SURAU.CO-Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam menjelaskan:
“Seorang pencinta tidak akan mengharapkan kompensasi atau meminta penawaran kepada kekasihnya. Pencinta sejati adalah orang yang berkorban untuk kita, bukan kita yang berkorban untuknya.“
Jikalau kita benar-benar mencintai Allah Swt., maka kita tidak akan mengharapkan kompensasi apa pun dari ibadah dan ketaatan yang kita kerjakan. Jikalau kita mengerjakan salat, maka kita ikhlas mengerjakannya, bukan atas dasar embel-embel atau keinginan yang kita dapatkan.
Siapakah Pecinta Sejati Itu
Sama halnya jikalau ada seseorang yang mengatakan kepada kita bahwa ia mencintai kita. Tetapi, di balik itu, ia mengharapkan kita memberikannya sesuatu, atau memberikan penawaran yang justru akan menguntungkan dirinya. Jikalau kita pikirkan dengan baik, apakah ini bisa digolongkan pencinta sejati?!
Ya, tentu tidak. Seorang pencinta sejati tidak akan pernah mengharapkan apa pun dari kita. Perumpamannya yakni jikalau ia mencintai kita, maka cintanya benar-benar tulus dari dalam hatinya. Tidak ada hasrat dunia atau materi yang dia harapkan dari kita, bahkan ia rela mengorbankan semua yang ia miliki demi kita.
Sekarang, cobalah kita perhatikan diri kita. Apakah kita benar-benar mencintai Allah Swt.?! Jangan-jangan, itu hanyalah klaim di mulut belaka, tanpa ada kenyataannya di dalam hati. Jangan sampai cinta kita kepada-Nya hanyalah cinta palsu. Jikalau kita tidak mendapatkan sesuatu yang kita inginkan, maka itu berarti kita lalai menjalankan perintah-Nya, bahkan justru rajin melanggar aturan-Nya.
Tidak, jangan kita lakukan itu. Jikalau kita adalah pencinta sejati, lakukanlah segala ketaatan kepada-Nya dengan penuh keikhlasan. Bahkan, kita harus rela mengorbankan diri dan harta kita demi menegakkan agama-Nya. Misalnya, ketika kita diminta berjihad, baik dengan harta maupun jasad kita, maka bersegeralah menjalankannya.
–Syekh Ibnu ‘Athaillah berpesan agar kita menjadi pencinta sejati, maka dengan sendirinya kita akan mendapatkan tujuan-tujuan yang selama ini diinginkan setiap manusia. Jikalau Allah Swt. adalah tujuan kita, maka Dia akan memberikan segalanya kepada kita. Dia-lah Zat Yang Maha Kuasa.
Nafsu Adalah Jarak yang Harus Kita Tempuh
Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari mengajarkan tentang hakikat perjalanan spiritual:
“Jikalau bukan karena medan nafsu, maka tidak akan ada perjalanan orang-orang yang menuju Allah Swt. Sebab, tidak ada jarak yang harus ditempuh dalam perjalanan antara kita dan diri-Nya, dan tidak ada rintangan yang harus kita seberangi antara kita dan diri-Nya.”
Nafsu memang akan selalu memerintahkan kita melakukan perbuatan-perbuatan yang keji dan mungkar. Nafsu tidak akan rela jikalau kita berada di jalan ibadah dan ketaatan kepada Allah Swt. Fitrah nafsu memang condong kepada perbuatan-perbuatan yang haram, yang seakan-akan nikmat dan lezat. Jikalau kita tidak hati-hati, maka kita akan celaka.
Allah Swt. sengaja menciptakan nafsu untuk membentangkan jarak antara diri kita dan diri-Nya. Ibarat dua negeri yang dipisahkan oleh padang pasir yang luas, maka negeri pertama adalah negeri tempat kita berada. Sedangkan kita ingin menuju negeri kedua, yaitu negeri-Nya. Tidak ada yang bisa kita lakukan, kecuali harus melalui padang pasir tersebut. Banyak ancaman yang akan kita hadapi, mulai dari kelaparan, kehausan, letih dan lelah, bahkan kita harus menghadapi kematian.
Para Perindu Allah Selalu Siap Melakukan Apa Pun
Syekh Ibnu ‘Athaillah menerangkan bahwa orang yang tidak kuat menjalani semua itu maka ia memutuskan untuk tidak melakukan perjalanan, dan memilih menetap di negeri sendiri sembari menikmati semua yang dia miliki. Sedangkan orang yang rindu kepada Allah Swt. akan siap melakukan apa pun, asalkan bisa sampai ke sana, yaitu negeri yang penuh keabadian dan kenikmatan.
Begitulah kira-kira perumpamaan antara nafsu dengan Allah Swt. Dia menciptakan sesuatu tidak pernah sia-sia. Semua ciptaan-Nya pasti ada tujuannya, baik kita ketahui maupun tidak. Dan, salah satu tujuan penciptaan nafsu adalah untuk menguji kita. Kita hanya memiliki dua pilihan; jikalau tidak menghadapinya, maka kita harus mengikutinya. Jikalau kita mengikutinya, maka neraka siap menanti kita. Namun, jikalau kita melawannya, maka surga dan kenikmatannya yang akan menunggu kita.
Sudahlah. Kita adalah hamba-Nya, dan kewajiban seorang hamba adalah berbakti kepada-Nya. Jangan biarkan diri kita hidup dalam kegelapan. Segeralah menuju hadirat-Nya. Sebab, di sanalah tempat kenikmatan yang hakiki. Jangan tertipu oleh rayuan hawa nafsu. Sebab, nafsu adalah senjata setan untuk menyesatkan kita.(St.Diyar)
Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
