Khazanah
Beranda » Berita » Ketika Ibadah Tanpa Khusyuk Tetap Diterima: Pelajaran dari Al-Hikam

Ketika Ibadah Tanpa Khusyuk Tetap Diterima: Pelajaran dari Al-Hikam

Ilustrasi seorang muslim yang bemunajat kepada Allah.
Ilustrasi seorang muslim yang bemunajat kepada Allah.

SURAU.CO-Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari  dalam Al-Hikam memberikan harapan:

“Jangan putus asa jikalau amalan kita diterima, padahal kita tidak mendapatkan kekhusyukan ketika mengerjakannya. Bisa jadi, amalan itu diterima, padahal kita tidak segera mendapatkan buahnya.”

Jikalau kita mengerjakan suatu ibadah, kemudian amalan kita diterima oleh Allah Swt., padahal kita tidak merasakan kekhusyukan ketika mengerjakannya, maka ketahuilah bahwa bisa jadi Dia memberikan hasilnya bukan pada waktu yang kita inginkan, tetapi pada waktu yang Dia inginkan.

Khusyuk memang dibutuhkan dalam ibadah, bahkan aspek ini merupakan salah satu syarat diterimanya suatu amalan. Namun, fitrah manusia tidak ada yang sempurna. Terkadang, ia mampu melakukannya dengan khusyuk, dan terkadang tidak mampu. Itu adalah hal lumrah yang tidak perlu kita sesali. Tugas kita adalah berusaha. Masalah hasil, itu berada di tangan-Nya.

Allah Swt. adalah Zat Yang Maha Bijaksana. Bisa jadi, kita merasa tidak khusyuk, namun Dia menerima-Nya sesuai dengan kebijaksanaan-Nya. Hasilnya memang tidak Dia berikan pada saat kita meminta, namun Dia berikan pada saat yang Dia tentukan. Sesuatu yang kita anggap baik, belum tentu baik dalam pandangan-Nya. Dan, sesuatu yang kita anggap buruk, belum tentu buruk dalam pandangan-Nya. Serahkanlah kepada-Nya semua urusan kita. Jangan ragu!

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Jangan Membanggakan Sesuatu yang Kosong

Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari mengingatkan:

“Janganlah kita membanggakan karunia yang tidak jelas hasilnya. Tujuan awan bukanlah hujan, akan tetapi tujuannya adalah tumbuhnya bebuahan.”

Jikalau kita merasa khusyuk dalam beribadah, namun hasilnya tidak kelihatan sedikit pun dalam diri dan kehidupan kita sehari-hari, maka itu sama sekali tidak ada artinya. Apalah arti ibadah yang khusyuk jikalau kita masih mencuri, mencela orang lain, berjudi, berzina, dan lain sebagainya. Kekhusyukan yang hakiki adalah yang mampu membuat kita merasakan lezatnya ibadah. Kemudian, kita merasakan efeknya dalam kehidupan sehari-hari, yaitu perubahan akhlak yang fundamental. Jikalau selama ini kita suka menghina orang lain, maka kita akan meninggalkannya dan merasa sangat berdosa jikalau tanpa sengaja masih melakukannya.

Ibarat hujan. Ketika kita memperhatikan awan, maka ketahuilah bahwa keberadaannya bukanlah bertujuan semata-mata untuk turun hujan. Lebih dari itu, hujan bertujuan agar tumbuh-tumbuhan mendapatkan asupan nutrisi sehingga bisa mengeluarkan buah-buahan yang akan dinikmati oleh manusia. Begitu juga halnya dengan khusyuk dalam beribadah. Khusyuk bukanlah tujuan, walaupun memang dibutuhkan dalam ibadah. Namun, poin paling penting adalah buahnya, yaitu akhlak yang baik.

Allah yang Mencukupi Kita

Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari mengajak kita merenung:

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

“Janganlah kita mengharapkan kekalnya karunia Allah Swt. setelah cahayanya dibentangkan dan rahasianya diberikan kepada kita. Kita akan mendapatkan segala sesuatu bila bersama-Nya, namun tidak akan ada sesuatu pun yang akan mencukupi kita bila kita menjauh dari-Nya.”

Tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang kekal abadi. Oleh karena itu, janganlah pernah kita berharap karunia Allah Swt. itu kekal meskipun cahayanya Dibentangkan dan rahasianya Diberikan kepada kita.

Apakah kita tidak menyaksikan perjalanan matahari dalam kehidupan sehari-hari? Kalau seandainya matahari memancarkan cahayanya secara terus-menerus tanpa pernah terbenam, tentu hal ini justru akan membahayakan kita. Istirahat kita akan terganggu jikalau hari terus-menerus siang tanpa mengalami malam sedikit pun.

Allah Swt. telah menetapkan hikmah di dalam segala sesuatu. Cukuplah kita mengikuti ritme perjalanan alam ini, maka kita akan merasakan manfaatnya. Ketahuilah, bahwa kita baru akan merasakan manfaat cahaya matahari ketika terbit dan tenggelam.

Allah Swt. tidak membutuhkan ibadah yang kita kerjakan, atau cahaya yang ada di dalam hati kita. Kebaikan dan keburukan yang kita lakukan selama hidup di dunia ini akan kembali kepada kita sendiri. Kita jugalah yang akan merasakan akibatnya. Ketahuilah, kita sangat membutuhkan-Nya dan tidak bisa melepaskan diri dari-Nya.(St.Diyar)

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement