SURAU.CO – Musibah adalah bagian dari takdir Allah dan sunnatullah kehidupan. Setiap manusia pasti mengalaminya, baik berupa sakit, kehilangan, kegagalan, bencana, atau tekanan jiwa. Namun yang membedakan seorang mukmin adalah sikapnya dalam menghadapi musibah tersebut.
Berikut sikap utama yang diajarkan Al-Qur’an dan Sunnah:
Bersabar dan Menahan Diri
Sabar bukan pasrah tanpa usaha, tetapi tetap taat, tidak mengeluh, dan menjaga lisan saat musibah datang.
Allah berfirman:
> “Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.”
(QS. Al-Baqarah: 155)
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
“Sabar itu pada saat pertama kali tertimpa musibah.”
Artinya, respon pertama kita adalah ujian iman.
Kembali kepada Allah dengan Istighfar
Musibah adalah alarm dari Allah agar hati kembali hidup dan dosa dihapuskan.
> “Dan tidaklah musibah menimpa kecuali karena perbuatan tangan manusia.” (QS. Asy-Syura: 30)
Maka memperbanyak istighfar adalah obat bagi hati yang sedang diuji.
Mengucapkan “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”
Ini bukan sekadar ucapan, tetapi deklarasi:
Kita adalah milik Allah
Allah yang menentukan
Kita akan kembali kepada-Nya
Ucapan ini menguatkan hati dan menjaga dari sikap salah terhadap takdir.
Husnuzan (Berbaik Sangka) kepada Allah
Musibah di dunia tidak pernah sia-sia. Ia bisa menjadi:
penghapus dosa,
pengangkat derajat,
cara Allah menyelamatkan kita dari bahaya yang lebih besar,
atau bentuk kasih sayang agar kita lebih dekat kepada-Nya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
> “Tidaklah Allah menetapkan suatu ketentuan bagi seorang mukmin kecuali itu baik baginya.” (HR. Muslim)
Introspeksi dan Memperbaiki Diri
Setiap musibah membawa pesan. Mukmin sejati akan bertanya pada diri sendiri:
Apa yang Allah ingin saya perbaiki?
Dosa apa yang harus saya tinggalkan?
Ibadah apa yang harus saya kuatkan?
Musibah tanpa introspeksi hanya menjadi derita, tetapi musibah dengan introspeksi menjadi pendidikan jiwa.
Berusaha, Bersedekah, dan Bertawakal
Sikap benar bukan hanya spiritual, tetapi juga tindakan:
berusaha keluar dari masalah,
berobat,
mencari solusi,
mendekatkan diri dengan sedekah,
dan menyerahkan hasil kepada Allah.
Tawakal bukan diam, tetapi berikhtiar maksimal sambil menyerahkan hasilnya kepada Allah.
Musibah Adalah Tanda Cinta Allah
Rasulullah ﷺ bersabda:
> “Jika Allah mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka.”
(HR. Tirmidzi)
Musibah bukan bukti Allah membenci,
tetapi bukti Allah membimbing.
Bagi orang beriman, musibah akan berubah menjadi:
penyucian jiwa,
peninggi derajat,
penghapus dosa,
dan jalan menuju surga.
Jangan Meninggikan Suara Dihadapan Suami
Di antara hal yang meledakkan emosi laki-laki dan membuatnya marah adalah bila istri meninggikan suara di hadapannya. Tindakan tersebut bukanlah etika yang baik. Apakah anda menerima wahai sekalian istri bila anak anda meninggikan suara di atas suara anda?
Hak suami atas diri anda amatlah besar, keutamaan yang telah diberikannya juga tidak sedikit. Akankah anda membalas hak ini dengan “menyerang”nya, yaitu dengan meninggikan suara dan meledakkan emosinya? Mungkin saja sebagian wanita terbiasa bersuara tinggi sebelum mereka menikah, ini bisa terjadi meskipun ia adalah tindakan yang salah. Akan tetapi, meninggikan suara di rumah ayah berbeda sama sekali dengan meninggikan suara di rumah suami.
Putri Sa’id ibnu Musayyab, salah seorang imam generasi tabi’in, berkata, “Kami tidak pernah berbicara dengan suami-suami kami, kecuali seperti kalian berbicara dengan pemimpin-pemimpin kalian.”
Tindakan meninggikan suara bisa menyakiti orang yang mendengar dan melecehkannya, tindakan ini tidak pantas dilakukan di hadapan suami. Maka dari itu, hendaknya para istri muslimah bertakwa kepada Allah Subhanahu Wata’ala dengan tidak meninggikan suara di hadapan suami sehingga membuatnya sakit hati. Hendaklah mereka mengingat sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,
Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لاَ تُؤْذِى امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِى الدُّنْيَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ الْحُورِ الْعِينِ لاَ تُؤْذِيهِ قَاتَلَكِ اللَّهُ فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكِ دَخِيلٌ يُوشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا
“Jika seorang istri menyakiti suaminya di dunia, maka calon istrinya di akhirat dari kalangan bidadari akan berkata: “Janganlah engkau menyakitinya. Semoga Allah mencelakakanmu sebab ia hanya sementara berkumpul denganmu. Sebentar lagi ia akan berpisah dan akan kembali kepada kami.”
(HR. Tirmidzi no. 1174 dan Ibnu Majah no. 2014. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Hendaknya istri mengetahui bahwa melakukan kesalahan dengan meninggikan suara melebihi suara suami, bisa menjadi pengajaran yang salah bagi anak-anak mereka.
Kasih Sayang Antara Keduanya
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah ditanya,
“Bagaimana hukumnya seorang istri yang meninggikan suaranya dihadapan suaminya dalam urusan-urusan rumah tangga?”
Beliau rahimahullah menjawab,
“Kami katakan bagi istri yang semacam ini bahwa meninggikan dan mengeraskan suara di hadapan suami merupakan cerminan adab yang buruk. Karena seorang suami adalah pemimpin baginya dan yang menaunginya, maka sudah sepantasnya dia memuliakan suaminya yang ketika berbicara kepadanya harus dengan adab dan sopan santun. Karena sesungguhnya yang demikian sangat lebih dipentingkan agar hubungan keduanya tetap abadi dan senantiasa dihiasai dengan kasih sayang antara keduanya.” (Fatawa Nuurun Ala Ad-Darbi, 2/19). (Tengku Iskandar, M. Pd – Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
