Khazanah
Beranda » Berita » Sampai kepada Allah: Jalan Ma’rifah Menurut Syekh Ibnu ‘Athaillah dalam Al-Hikam

Sampai kepada Allah: Jalan Ma’rifah Menurut Syekh Ibnu ‘Athaillah dalam Al-Hikam

Ilustrasi hamba sedang berdoa kepada Allah.
Ilustrasi hamba sedang berdoa kepada Allah.

SURAU.CO-Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari  dalam Al-Hikam menjelaskan:

“Sampainya kita kepada Allah Swt. adalah sampainya kita mengenai ilmu tentang diri-Nya. Jikalau tidak, maka Allah Maha Agung jikalau sesuatu menyatu dengan-Nya atau Dia menyatu dengan sesuatu.”

Jikalau kita telah sampai kepada Allah Swt., maka kita akan mengenal-Nya dengan detail. Kita akan mengenal semua nama, sifat, dan segala yang berkaitan dengan Allah. Kita akan meyakini bahwa Dia lebih dekat kepada kita daripada urat leher kita sendiri.

Allah Swt. adalah Zat Yang Maha Esa. Dia jauh dari segala bentuk kekurangan dan aib yang menyertai para hamba. Jangan pernah kita menyangka-Nya lemah, karena semua kekuatan dan kemampuan yang kita miliki adalah milik-Nya, dan Dia berhak mencabutnya kapan pun Dia inginkan.

Allah Swt. dekat dengan kita. Tetapi, jangan pernah kita membayangkan kedekatan-Nya layaknya kita berdempetan dengan teman kita. Tidak, sama sekali tidak. Kedekatan yang dimaksud di sini adalah kedekatan maknawi. Dia selalu bersama kita dan mengawasi setiap gerak-gerik yang kita lakukan. Itulah Allah Swt., Zat Yang Maha Kuasa. Intinya, jikalau kita sampai kepada-Nya, maka dengan sendirinya kita akan mengenal-Nya.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Kedekatan Kita dengan Allah

Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari mengajarkan:

“Kedekatan kita dengan Allah Swt. adalah ketika kita menyaksikan kedekatan-Nya. Jikalau tidak demikian, maka seperti apakah kedekatan kita dengan-Nya?”

Jikalau kita merasa dekat dengan Allah Swt., maka perhatikanlah, apakah kita menyaksikan kedekatan-Nya dengan para hamba-Nya? Dia adalah Zat Yang Maha Dekat dengan para hamba-Nya. Kedekatan-Nya tentu sesuai dengan kemuliaan-Nya. Jangan kita menyangka kedekatan dengan-Nya sama dengan kedekatan kita ketika bersandar di dinding. Tidak, bukan seperti itu. Masalah ini hanya akan mudah dipahami oleh logika keimanan dan ketuhanan. Jikalau kita merasa tidak menyaksikan kedekatan-Nya, maka kita hanyalah sekadar membual. Semua yang keluar dari mulut kita hanyalah omong kosong yang tidak ada nilainya sama sekali.

Ingatlah, Dia adalah Zat Yang Maha Sempurna. Tidak ada cacat dan kekurangan dalam diri-Nya. Segala kemuliaan dan keagungan terhimpun dalam diri-Nya. Periksalah kembali diri kita. Apakah kita sudah dekat dengan-Nya atau belum?! Jikalau belum, maka bersegeralah menghampiri-Nya agar kita tidak menyesal kelak.

Kapan Datangnya Hakikat?

Menurut Syekh Ibnu ‘Athaillah hakikat-hakikat yang Allah Swt. berikan ke dalam hati para hamba-Nya akan tampak pada saat tajalli, yaitu ketika Dia menampakkan diri di dalam hati mereka. Semua itu terjadi tanpa bisa diprediksi mengenai waktu sebenarnya, sehingga hanya bisa diperkirakan secara global.

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Jikalau kita telah sadar dan memahami hakikat dengan baik, maka kita baru bisa mengungkapkannya dengan kata-kata yang sesuai dengan bahasa yang kita pahami. Perhatikanlah bagaimana Allah Swt. menurunkan wahyu kepada Rasulullah Saw. Pertama, Dia memerintahkan Rasulullah Saw. untuk memperhatikan sesuatu yang Jibril As. bacakan kepada beliau. Kedua, setelah selesai, maka beliau harus mengikuti dengan baik seraya memahaminya. Ketiga, Allah Swt. menjelaskan wahyu itu, kemudian menyampaikannya kepada umatnya dengan lisannya sendiri.

Inti permasalahan yang dibahas di sini adalah bahwa wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah Saw. dijelaskan setelah selesai disampaikan kepada beliau, bukan dijelaskan ketika sedang disampaikan. Begitu juga halnya dengan hakikat. Hakikat tidak bisa dijelaskan secara langsung ketika kita sudah menerimanya. Kita baru bisa memahaminya setelah menyadarkan diri.

Jikalau kita sekarang ini belum mendapatkan cahaya hakikat dari-Nya, maka perbaikilah hati kita. Bersihkanlah dari segala kotoran maksiat dan kemungkaran. Jangan kita biarkan kemaksiatan dan dosa menutupi hati kita, bahkan membutakannya. Sebagaimana mata kita melihat dengan terang, maka hendaklah mata hati kita juga seperti itu. Sehingga, kita mampu melihat rahasia layaknya nyata.(St.Diyar)

Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement