Opinion
Beranda » Berita » Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh
Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh

 

SURAU.CO – Jeritan Korban Malapetaka Banjir Aceh. Dari Leiden, Belanda, pejuang kemanusiaan Sandyawan Sumardi meneruskan pesan WhatsApp dari Azhari Aiyub dikenal juga sebagai Si Ujud atau O Men—seorang sastrawan terkemuka asal Aceh, pendiri komunitas budaya Tikar Pandan sekaligus penulis novel Kura-Kura Berjanggut.

Berikut isi pesan Azhari yang saya salin lengkap agar kita memperoleh gambaran tentang kondisi Aceh saat ini:

“Mulai dari Peureulak sampai Panton Labu, sinyal telepon hilang. Listrik padam. Elpiji mulai habis. Warung-warung di depan Masjid Julok sejak kemarin sudah tidak jualan nasi lagi. Masjid Julok yang sejak kemarin menampung banyak musafir sudah kehabisan air untuk MCK.

Pemerintah Lokal Lumpuh dan Kebingungan

Tumpukan kendaraan terjadi di setiap titik banjir. Tidak ada alat berat untuk sekadar menyingkirkan pohon tumbang di jalan. Pemerintah lokal lumpuh dan kebingungan. Tapi warga saling bantu.

Strategi Membangun Masyarakat Madani Melalui Nilai-Nilai Hadis yang Autentik

Pengurus Masjid Kubra sangat pemurah dan membantu banyak musafir dengan memberikan stok air bersih yang mereka punya. Bersamaku juga ada beberapa orang Tionghoa yang singgah di masjid dan menggunakan air untuk MCK.

Walaupun kondisi darurat, pedagang di Keude Kuta Binjai Julok tetap tidak menaikkan harga barang. Harga Aqua besar masih Rp 6.000, walaupun mereka tahu elpiji besok akan habis dan barang-barang di toko sudah kosong.

Kontak Telekomunikasi Mati Total

Di beberapa ruas jalan, penduduk, pemuda, dan remaja membuat pagar betis ketika ada truk atau bus melewati genangan air agar tidak tergelincir keluar jalur. Mereka kesulitan, karena untuk bergerak dari satu titik ke titik lain bahkan yang jaraknya hanya 500 meter—hampir tidak mungkin karena dihalangi air. Banyak orang akhirnya terjebak di titik-titik seperti itu, tidak bisa menghubungi keluarga atau kehilangan kontak karena telekomunikasi mati total.

Pantai timur Aceh itu sepanjang 300 kilometer. Di sepanjang itulah banjir terjadi, belum lagi wilayah di atasnya, yang kebanyakan orang tidak tahu jalan keluar ketika banjir bandang datang.

Jalan Aceh–Medan sebenarnya sangat rentan. Hampir satu juta orang tergantung pada jalan itu. Karena situasi banjir, truk dalam sehari hanya mampu bergerak lima kilometer.

Sinergi Hukum dan Moralitas dalam Kitab Riyadus Shalihin: Membentuk Pribadi Muslim Utuh

Perkebunan Yang Memakan Lahan Hutan

Semoga korban banjir di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dapat segera memperoleh bantuan.

Pemerintah harus menghentikan pembalakan hutan, tambang ilegal, dan perluasan perkebunan yang memakan lahan hutan. Di berbagai tempat, kayu-kayu log dari penebangan liar menimpa rumah warga dan menutupi jalur evakuasi.

Jangan sampai Sumatera kita tenggelam. Bagi orang Aceh, bencana banjir ini adalah tsunami kedua—tetapi yang satu ini dibuat oleh manusia.” —Azhari Aiyub, Aceh

Mujur tak teraih, nahas tak tertolak

Kepala BNPB, sebagai lembaga resmi pemerintah dalam penanggulangan bencana, enggan memaklumatkan malapetaka banjir bandang di Aceh sebagai Bencana Nasional, dengan alasan “belum memenuhi kriteria.”

Tanpa mengetahui apa sebenarnya yang dimaksud dengan “memenuhi kriteria,” saya pribadi hanya bisa berharap: Insya Allah, Presiden Prabowo sebagai Panglima Tertinggi Republik Indonesia—tanpa terikat pada definisi BNPB—berkenan mengerahkan laskar TNI untuk segera membantu para korban yang kini berjuang bertahan hidup.

Menggali Makna Reformasi Birokrasi dan Semangat “Itqan” Demi Pelayanan Prima

Inilah pengejawantahan sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Sila kedua menekankan pentingnya sikap menghormati hak asasi manusia (HAM), memperlakukan sesama dengan adil, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Ini berarti: Menghindari diskriminasi (ras, agama, suku, gender, status sosial, dll). Menolong orang yang membutuhkan, menghargai perbedaan pendapat, dan menjaga keharmonisan sosial. Mengutamakan keadilan dalam setiap tindakan, baik dalam keluarga, masyarakat, maupun negara. Yang semestinya tidak berhenti sebagai slogan, melainkan hadir dalam tindakan nyata. MERDEKA! Oleh: Jaya Suprana. (Husnie)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement