Kalam
Beranda » Berita » Membangun Integritas Pemimpin: Meneladani Bab Amanah dalam Kitab Riyadus Shalihin

Membangun Integritas Pemimpin: Meneladani Bab Amanah dalam Kitab Riyadus Shalihin

Isu kepemimpinan selalu menjadi sorotan hangat di tengah masyarakat modern. Krisis kepercayaan sering terjadi akibat lunturnya integritas para pemegang kekuasaan. Kita perlu menengok kembali ajaran Islam yang sangat menekankan aspek tanggung jawab. Salah satu rujukan utama dalam memperbaiki moralitas pemimpin adalah kitab Riyadus Shalihin karya Imam An-Nawawi. Ulama besar ini menempatkan bab khusus mengenai “Amanah” yang sangat relevan untuk kita kaji saat ini.

Esensi Amanah dalam Pandangan Imam An-Nawawi

Imam An-Nawawi menyusun bab amanah untuk mengingatkan umat Islam tentang beratnya sebuah kepercayaan. Amanah bukan sekadar menjaga titipan barang. Konsep ini mencakup segala bentuk tanggung jawab, baik spiritual maupun sosial. Seorang pemimpin memikul beban amanah terbesar di pundaknya. Mereka harus memastikan kesejahteraan rakyat dan menegakkan keadilan tanpa pandang bulu.

Banyak pemimpin masa kini terjebak pada kemewahan jabatan. Mereka lupa bahwa jabatan adalah ujian berat. Riyadus Shalihin mengajarkan kita untuk memandang jabatan sebagai sarana pengabdian, bukan alat memperkaya diri. Integritas pemimpin tumbuh ketika ia sadar bahwa Allah SWT mengawasi setiap kebijakannya.

Landasan Al-Qur’an tentang Kewajiban Menunaikan Amanah

Imam An-Nawawi membuka bab ini dengan mengutip firman Allah SWT yang sangat tegas. Ayat ini menjadi fondasi utama bagi siapa saja yang memegang tampuk kekuasaan.

Allah SWT berfirman dalam Surah An-Nisa ayat 58:

Membangun Etos Kerja Muslim yang Unggul Berdasarkan Kitab Riyadus Shalihin

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…”

Ayat tersebut menggunakan kalimat perintah yang kuat. Allah mewajibkan penyerahan hak kepada pemiliknya. Pemimpin harus mendahulukan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi atau golongan. Mengabaikan hak rakyat sama dengan menentang perintah langsung dari Tuhan.

Selain itu, Imam An-Nawawi juga menyantumkan Surah Al-Ahzab ayat 72. Ayat ini menggambarkan betapa beratnya memikul amanah. Langit, bumi, dan gunung-gunung pun enggan memikulnya karena takut akan azab Allah. Namun, manusia justru bersedia memikulnya. Hal ini menunjukkan bahwa pemimpin yang khianat sejatinya telah berbuat zalim dan bodoh terhadap dirinya sendiri.

Hadis Nabi: Setiap Pemimpin Akan Dimintai Pertanggungjawaban

Rasulullah SAW memberikan peringatan keras melalui hadis-hadis yang terhimpun dalam bab ini. Salah satu hadis paling populer menekankan aspek akuntabilitas personal.

Rasulullah SAW bersabda:

Frugal Living Ala Nabi: Menemukan Kebahagiaan Lewat Pintu Qanaah

“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya.” (Muttafaqun ‘alaih)

Hadis ini menegaskan bahwa tidak ada ruang untuk lari dari tanggung jawab. Seorang kepala negara akan bertanggung jawab atas rakyatnya. Seorang manajer bertanggung jawab atas timnya. Bahkan, seorang kepala keluarga bertanggung jawab atas anggota keluarganya.

Imam An-Nawawi ingin membentuk pola pikir bahwa kepemimpinan adalah beban akhirat. Pemimpin yang sadar akan hal ini pasti akan berhati-hati dalam bertindak. Ia tidak akan berani mengambil satu rupiah pun uang rakyat. Ia juga tidak akan berani membuat kebijakan yang menyengsarakan orang banyak.

Bahaya Mengkhianati Amanah

Kitab Riyadus Shalihin juga membahas ciri-ciri orang munafik dalam bab ini. Hal ini menjadi peringatan keras (warning) bagi para pemimpin. Rasulullah mengaitkan hilangnya amanah dengan tanda kemunafikan.

Nabi SAW bersabda:

Menyelaraskan Minimalisme dan Konsep Zuhud: Relevansi Kitab Riyadhus Shalihin di Era Modern

“Tanda orang munafik itu ada tiga: jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia mengingkari, dan jika diberi amanah ia berkhianat.” (Muttafaqun ‘alaih)

Pemimpin yang tidak memiliki integritas sangat dekat dengan sifat nifaq. Mereka sering mengumbar janji manis saat kampanye. Namun, mereka lupa akan janji tersebut setelah duduk di kursi kekuasaan. Perilaku ini sangat mencederai kepercayaan publik.

Lebih jauh lagi, Rasulullah juga mengingatkan tentang kehancuran suatu urusan jika amanah tidak kita jaga. Nabi bersabda bahwa kiamat (kehancuran) akan terjadi jika amanah telah hilang. Sahabat bertanya bagaimana amanah itu hilang. Nabi menjawab, “Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.”

Hadis ini sangat relevan dengan praktik nepotisme. Mengangkat pejabat karena kedekatan, bukan karena kompetensi, adalah bentuk pengkhianatan amanah.

Meneladani Sifat Amanah di Era Modern

Penerapan bab amanah dari Riyadus Shalihin sangat krusial di era modern. Kita membutuhkan pemimpin yang takut kepada Allah. Integritas pemimpin harus terlihat dari transparansi anggaran dan pelayanan publik yang prima.

Masyarakat harus cerdas dalam memilih figur pemimpin. Kita harus melihat rekam jejak mereka dalam memegang amanah kecil sebelum memberikan amanah besar. Pemimpin yang meneladani Riyadus Shalihin akan bekerja dalam sunyi namun berdampak nyata. Mereka tidak butuh pencitraan berlebihan. Fokus utama mereka hanyalah menunaikan kewajiban kepada rakyat dan Tuhan.

Mari kita jadikan nilai-nilai dalam kitab ini sebagai standar moral kepemimpinan. Pemimpin yang amanah akan membawa keberkahan bagi bangsa dan negara. Sebaliknya, pemimpin yang khianat hanya akan mengundang bencana. Semoga Allah melindungi kita dari pemimpin yang tidak memiliki integritas.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement