SURAU.CO-Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam Al-Hikam menuturkan :
“Tidak ada yang bisa mengeluarkan syahwat dari hati, kecuali rasa takut yang menggetarkan dan rasa rindu yang merisaukan.”
Hati yang dipenuhi oleh nafsu syahwat akan selalu mendorong pemiliknya untuk melakukan berbagai maksiat dan kejahatan. Nafsu tersebut hanya bisa diusir dengan menumbuhkan rasa takut yang luar biasa kepada Allah Swt. Kita harus merasakan takut terhadap ancaman Allah Swt. dan neraka-Nya. Ingatkanlah selalu diri kita bahwa jikalau kita melakukan kemaksiatan dan tidak segera bertaubat kepada-Nya dengan sebenar-benarnya, maka segala kenikmatan yang kita dapatkan di dunia ini akan Dia cabut dengan segera, dan api neraka yang menyala-nyala siap membakar kita.
Selain rasa takut, kemudian paksalah hati kita untuk selalu merindukan-Nya. Tidak ada nikmat yang paling besar di surga kelak, kecuali bertemu dengan-Nya. Orang yang hatinya kotor dan penuh maksiat tidak akan pernah mendapatkan kesempatan yang berharga ini. Jikalau kedua poin—rasa takut dan rasa rindu—sudah tertanam di dalam hati kita, maka sedikit demi sedikit kotoran yang ada di dalam hati kita akan hilang, bahkan bisa hilang dalam sekejap. Oleh karena itu, tanamkanlah rasa takut kepada-Nya dan rasa rindu bertemu dengan-Nya di dalam hati kita, maka kita akan mendapatkan hati yang bersih dan bercahaya.
Menyerahkan Hati dan Amal dengan Sepenuhnya kepada Allah
Syekh Ibnu ‘Athaillah menyampaikan prinsip tauhid yang mendalam:
“Sebagaimana Allah Swt. tidak menyukai amalan yang mengandung kesyirikan, maka Dia juga tidak menyukai hati yang mengandung kesyirikan. Amalan yang mengandung kesyirikan tidak akan diterima oleh Allah Swt. Dan, hati yang mengandung kesyirikan tidak akan bisa menghadap-Nya.”
Kita harus meniatkan semua amalan kita sepenuhnya untuk Allah Swt. Jangan sampai kita menyekutukan Allah Swt. dengan sesuatu pun. Sebab, Dia sama sekali tidak menyukai perbuatan syirik. Ketika kita menyembelih seekor hewan, maka niatkanlah untuk beribadah kepada-Nya dan sesuaikan dengan tuntunan-Nya. Jangan sampai kita menyembelih hewan dengan menyebut nama-Nya, namun mempersembahkannya untuk jin penunggu rumah kita, atau jin penunggu pohon besar. Ini adalah bentuk kesyirikan yang akan merugikan kita sendiri. Semua pahala amalan yang kita lakukan selama ini akan terhapus gara-gara perbuatan bodoh ini.
Allah Swt. tidak menyukai hati kita yang menyekutukan-Nya dengan sesuatu, sebagaimana Dia tidak menyukai amalan yang mengandung unsur kesyirikan. Jangan sampai hati kita mendahulukan selain-Nya, baik istri, anak-anak, keluarga, dan lain sebagainya. Hati yang syirik tidak akan pernah mampu menghadap-Nya, sebagaimana amal kesyirikan yang tidak Dia terima. Artinya, kita akan merugi di akhirat kelak.
Cahaya Merasuk ke Hati
Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari membedakan tahapan tazkiyatun nafs:
“Ada cahaya yang diizinkan hanya sampai di hati, dan ada pula cahaya yang diizinkan masuk ke dalamnya.”
Di antara cahaya yang Allah Swt. berikan adalah cahaya yang hanya bisa sampai ke hati. Sehingga hamba yang mendapatkannya akan rindu kepada-Nya dan mengharapkan pertemuan dengan-Nya. Namun, cahaya ini belum bisa masuk ke dalam hati karena belum layak untuk ditempati. Ini adalah langkah awal seorang salik untuk sampai kepada Rabb-nya.
Kemudian, ada juga cahaya-Nya yang bisa masuk ke dalam hati. Sehingga, cahaya ini menerangi dan memberikan petunjuk kepada pemiliknya menuju Sang Khaliq. Inilah tingkatan yang diharapkan setiap salik.
Layak atau tidaknya hati kita dihampiri oleh cahaya-Nya, bahkan dimasuki-Nya, tergantung pada kita sendiri. Jikalau kita rajin beribadah kepada-Nya, menjalankan semua perintah-Nya, dan menjauhi semua larangan-Nya, maka cahaya tersebut akan menghampiri kita. Lambat-laun, cahaya ini akan memasuki hati kita, sesuai dengan kelayakannya. Sebaliknya, jikalau kita terus-menerus bermaksiat dan lalai menjalankan perintah-Nya, maka hati kita akan gelap gulita. Cahaya-Nya tidak akan pernah menghampiri hati kita. Jikalau kita tidak segera bertaubat, maka kita benar-benar akan menjadi sahabat iblis dan setan di neraka-Nya.(St.Diyar)
Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
