SURAU.CO-Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam menjelaskan:
“Kita tunduk kepada alam semesta karena belum menyaksikan Penciptanya. Jikalau kita telah menyaksikan-Nya, maka alam semesta akan tunduk kepada kita.“
Selama kita masih tidak bisa menyaksikan Zat yang menciptakan alam semesta ini, maka kita akan tunduk kepada alam semesta ini secara terus-menerus, sibuk dengan materi-materi dan kenikmatan yang ada di dalamnya, serta mencintai dan terhijab dari cahaya Allah Swt.
Allah Swt. telah membuat jalur-jalur yang bisa kita tempuh untuk mendapatkan cahaya-Nya dan sampai ke hadirat-Nya. Jikalau kita menginginkan-Nya, maka tempuhlah itu. Jangan sampai kita terus-menerus berada di pangkal jalan, tanpa ada keinginan melangkah menuju kemuliaan. Kenikmatan yang kita rasakan di dunia ini memang menipu, padahal nikmat tersebut tidak abadi dan tidak bernilai jikalau Dibandingkan dengan kenikmatan yang ada di sisi-Nya.
Janganlah kita memiliki cita-cita yang kecil. Jadikanlah Allah Swt. sebagai cita-cita kita, maka dunia dan seisinya akan tunduk kepada kita. Bagaimana tidak, Dia-lah yang menciptakan semua yang ada di dunia ini. Dia-lah yang menentukan rezeki dan jalan kehidupan kita. Jikalau kita Dia tetapkan kaya, maka kita akan kaya. Jikalau kita Dia tetapkan miskin, maka kita akan miskin, walaupun kita cinta mati kepada dunia ini.
Sifat Keistimewaan yang Diberikan oleh Allah
Syekh Ibnu ‘Athaillah dalam Al-Hikam menjelaskan hakikat karamah (keistimewaan):
“Adanya keistimewaan bukan berarti harus menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan. Perumpamaan keistimewaan adalah seperti cahaya matahari di siang hari. Ia kelihatan di segala penjuru, tetapi ia bukanlah berasal darinya. Terkadang, matahari sifat-sifat Allah Swt. bercahaya malam wujudnya. Dan, terkadang, Dia mengambilnya dari kita dan mengembalikan kita ke batas semula. Siang bukan berasal dari kita dan untuk kita, akan tetapi ia hanya menghampiri kita.”
Ketika kita mendapatkan keistimewaan dari Allah Swt., misalnya mendapatkan karamah, maka bukan berarti kita kehilangan sifat kemanusiaan kita. Kita masih memiliki hasrat makan ketika lapar, minum ketika haus, tidur ketika mengantuk, dan lain-lain. Kedudukan kita tentu tidak bisa melebihi kedudukan para nabi dan rasul. Mereka telah mendapatkan kedudukan mulia di sisi-Nya, namun sifat kemanusiaannya tetap tidak bisa dilepaskan. Cobalah kita perhatikan kitab-kitab sejarah, bukanlah mereka juga menikah layaknya kebanyakan manusia?! Bukanlah mereka juga marah jikalau ada sesuatu yang menyinggung perasaan, terutama sesuatu yang berkaitan dengan hak Rabb mereka?!
Perumpamaan Karamah
Perumpamaan karamah atau keistimewaan yang kita dapatkan adalah seperti cahaya matahari di siang hari yang menerangi seluruh negeri. Jikalau kita tidak mengerti, tentu kita akan mengira cahaya itu berasal dari negeri tersebut. Tetapi, kenyataannya tidak. Cahaya itu bukanlah dari sana. Itu adalah cahaya yang dipancarkan oleh matahari. Matahari adalah sumber cahaya. Dan, negeri itu tetaplah negeri, yang hanya bisa menerima cahaya.
Begitulah kira-kira perumpamaan sebuah karamah. Keistimewaan yang kita dapatkan adalah milik-Nya semata. Jangan kita sangka bahwa kita-lah yang mendapatkannya dengan sendirinya. Tidak, kita salah paham. Jikalau suatu hari Allah Swt. ingin mencabut karamah itu dari kita, maka Dia bisa melakukannya. Itu tidaklah sulit bagi-Nya. Walaupun kita telah mendapatkan karamah, namun sifat-sifat kita sebagai manusia tetap tidak akan hilang. Hanya saja, keuntungannya, hati kita akan semakin bersih dari segala bentuk kotoran dan maksiat.
Terkadang, Allah Swt. akan menerangi kegelapan yang ada di dalam diri kita. Sehingga, kita mampu menyingkap rahasia di balik suatu kejadian, atau kejadian-kejadian yang pernah kita alami. Dan, terkadang Dia akan mencabut kemampuan itu dari kita. Sehingga, kita berada di dalam kegelapan. Persis dengan matahari yang terbit dan tenggelam.
Ingatlah, cahaya yang menyibak kegelapan dalam diri kita bukanlah berasal dari kita dan Ditujukan kepada kita. Tetapi, semua itu adalah karunia yang agung dari Sang Maha Pencipta. Syukurilah, karena kita menjadi bagian dari para hamba-Nya yang terpilih.(St.Diyar)
Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
