Khazanah
Beranda » Berita » Kebenaran yang Mengalahkan Kebatilan: Renungan Tasawuf Al-Hikam

Kebenaran yang Mengalahkan Kebatilan: Renungan Tasawuf Al-Hikam

Ilustrasi hamba yang sedang berdoa kepada pencipta.
Ilustrasi hamba yang sedang berdoa kepada pencipta.

SURAU.CO-Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari  dalam Al-Hikam menyatakan:

“Ketika karunia-karunia Ilahi menghampiri kita, maka hancurkanlah kebiasaan-kebiasaan buruk kita. Jikalau para raja memasuki sebuah negeri, maka mereka akan menghancurkan negeri tersebut.”

Jikalau Allah Swt. menurunkan karunia-Nya kepada kita, misalnya hidayah dan lain sebagainya, maka kita akan terdorong melakukan segala kebaikan. Segala perintah-Nya akan kita jalankan, dan segala larangan-Nya akan kita jauhi. Rasa rindu kita untuk bertemu dengan-Nya akan semakin besar, sehingga kita ingin selalu berkhalwat dengan-Nya.

Pada saat bersamaan, segala keburukan yang telah menjadi tabiat kita akan sirna. Jikalau biasanya kita suka mencuri, maka kebiasaan itu akan berubah.  Dan seandainya kita biasanya suka dengan  minum minuman keras, maka kebiasaan itu akan kita hapuskan. Jikalau kita biasanya suka berzina, maka kita tidak akan pernah mendekatinya lagi. Itulah karunia-Nya yang agung, yang Dia berikan hanya kepada orang-orang pilihan-Nya.

Ibarat seorang raja yang memasuki sebuah negeri untuk Dia taklukkan. Bukankah negeri itu akan Dia buat kalah dan hancur lebur?! Nah, begitulah perumpamaan karunia Ilahi yang Dia berikan kepada kita ketika berhadapan dengan kebiasaan-kebiasaan buruk kita.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Karunia Allah Sangat Kuat

Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari menegaskan tentang kekuatan karunia:

“Karunia itu datang dari hadirat Zat Yang Maha Perkasa. Oleh karena itu, tidaklah sesuatu bertabrakan dengannya, kecuali Dia akan menghancurkannya. ‘Sebenarnya, Kami melemparkan yang hak kepada yang batil, lalu yang hak itu menghancurkannya. Maka, dengan serta merta, yang batil itu lenyap.'”

Karunia yang Allah berikan kepada kita adalah berasal dari Allah Swt., Zat Yang Maha Perkasa. Apa pun yang berhadapan dengan-Nya maka tidak akan ada yang menang. Semuanya akan hancur dan tidak tersisa lagi. Bahkan, jikalau Dia menginginkan bahwa tidak ada satu pun makhluk yang ada di alam semesta ini selain diri-Nya, maka itu akan terjadi dalam sekejap mata.

Bagi Allah, menghadapi kebiasaan-kebiasaan buruk kita bukanlah sebuah hal yang sulit. Tatkala karunia-Nya memasuki dan menerangi hati kita, maka tidak akan ada lagi bekas-bekas hitam di dalamnya. Semuanya akan lenyap dan beterbangan, layaknya debu yang tertiup angin. Lambat laun, kebiasaan yang baiklah yang akan tertanam dalam diri kita, sesuai dengan kadar kesungguhan kita dalam melakukannya. Dalam firman-Nya ditegaskan bahwa Dia akan melempar kebatilan dengan kebenaran, sehingga membuatnya hancur lebur tidak tersisa lagi. Cobalah kita perhatikan kaca yang terkena batu yang keras. Bukankah kaca tersebut akan hancur lebur?! Begitulah perumpamaan ini.

Allah Tidak Akan Pernah Terhijab

Syekh Ibnu ‘Athaillah dalam Al-Hikam mempertanyakan:

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

“Bagaimana Allah Swt. akan terhijab dengan sesuatu, padahal Dia Nyata, ada, dan hadir dalam sesuatu yang dijadikan hijab.”

Jikalau kita membayangkan bahwa Allah Swt. akan terhijab dengan sesuatu yang ada di alam semesta ini atau di luarnya, maka kita telah melakukan kesalahan yang besar. Dia tidak akan pernah bisa terhijab oleh siapa dan apa pun. Walaupun kita adalah seorang raja besar dan menguasai hampir seluruh dunia ini, maka kita tidak akan pernah mampu menghijab-Nya. Kekuasaan seorang raja dunia hanyalah semu, dan Dia-lah Penguasa yang sebenarnya.

Bagaimana mungkin Dia akan terhijab, padahal Dia menampakkan diri-Nya dengan sifat-sifat-Nya pada hijab tersebut. Jikalau kita melihat alam, maka itu akan menunjukkan kepada kita kemahakuasaan-Nya. Dia mengatur segala-Nya sesuai dengan kodratnya sehingga tidak terjadi kekacauan di alam ini.

Alam semesta dan selainnya adalah dalil yang menunjukkan kehebatan-Nya. Sedangkan dalil tidak akan pernah menghijab Zat yang menyebabkannya menjadi dalil. Begitu juga halnya dengan kehadiran-Nya. Bukankah Dia Maha Dekat dengan hamba-Nya, bahkan lebih dekat dari napas kita sendiri. Kita memang tidak mampu menyaksikan-Nya. Bukan karena terhijab, tetapi karena kelemahan pandangan kita.(St.Diyar)

Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement