tidak menggunakan kata Malik (Raja) atau Rais (Ketua)? Pilihan kata ini mengandung makna filosofis yang dalam. Seorang penggembala memiliki ikatan batin dengan ternaknya. Ia tidak hanya memerintah domba untuk berjalan. Ia memastikan domba-dombanya kenyang. Ia melindungi mereka dari serangan serigala. Ia akan mencari domba yang tersesat hingga ketemu.
Inilah inti dari kepemimpinan yang melayani. Pemimpin harus memiliki sifat welas asih. Mereka wajib turun ke bawah melihat kondisi rakyat. Mereka harus memastikan kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi. Seorang penggembala tidak tidur nyenyak jika ternaknya gelisah. Begitu pula seharusnya seorang pejabat publik. Mereka tidak boleh tenang jika rakyat masih menderita.
Dimensi Tanggung Jawab Universal
Hadis ini juga menekankan aspek universalitas. Rasulullah menegaskan frasa “Kullukum” (setiap kalian). Tidak ada seorang pun yang luput dari peran kepemimpinan. Anda tidak harus menjadi presiden untuk memimpin. Islam membagi peran ini ke dalam berbagai level sosial.
-
Imam Agung: Mencakup presiden, gubernur, atau kepala daerah. Mereka bertanggung jawab atas kesejahteraan umum.
-
Kepala Keluarga: Seorang ayah memimpin istri dan anak-anaknya. Ia bertanggung jawab atas nafkah dan pendidikan moral.
-
Ibu Rumah Tangga: Seorang istri memimpin manajemen rumah. Ia menjaga harta suami dan mendidik anak-anak.
-
Pekerja/Karyawan: Seorang pegawai memimpin tugas-tugasnya. Ia bertanggung jawab menjaga aset perusahaan tempatnya bekerja.
Setiap individu memegang kendali atas “wilayah” masing-masing. Kita tidak bisa melempar tanggung jawab kepada orang lain. Kesadaran ini akan menciptakan masyarakat yang tertib. Semua orang akan fokus menunaikan kewajiban mereka dengan sebaik mungkin.
Akuntabilitas: Kunci Integritas Pemimpin
Poin paling menakutkan sekaligus penting dari hadis ini adalah kata Mas’ulun (dimintai pertanggungjawaban). Kepemimpinan dalam Islam bukanlah hadiah gratis. Ia adalah beban yang berat. Allah SWT akan mengaudit setiap kebijakan pemimpin di akhirat kelak.
Konsep Mas’uliyyah (akuntabilitas) ini menjadi kontrol internal yang kuat. Pemimpin yang sadar akan akhirat tidak akan berani korupsi. Mereka takut mengambil hak rakyat. Mereka sadar bahwa pengadilan Tuhan sangat teliti. Umar bin Khattab pernah menangis karena takut. Ia khawatir Allah akan menghisabnya jika ada keledai terperosok di jalanan Irak karena jalan yang rusak.
Rasa takut inilah yang melahirkan integritas. Pemimpin akan bekerja melayani rakyat dengan tulus. Mereka tidak butuh pencitraan berlebihan. Motivasi mereka adalah keselamatan di hadapan Tuhan, bukan sekadar pujian manusia.
Relevansi dengan Konsep Servant Leadership
Dunia manajemen modern mengenal istilah Servant Leadership. Robert K. Greenleaf mempopulerkan istilah ini pada tahun 1970-an. Namun, Rasulullah SAW telah mempraktikkannya 14 abad silam. Kepemimpinan yang melayani menempatkan kebutuhan orang lain sebagai prioritas tertinggi.
Pemimpin tipe ini mendengarkan aspirasi bawahan. Mereka berempati terhadap kesulitan tim. Mereka memberdayakan orang lain untuk berkembang. Ciri khas pemimpin Ra’in adalah kerendahan hati. Mereka tidak sombong dengan jabatan. Mereka memandang jabatan sebagai sarana pengabdian.
Kita sangat merindukan sosok pemimpin seperti ini di Indonesia. Kita butuh figur yang “menggembalakan” bangsa dengan kasih sayang. Mereka yang melindungi rakyat kecil dari ketidakadilan hukum. Mereka yang memastikan sumber daya alam dinikmati bersama.
Kesimpulan
Hadis Ra’iyyah memberikan panduan lengkap tentang manajemen manusia. Islam menolak gaya kepemimpinan otoriter yang menindas. Islam justru menawarkan konsep penggembalaan yang penuh kasih. Inti dari ajaran ini adalah pelayanan dan tanggung jawab.
Setiap kita memikul beban kepemimpinan di pundak masing-masing. Mari kita mulai dari lingkup terkecil. Jadilah pemimpin yang baik bagi diri sendiri. Jadilah pemimpin yang amanah bagi keluarga. Jika semua orang menerapkan prinsip kepemimpinan yang melayani ini, kedamaian sosial pasti terwujud. Kita akan melihat masyarakat yang saling menjaga, bukan saling memangsa.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
