Khazanah
Beranda » Berita » Musuh yang Tak Tampak, Sombong yang Tak Tersadari: Pelajaran Penting dari Al-Hikam

Musuh yang Tak Tampak, Sombong yang Tak Tersadari: Pelajaran Penting dari Al-Hikam

Ilustrasi hamba yang menundukkan hati dalam doa yang tulus kepada Allah.
Ilustrasi hamba yang menundukkan hati dalam doa yang tulus kepada Allah.

SURAU.CO-Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari  dalam Al-Hikam menerangkan:

“Allah Swt. menjadikan setan sebagai musuh kita agar kita membencinya dan berlindung kepada-Nya. Dia juga menggerakkan nafsu agar kita selalu menghadap kepada-Nya.”

Ketahui Musuh yang Sebenarnya

Dalam kehidupan ini, kita harus mengetahui musuh kita yang sebenarnya. Musuh kita bukanlah teman yang dengki kepada kita, atau saudara yang tidak kita sukai, atau siapa pun itu. Ketahuilah bahwa musuh kita yang sebenarnya adalah setan yang akan selalu menyesatkan kita dari jalan kebenaran dan menginginkan kita bersamanya di neraka kelak.

Allah Swt. sengaja menjadikan setan sebagai musuh kita agar kita kembali kepada-Nya dan memohon perlindungan-Nya. Dia adalah Zat Yang Maha Penjaga dan Maha Kuasa, yang mampu menjaga dari apa pun yang mengganggu kita. Jangankan satu setan, seluruh jin dan setan berkumpul untuk mengganggu kita, maka Dia mampu menghalangi mereka.

Selain itu, Allah Swt. juga sengaja menggerakkan nafsu kita agar kita selalu menghadap kepada-Nya dan menjalankan ibadah kepada-Nya. Nafsu akan selalu mengajak kita melakukan kemungkaran dan maksiat, serta tidak akan pernah rela jikalau kita berada di jalan ketaatan.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Sekarang, kita sudah mengetahui siapa yang menguji kita dengan semua cobaan ini. Hanya Allah-lah yang mampu menjaga kita. Jalan satu-satunya untuk membebaskan diri kita adalah menyerahkan diri kepada-Nya. Tidak ada jalan lain selain itu.

Jangan Menyombongkan Diri

Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari memberi peringatan tajam:

“Barang siapa yang merasa tawadhu’ (rendah hati), maka ia adalah orang sombong yang sebenarnya. Sebab, tawadhu’ itu tidak akan ada, kecuali dari perasaan lebih mulia. Ketika kita merasa tawadhu’ maka kita adalah orang sombong yang sebenarnya.”

Tawadhu’ adalah sifat rendah hati, sehingga tidak menyombongkan kelebihan kepada siapa pun, baik kepada teman, keluarga, dan lain sebagainya. Tawadhu’ adalah salah satu sifat mulia yang sangat Dicintai oleh Allah Swt. Sehingga, banyak ayat dan hadis yang memerintahkan agar kita tawadhu’.

Masalahnya sekarang, bagaimana jikalau kita merasa tawadhu’ , apakah itu masih bisa dikatakan tawadhu’? Jawabannya tidak. Jikalau kita menyangka bahwa kita tawadhu’, itu artinya kita adalah sosok yang sombong dan suka membanggakan diri. Sama halnya dengan seorang intel. Jikalau ada seorang laki-laki mengaku intel, maka ia bukanlah intel, karena orang yang memegang jabatan itu tidak mungkin akan mengaku.

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Biasanya, seseorang tidak akan menyombongkan diri, kecuali karena ia merasa mulia dan hebat. Misalnya, orang kaya menyombongkan dirinya karena kekayaan yang Dia miliki. Orang pintar menyombongkan diri karena kepintaran yang Dia miliki. Dan, masih banyak lagi contoh lainnya.

Begitu juga halnya dengan sifat tawadhu’. Sifat ini sangat mulia dan  Allah Swt. cintai. Artinya, jikalau kita membanggakan diri dengan sifat tawadhu’, atau kita merasa tawadhu’ , maka sebenarnya kita adalah sosok yang sombong.

Cukup Menjalankan yang Allah Perintahkan

Cukuplah kita menjalankan semua yang Dia perintahkan, misalnya bersifat tawadhu’, dan tidak perlu menceritakan kelebihan kita kepada orang lain. Tidak usah kita mengungkapkan atau merasa diri kita tawadhu’. Allah Swt. yang akan menilai kita dan memberikan ganjarannya.

Janganlah kita mengharapkan pujian dari orang lain karena sesuatu yang kita lakukan. Misalnya, berharap agar nama kita terkenal di hadapan khalayak. Ingat, barang siapa yang tawadhu’ dengan sebenar-benarnya, maka Allah Swt. akan meninggikan derajatnya. Dan, barang siapa yang sombong, maka Dia akan merendahkannya. Dia-lah yang memegang kunci kemuliaan, yang hanya akan Dia berikan kepada orang yang Dia inginkan.(St.Diyar)

Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement