SURAU.CO – Waktu berjalan begitu cepat. Teman yang dulu menemani masa muda perlahan pergi dengan kesibukan masing-masing. Lingkaran pergaulan yang dulu luas, seiring usia menjadi semakin sempit. Pada akhirnya, ketika rambut mulai memutih dan tenaga tidak sekuat dulu, ada satu orang yang tetap bertahan di sisi kita: pasangan hidup.
Inilah makna mendalam dari pernikahan dalam Islam. Ia bukan hanya ikatan lahiriah, tetapi juga persahabatan ruhani yang semakin kokoh seiring perjalanan hidup.
Ibnu Katsir rahimahullah mengungkapkan sebuah kalimat yang sangat indah:
“Tidak ada persahabatan yang lebih besar di antara dua ruh dibandingkan persahabatan antara pasangan suami istri.”
Betapa benar perkataan tersebut. Pasangan adalah orang yang menyaksikan seluruh sisi diri kita—baik, buruk, kuat, lemah, bahagia, dan luka, namun tetap memilih bertahan. Ia adalah teman berbagi keluh, penguat dalam ujian, dan tempat pulang paling aman setelah dunia melelahkan.
Pasangan adalah saksi perjalanan hidup
Ia yang menyaksikan bagaimana kita berjuang membangun rumah tangga, mendidik anak, menghadapi ujian, hingga bangkit dari kegagalan. Tidak ada yang tahu diri kita sedalam ia tahu.
Persahabatan dalam pernikahan tidak bergantung pada masa muda
Teman masa muda bisa berpisah karena jarak, pekerjaan, atau urusan dunia.
Namun suami dan istri terikat oleh janji suci untuk saling menjaga, saling mendampingi, dan saling menguatkan sampai akhir hayat.
Menjadi tua bersama adalah anugerah, bukan beban
Betapa indahnya ketika keriput di wajah menjadi bukti kesetiaan. Ketika tangan yang mulai gemetar tetap saling menggenggam.
Ketika suara yang melemah masih saling memanggil dengan sayang.
Inilah indahnya pernikahan dalam Islam—perjalanan dua jiwa yang saling menolong menuju ridha Allah.
Jadikan pasangan sahabat terbaik
Karena sahabat sejati bukanlah yang datang saat kita jaya, tetapi yang tetap tinggal saat dunia terasa sepi. Dan dalam pernikahan, Allah mengizinkan kita merasakan bentuk persahabatan paling tinggi nilainya.
Maka rawatlah hubungan itu. Hargai pasanganmu, maafkan kekurangannya, dan doakan kebaikannya.
Sebab pada akhirnya, hanya dialah yang akan menua bersamamu, mengisi hari-harimu, dan menemanimu hingga salah satu dari kalian dipanggil pulang oleh Allah.
Jangan Tunduk Kepada Manusia, Tapi Tunduklah Kepada Allah
Hakikat kemuliaan bukan terletak pada harta, jabatan, atau kedudukan di sisi manusia. Kemuliaan sejati adalah ketundukan kepada Allah dengan penuh ikhlas dan tawadhu‘, disertai keengganan untuk tunduk kepada selain-Nya dalam perkara batil.
“Siapa menghinakan diri di hadapan Allah, Allah memuliakannya di hadapan manusia. Siapa meninggikan diri di hadapan manusia dan melupakan Allah, Allah menghinakannya di dunia dan akhirat.”
Allah Ta‘ala berfirman:
“Dan janganlah kamu merendahkan dirimu kepada orang-orang yang Kami beri kesenangan hidup dunia, sedangkan Kami telah menutupkan pandangan mereka dari mengingat Kami.” (QS. Al-Kahfi: 28)
Dan Allah juga berfirman:
“Dan janganlah kamu menghina dirimu, dan jangan bersedih hati; kamu adalah orang-orang yang paling tinggi derajatnya jika kamu beriman.” (QS. Ali ‘Imran: 139)
Asy-Syaikh al-‘Utsaimin menjelaskan bahwa banyak orang merendahkan diri di hadapan sesama, baik karena kekayaan, kedudukan, atau jabatan, untuk meraih manfaat duniawi atau menghindari kehilangan sesuatu.
Beliau menegaskan:
“Ketundukan hati yang benar adalah kepada Allah semata. Adapun tunduk kepada manusia dalam hal dunia, maka itu adalah kehinaan. Tidak ada kemuliaan bagi hati kecuali dengan tunduk dan merendah di hadapan Rabb-nya.”
(Syarh al-Qaul al-Mufid, 1/130)
Demikian pula, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
“Siapa merendahkan diri
kepada Allah, Allah meninggikannya. Siapa meninggikan diri pada makhluk, Allah menghinakannya.”
(Madarijus Salikin, 2/333). (Tengku Iskandar, M. Pd – Duta Literasi Pena Da’i Nusantara Provinsi Sumatera Barat)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
