SURAU.CO. Frekuensi Berhubungan Intim Menurut Syariat. Syariat Islam tidak menetapkan frekuensi hubungan intim secara spesifik. Selanjutnya, Frekuensi tersebut bergantung pada kemampuan, kebutuhan, dan kondisi masing-masing pasangan. Kewajiban suami adalah memenuhi kebutuhan biologis istri selama tidak ada halangan syar’i seperti haid atau nifas, serta tidak menyebabkan ia lemah dalam ibadah atau mencari nafkah.
Menurut syariat Islam, tidak ada frekuensi pasti atau batasan jumlah tertentu untuk berhubungan intim antara suami dan istri. Masing-masing pasangan menyerahkan hal ini pada kesepakatan, kemampuan, dan kebutuhan biologis mereka. Pasangan-pasangan tersebut memenuhi hak dan kewajiban masing-masing dengan prinsip saling ridha.
Frekuensi hubungan intim yang ideal ditentukan oleh kesepakatan dan kondisi kedua belah pihak. Yang terpenting adalah pemenuhan kewajiban suami terhadap kebutuhan batin istri tanpa mengorbankan hak-hak lain, seperti ibadah dan mencari nafkah, dan tetap menjaga kondisi fisik serta saling menghargai keinginan satu sama lain.
Syariat Islam mengajarkan bahwa hubungan suami istri harus didasari oleh rasa cinta. Pasangan suami istri hendaknya saling mengerti satu sama lain. Suami dan istri memikul tanggung jawab bersama untuk memenuhi kebutuhan pasangannya. Setiap pasangan wajib memenuhi kebutuhan satu sama lain. Tujuan dari semua ajaran tersebut adalah menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Pertimbangan frekuensi hubungan intim
- Kondisi dan kemampuan individu: Frekuensi ideal bervariasi tergantung pada usia, kesehatan fisik, stamina, dan tingkat nafsu syahwat masing-masing pasangan.
- Kebutuhan dan keinginan: Kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan biologis istri, namun tidak boleh memaksa jika istri tidak dalam kondisi fit atau tidak ingin.
- Keseimbangan ibadah: Suami dianjurkan untuk tidak terlalu memforsir diri dalam ibadah sehingga lemah dan tidak mampu memenuhi hak istri, termasuk hubungan intim.
- Pendapat ulama:
- Beberapa pendapat menyarankan frekuensi (hubungan suami istri) setiap empat hari sekali. Saran ini didasarkan pada jumlah maksimal istri yang boleh dipoligami. Imam al-Ghazali mendukung dan menyampaikan pandangan ini.
- Pendapat lain menyebutkan kewajiban berhubungan intim satu kali dalam waktu tertentu jika istri mengadu kurangnya nafkah batin.
- Tidak ada batasan maksimal: Syariat Islam tidak melarang hubungan intim setiap hari jika kedua belah pihak menginginkannya dan tidak ada halangan.
- Halangan syar’i: Hubungan intim tidak dianjurkan saat istri sedang haid atau nifas.
Filosofi
Filosofi frekuensi berhubungan intim menurut syariat Islam menekankan pada pemenuhan kebutuhan biologis dan kasih sayang bersama secara adil dan bijaksana, tanpa adanya batasan frekuensi yang kaku. Syariat Islam tidak menetapkan jumlah kali yang pasti, melainkan menyerahkan keputusan tersebut kepada kesepakatan dan kemampuan masing-masing pasangan, dengan tetap memprioritaskan keharmonisan rumah tangga.
- Pemenuhan Hak dan Kewajiban: Hubungan intim adalah hak bagi suami maupun istri (nafkah batin), dan masing-masing pihak wajib berusaha memenuhinya. Suami berdosa jika ia menahan diri terlalu lama tanpa alasan yang syar’i. Tindakan suami tersebut menyebabkan penderitaan bagi istrinya. Sebaliknya, istri juga tidak boleh menolak ajakan suami tanpa alasan yang dibenarkan agama.
- Mencapai Mawaddah dan Rahmah: Tujuan utama pernikahan dalam Islam adalah menciptakan kedamaian, cinta (mawaddah), dan kasih sayang (rahmah). Hubungan intim berfungsi sebagai salah satu cara untuk mempererat ikatan emosional dan menjaga keharmonisan rumah tangga.
- Menjaga Diri dari Maksiat: Dengan terpenuhinya kebutuhan biologis secara halal dalam ikatan pernikahan, pasangan suami istri dapat menjaga diri dari godaan dan perbuatan maksiat (zina).
- Fleksibilitas dan Kemaslahatan: Islam adalah agama yang fleksibel. Frekuensi hubungan intim disesuaikan dengan kondisi fisik, kesehatan, usia, dan kesepakatan kedua belah pihak. Tidak ada dosa dalam berhubungan setiap hari atau beberapa kali seminggu, selama tidak menimbulkan keluhan atau mudarat.
Pandangan Ulama Mengenai Frekuensi
Meskipun tidak ada dalil eksplisit yang menyebutkan jumlah frekuensi tertentu, beberapa ulama memberikan pandangan berdasarkan ijtihad dan kemaslahatan:
- Tidak Ada Batasan Maksimal: Mayoritas ulama sepakat bahwa tidak ada batasan maksimal seberapa sering pasangan boleh berhubungan, selama kedua belah pihak ridha dan mampu secara fisik.
- Minimal Empat Kali Sebulan: Beberapa ulama, yang merujuk pada masa Khalifah Umar bin Khattab, berpendapat tentang kewajiban suami. Kewajiban tersebut adalah untuk memenuhi hak istri dan mencegah kerusakan, dengan batasan tertentu kecuali ada alasan yang sah menurut hukum Islam. Pendapat ini menekankan pentingnya menjaga keharmonisan rumah tangga sesuai pandangan fikih.
- Sesuai Kebutuhan dan Kemampuan: Saran dari para ulama kontemporer seperti Buya Yahya dan lainnya, lebih menekankan komunikasi antar pasangan untuk menemukan frekuensi yang ideal dan nyaman bagi keduanya, dengan tetap mengutamakan keadilan dan tanggung jawab.
Tujuan
Tujuan hubungan intim dalam syariat Islam adalah untuk memperkuat ikatan suami-istri, menjaga keturunan, menyalurkan hasrat biologis secara halal, mendapatkan ketenangan jiwa, dan menjaga diri dari zina. Frekuensi ideal bergantung pada kondisi masing-masing pasangan, tetapi yang terpenting adalah komunikasi terbuka antara suami-istri.
Tujuan berhubungan intim
- Memperkuat ikatan: Hubungan intim merupakan salah satu cara untuk mempererat kasih sayang dan keharmonisan rumah tangga.
- Mendapatkan keturunan: Hubungan badan yang dilakukan dengan niat untuk memiliki keturunan adalah tujuan yang mulia.
- Menyalurkan hasrat biologis: Islam membolehkan penyaluran hasrat biologis secara halal dalam pernikahan untuk mencegah perbuatan zina.
- Mendapatkan ketenangan jiwa: Hubungan intim dapat memberikan ketenangan dan kepuasan lahir batin bagi pasangan.
- Menjalankan sunnah: Menjalankan perintah Allah dan sunnah Rasulullah SAW untuk mendapatkan pahala.
Frekuensi hubungan intim
- Tidak ada patokan pasti: Tidak ada batasan frekuensi yang pasti dan kaku, karena kebutuhan setiap pasangan berbeda-beda tergantung usia, kondisi fisik, dan kebutuhan masing-masing.
- Komunikasi adalah kunci: Yang terpenting adalah komunikasi yang terbuka dan jujur antara suami dan istri mengenai kebutuhan dan keinginan masing-masing.
- Menghindari pemaksaan: Suami tidak boleh memaksa istri jika istri tidak dalam kondisi yang diinginkan atau tidak siap secara fisik dan mental.
- Menghindari kondisi haram: Hubungan intim tidak diperbolehkan saat istri dalam kondisi haid atau nifas.
Pentingnya menjaga keharmonisan
- Seseorang dapat menurunkan kenikmatan dan gairah jika melakukan hubungan intim terlalu sering. Pasangan suami-istri perlu memperhatikan kondisi mereka agar hubungan intim tidak menurunkan kenikmatan dan gairah.
- Orang dapat mempererat keharmonisan dengan berpelukan, berciuman, dan melakukan kegiatan bersama lainnya. Cara tersebut merupakan pilihan selain melakukan hubungan intim.
- Kita harus menjaga keharmonisan hubungan. Menjaga keharmonisan hubungan merupakan bagian dari menjaga keharmonisan keluarga yang diridhai Allah.
Kesimpulan :
- Tidak Ada Batasan Kuantitatif Tetap: Islam tidak menetapkan jumlah minimum atau maksimum yang kaku untuk berhubungan intim. Dorongan dan kebutuhan seksual pasanganlah yang menjadi penentu frekuensinya.
- Kewajiban Saling Memenuhi: Hubungan intim adalah hak dan kewajiban bersama dalam pernikahan. Suami dan istri wajib berusaha memenuhi kebutuhan biologis pasangannya selama tidak ada halangan syar’i (seperti haid atau sakit).
- Prinsip Kebutuhan dan Kemaslahatan: Frekuensi ideal adalah yang dapat menjaga keharmonisan rumah tangga, mencegah perbuatan zina, dan memberikan ketenangan batin bagi kedua belah pihak.
- Saran Ulama (Optional): Beberapa ulama, seperti Imam al-Ghazali, menyarankan frekuensi tertentu (misalnya, sekali dalam empat malam) berdasarkan kondisi umum, namun hal ini lebih merupakan anjuran untuk memastikan terpenuhinya hak istri jika suami memiliki kemampuan, bukan hukum wajib yang mengikat secara kaku untuk semua pasangan.
- Fleksibel dan Komunikatif: Kami menganjurkan pasangan untuk berkomunikasi secara terbuka mengenai kebutuhan dan keinginan mereka. Mereka perlu mencapai kesepakatan yang saling menyenangkan dan menyehatkan secara fisik. Kesepakatan tersebut juga penting untuk kesehatan psikologis.
(mengutip dari berbagai sumber)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
