SURAU.CO-Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengklasifikasikan manusia berdasarkan hubungan mereka dengan dzikir (mengingat Allah) dan cahaya spiritual:
“Ada kaum yang cahaya mereka mendahului dzikir mereka. Ada kaum yang dzikir mereka mendahului cahaya mereka. Ada kaum yang sama antara dzikir dan cahaya mereka. Dan, ada kaum yang tidak memiliki dzikir dan cahaya. Kita berlindung kepada Allah Swt. dari kelompok ini.”
Ungkapan dari Syekh Ibnu ‘Athaillah menegaskan bahwa manusia terbagi menjadi empat golongan utama dalam perjalanan spiritual mereka.
Cahaya yang Mendahului Dzikir (Golongan Majdzub)
Syekh Ibnu ‘Athaillah menerangkan bahwa golongan ini adalah kaum yang mendapatkan cahaya Allah Swt. terpatri di dalam hati mereka sebelum mereka rajin dan konsisten berdzikir. Ini adalah karunia-Nya yang Allah berikan hanya kepada orang yang Dia inginkan melalui tarikan Ilahi (Jadzb).
Dengan cahaya murni ini, mereka akan semakin rajin berdzikir, karena hati mereka sudah merasakan kenikmatan ruhaniah yang terkandung di dalamnya. Dzikir bagi mereka adalah respons syukur, bukan lagi sekadar usaha untuk mencapai pencerahan.
Dzikir yang Mendahului Cahaya (Golongan Salik)
Menurut Syekh Ibnu ‘Athaillah ini adalah bentuk yang paling umum terjadi dan merefleksikan perjalanan Suluk. Ketika seseorang rajin dan konsisten berdzikir, maka ia akan mendapatkan cahaya-Nya. Dzikir berfungsi sebagai riyadhah (latihan spiritual) yang membersihkan hati.
Cahaya yang Dia berikan itu akan terus mendorongnya menjadi hamba yang tidak putus-putusnya berdzikir. Akhirnya, ia akan merasakan bahwa dzikir telah menjadi darah dagingnya, menjadi kebutuhan esensial, dan bukan lagi beban.
Dzikir yang Bersamaan dengan Cahaya (Golongan Wasl)
Syekh Ibnu ‘Athaillah menjelaskan bahwa kaum ini mendapatkan cahaya-Nya bersamaan dengan dzikir yang mereka lantunkan. Dzikir dan penyaksian cahaya terhunjam secara simultan di dalam hati mereka, menandakan keselarasan sempurna antara usaha hamba dan karunia Rabb.
Mereka juga akan mendapatkan kenikmatan ruhiyah yang luar biasa. Oleh sebab itu, menurut Syekh Ibnu ‘Athaillah mereka terdorong untuk rajin dan konsisten berdzikir secara berkelanjutan. Syekh Ibnu ‘Athaillah menambahkan bahwa bagi golongan ini, dzikir memberikan petunjuk (hidayah), dan cahaya menjadi pedoman (berpedoman) yang menuntun mereka menuju Rabb mereka.
Tidak Memiliki Dzikir dan Cahaya (Golongan yang Merugi)
Ini menurut Syekh Ibnu ‘Athaillah adalah kaum yang merugi, baik di dunia maupun akhirat. Di dunia, mereka akan terus-menerus hidup dalam kegelapan dan kesengsaraan yang tidak ada ujungnya, terhijab dari kebenaran. Di akhirat, mereka akan mendapatkan azab yang pedih. Kita berlindung kepada Allah Swt. agar tidak termasuk ke dalam kelompok keempat ini, sebab ia hanya akan membawa kecelakaan dan kesengsaraan abadi.
Mengenal Posisi Diri dalam Dzikir
Dengan mengenal klasifikasi ini, Syekh Ibnu ‘Athaillah dalam Al-Hikam menyarankan agar kita dapat mengidentifikasi dan mengevaluasi kualitas ibadah kita. Jika hati kita masih kotor dan dipenuhi debu maksiat, maka cahaya Ilahi akan mengikis kotoran tersebut sedikit demi sedikit seiring dengan konsistensi dzikir. Sebaliknya, jika hati kita sudah diterangi, maka dzikir akan menjadi ekspresi cinta yang memperkuat kenikmatan ruhani.
Kenikmatan cahaya spiritual yang terasakan oleh ahli dzikir memang tidak dapat kita bandingkan dengan kenikmatan materi apa pun yang ada di dunia ini. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk berjuang mencapai salah satu dari tiga golongan pertama.(St.Diyar)
Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
