SURAU.CO. Masyarakat Jawa memiliki kekayaan khazanah budaya yang luar biasa. Salah satu ajaran luhur tersebut tersimpan dalam pepatah “bathok bolu isi madu“. Ungkapan ini terdengar sederhana namun memiliki makna filosofis yang sangat dalam. Orang Jawa menggunakan istilah ini untuk menggambarkan sebuah paradoks kehidupan yang indah.
Secara harfiah, bathok merupakan tempurung kelapa yang keras. Benda ini sering kita anggap murah, kasar, dan tidak berharga. Sementara itu, “bolu” merujuk pada tiga lubang alami pada tempurung tersebut. Namun, keajaiban muncul ketika benda sederhana ini justru berisi madu. Madu melambangkan sesuatu yang manis, berkhasiat, mahal, dan bernilai tinggi.
Inilah inti dari ajaran tersebut. Kita menemukan sebuah kemuliaan yang bersembunyi di balik kesederhanaan.
Bathok Bolu: Simbolisme Tubuh dan Jiwa
Leluhur kita tidak sembarangan dalam memilih metafora. Mereka menganggap bathok sebagai gambaran fisik manusia. Hal ini mencakup rupa wajah, pakaian, hingga status sosial seseorang. Semua hal tersebut hanyalah kulit luar. Sifatnya fana dan akan rusak termakan waktu.
Sebaliknya, madu mewakili sisi batiniah manusia. Ia adalah simbol dari budi pekerti luhur, ketulusan hati, dan kedalaman jiwa. Pemikir Jawa sering mengingatkan kita tentang jebakan penampilan. Manusia sering kali terjebak memuja kulit dan melupakan isi.
Kritik Sosial “Nyolong Pethek“
Pepatah ini juga membawa kritik sosial yang tajam bagi masyarakat. Logika umum mengatakan bahwa bathok tidak pantas menjadi wadah madu. Wadah emas atau keramik halus terasa lebih cocok. Namun, jika bathok justru berisi madu, orang Jawa menyebutnya nyolong pethek.
Istilah ini menggambarkan sebuah anomali atau kejutan yang tak terduga. Kita sering melihat fenomena ini dalam kehidupan nyata. Seseorang mungkin memiliki wajah biasa saja, pakaiannya pun sangat sederhana dan Ia berbicara dengan nada pelan dan sopan.
Namun, di balik tampilan bersahaja itu, tersimpan hati yang penuh kejujuran. Amal kebaikannya begitu luas. Kepekaan sosialnya bahkan melebihi orang-orang dengan pendidikan tinggi. Inilah manusia bathok bolu isi madu. Ia mengecoh pandangan mata namun memenangkan hati nurani.
Hal ini tentu berbeda dengan kondisi sebaliknya. Kita sering melihat orang berpenampilan mentereng. Gelar akademis berderet di belakang namanya. Namun, jiwanya kosong dari akhlak dan minim kontribusi bagi sesama.
Pandangan Islam tentang Kemuliaan Hati
Ajaran ini ternyata berjalan selaras dengan nilai-nilai Islam. Agama Islam tidak pernah menjadikan fisik sebagai tolak ukur kemuliaan. Rasulullah saw telah menegaskan hal ini dalam sebuah hadis. Beliau mengingatkan umatnya untuk fokus pada perbaikan hati.
Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan bentuk kalian, tetapi melihat hati dan amal kalian.” (HR. Muslim).
Allah Swt tidak menilai seberapa mahal pakaian kita dan tidak juga melihat seberapa tampan atau cantik wajah hamba-Nya. Fokus penilaian Tuhan terletak pada ketulusan niat dan wujud amal nyata. Al-Qur’an juga memberikan penegasan serupa mengenai standar kemuliaan. Allah berfirman:
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13).
Dalil-dalil tersebut menjadi landasan kuat bahwa kemuliaan sejati bukan berasal dari status sosial atau tampilan fisik tetapi ketaatan, keikhlasan, dan akhlak mulia yang hidup dalam dada menjadi penentu utamanya.
Bathok Bolu dan Fenomena Pamer di Era Modern
Relevansi pepatah ini semakin terasa kuat di zaman sekarang. Kita hidup di era media sosial yang penuh pencitraan. Banyak orang berlomba memamerkan kesalehan di ruang publik.
Mereka menampilkan ibadah demi mendapatkan pujian dan sanjungan (riya’). Filter kamera mempercantik wajah, namun belum tentu mempercantik hati. Kita lebih sibuk memoles “bathok” agar terlihat berkilau. Sementara itu, kita lupa mengisi “madu” di dalamnya. Amal ibadah yang penuh kesombongan hanyalah bathok kosong. Luarnya tampak keras dan meyakinkan, namun dalamnya hampa tanpa makna.
Contoh di lingkungan sekitar, kita mungkin menemukan sosok seorang kakek tua dengan pakaian lusuh rajin bersedekah. Ia menyisihkan rezeki yang sedikit untuk tetangga yang lebih susah. Saat orang bertanya alasannya, ia hanya menjawab, “Gusti Allah mboten sare” (Tuhan tidak tidur). Orang-orang kecil berhati luas inilah permata yang sesungguhnya.
Kembali pada Esensi
Pepatah Bathok Bolu Isi Madu adalah ajaran lintas zaman. Ia mengajak kita untuk merevisi cara pandang terhadap manusia. Kemuliaan hidup tidak terletak pada rupa. Kesederhanaan bukanlah sebuah aib atau kekurangan. Justru, kesederhanaan sering menjadi tempat paling jernih bagi ketulusan.
Manusia yang tampak kecil bisa saja menyimpan jiwa yang besar. Ukuran kesuksesan bukan sorakan penonton atau jumlah pengikut di media sosial. Manfaat yang kita tinggalkan bagi sesama adalah ukuran yang sejati.
Mari kita kembali mengurus isi, bukan sekadar memoles kulit. Saat hiruk-pikuk dunia mereda, yang tersisa hanyalah hati kita. Pastikan hati itu berisi madu yang manis, bukan sekadar tempurung kosong yang hampa. (kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
