SURAU.CO-Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam menjelaskan:
“Bukanlah dikatakan sebagai orang yang tawadhu’ jikalau ia tawadhu’ kemudian merasa lebih tinggi dari sesuatu yang dikerjakan. Akan tetapi, orang tawadhu’ adalah orang yang jikalau tawadhu’ maka ia melihat dirinya lebih rendah dari sesuatu yang Dikerjakan.”
Jangan Tergesa-gesa Merasa Sebagai Orang yang Tawadhu’
Ada pun Syekh Ibnu ‘Athaillah dalam Al-Hikam berpesan agar kita jangan tergesa-gesa merasa bahwa kita adalah orang yang tawadhu’, bahkan jangan pernah merasa sama sekali. Biarlah Allah Swt. semata-mata yang menilai perbuatan kita. Dia yang akan meninggikan kita dan membuat kita dikenal di tengah khalayak ramai.
Syekh Ibnu ‘Athaillah dalam kitabnya Al-Hikam menegaskan bahwa jikalau kita mengerjakan suatu amal saleh, kemudian kita merasa bahwa yang kita kerjakan itu sungguh luar biasa, maka itu bukanlah sifat tawadhu’. Ingatlah bahwa yang kita kerjakan itu belum layak Dibanggakan di sisi-Nya. Bahkan, kita tidak akan pernah memasuki surga-Nya dengan amalan kita, akan tetapi dengan rahmat-Nya.
Jikalau kita sudah mengerjakan suatu ibadah dengan seoptimal mungkin, baik kualitas dan kuantitasnya, kemudian kita masih merasa bahwa amalan itu belum cukup untuk kita persembahkan kepada-Nya, maka itu menurut Syekh Ibnu ‘Athaillah dalam kitabnya Al-Hikam adalah sikap tawadhu’ yang layak kita pertahankan.
Ketahuilah, bahwa tawadhu’ itu bukanlah membanggakan ketawadhu’an kita di hadapan manusia, akan tetapi terus merasa kurang dan lemah, walaupun kita sudah mempersembahkan semua kemampuan terbaik kita untuk beribadah kepada-Nya.
Sumber Tawadhu’ yang Hakiki
Dalam Al-Hikam, Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari menyebutkan asal muasal kerendahan hati:
“Tawadhu’ yang hakiki adalah bersumber dari kemampuan menyaksikan keagungan Allah Swt. dan tajalli (penampakan) sifat-Nya.”
Tawadhu’ yang sebenarnya menurut Syekh Ibnu ‘Athaillah dalam kitabnya Al-Hikam adalah ketika kita merendahkan hati kita di hadapan Allah Swt. dan khalayak manusia, yaitu ketika kita menyaksikan kebesaran dan sifat-Nya. Misalnya, kita adalah seorang ulama yang mendapat puji dan kehormatan dari mana-mana, terkenal kesalehan dan keluasan ilmu pengetahuan agamanya. Syekh Ibnu ‘Athaillah berpesan agar jangan sampai kita sombong. Maka tetaplah tawadhu’. Lihatlah kebesaran-Nya. Apakah kita layak disandingkan dengan diri-Nya?!
Tidak, sama sekali tidak. Syekh Ibnu ‘Athaillah dalam Al-Hikam mengatakan bahwa di hadapan-Nya, kita hanyalah makhluk kecil yang tidak ada artinya sama sekali. Sesuatu yang kita banggakan hanyalah sekelumit kelebihan yang Dia berikan kepada kita. Ibarat tetesan embun yang jatuh di tengah lautan. Tentu, setetes embun itu tidak akan menambah debit airnya, dan sama sekali tidak kelihatan efeknya. Bahkan, keberadaannya sama saja dengan ketiadaannya. Sadarilah hal itu, dan bersikaplah tawadhu’.
Kemudian, lihatlah sifat-Nya. Apakah kita juga layak disandingkan dengan-Nya? Tentu saja tidak. Sifat yang kita miliki sekarang ini adalah semata-mata hembusan karunia-Nya. Dia bisa mencabutnya kapan pun Dia inginkan. Sekali lagi Syekh Ibnu ‘Athaillah dalam kitabnya Al-Hikam menegaskan bahwa hanya Dia-lah yang layak menyombongkan diri.
Syekh Ibnu ‘Athaillah dalam kitabnya Al-Hikam menjelaskan bahwa intinya, jikalau sekarang di dalam hati kita tebersit rasa sombong atau ingin mendapat pujian makhluk, maka ingatlah kedua poin ini: lihatlah keagungan-Nya dan perhatikanlah sifat-Nya. Maka, dengan sendirinya, kita akan merasa sangat kecil dan hina. Kita sejatinya hanyalah debu di tengah hamparan padang pasir yang maha luas.(St.Diyar)
Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
